santrimillenial.id – Satu tahun lagi, kita akan menghadapi pemilihan umum (Pemilu) yang diselenggarakan setiap 5 tahun satu kali di negara demokrasi. Pemilihan presiden dan wakil presiden ke-5 kalinya, secara pemilu langsung oleh masyarakat, sering kali tersebar isu miring. Salah satunya “politik identitas”. Penyalahgunaan label jati diri kelompok yang digaungkan demi memperoleh suara terbanyak dan terpilih menjadi pemimpin negara. Identitas seperti suku, budaya, bahasa, adat bahkan agama sering diluncurkan dalam melancarkan kampanye.
Politik Identitas di Indonesia
Periode sebelumnya, yakni tahun 2019 sudah terjadi politik identitas yang mengusung kelompok mayoritas demi kemenangan. Sedikit pasang calon dalam pemilu, semakin kuat politik identitasnya untuk menggugurkan dan menyingkirkan lawan dengan menebarkan ujaran kebencian yang berdampak pada kericuhan bahkan perpecahan dari kelompok terkecil seperti saudara hingga kelompok besar sehingga terjadi disharmonisasi dan disintegrasi. Kasus politik identitas di Indonesia terjadi pada tahun 2019, dilansir dari kompasiana bahwa pilpres tahun 2019 menjadi pertarungan ideologis diantara kekuatan kelompok politik Islam tradisional, fundamentalis serta modernis.
Pada saat itu, Joko Widodo mendapat dukungan dari kelompok tradisional serta non-islam dan Prabowo disokong oleh golongan Islam modernis serta fundamental. Koalisi yang terjadi diatas tidak berlangsung secara terang-terangan dengan mengklaim bahwa mereka masing masing didukung oleh pihak fundamentalis atau tradisionalis. Dalam kaca mata media dan asumsi masyarakat menilai, bahwa jika pilihan partai dengan mengusung Ma’aruf Amin sebagai calon wakil presiden, pasangan dari Joko Widodo menunjukan kesinambungan terhadap agama Islam dengan cara melabeli sosok kyai dan menghapus isu anti Islam sebagai agama mayoritas.
Lain halnya dengan Prabowo Subianto yang menjadikan Sandiaga Uno sebagai calon wakil dari pasangannya, dimana Sandiaga Uno merepresentasikan sosok santri millenial. Pembatasan kelompok demikian yang akan memecah belahkan suatu kelompok di lingkungan masing masing. Isu tersebut akan mudah terbakar bagi masyarakat yang kurang memahami kondisi, kurang mengkritisi, fanatik, egois dan sikap yang dapat memecah belah persaudaraan dalam berbangsa dan bernegara. Kegaduhan yang ditimbulkan oleh kelompok yang bertentangan akan menciptakan ruang diskriminasi terhadap sesama rakyat di Indonesia.
Harapan Pemilu Mendatang
Periode pemilu tahun mendatang memang belum terlihat seperti apa, karena politik identitas biasanya terjadi setelah diumumkan pasangan calon (Paslon) presiden. Melihat fenomena 2019, perlu menjadi pertimbangan yang luas terhadap siapapun dalam memilih agar tetap menjaga kerukunan sesama manusia yang hidup di negara yang multikultural. Meningkatkan rasa tanggungjawab, peduli, memahami, dan meninggalkan fanatisme kelompok agar tetap menjaga integritas bangsa. Nilai kebangsaan yang ada di Indonesia harus tetap terjaga sebagaimana mestinya. Bagaimanapun politik identitas harus diwaspadai dalam bentuk apapun. Perlu diabaikan jika memang terjadi di lingkungan kita demi mempertahankan keutuhan bangsa yang bhineka tunggal Ika. Apalagi sebagai ummat Islam yang menjadi mayoritas di Indonesia perlu menujukan sikap wathaniyyah terhadap masyarakat non Islam agar mereka percaya akan prinsip Islam terhadap kemanusiaan.
Ukhuwwah Wathaniyyah sebagai Tameng
Sikap ukhuwwah wathaniyyah seringkali ditujukan dalam ayat ayat Al Qur’an, demi menjaga keharmonisan sesama makhluk Allah dalam perbedaan, selama tidak keluar dari batasan batasan tertentu. Anjuran ukhuwwah wathaniyyah sebagaimana dalam Al-Qur’an Surat Al-Hajj ayat 40:
الَّذِيْنَ اُخْرِجُوْا مِنْ دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ اِلَّآ اَنْ يَّقُوْلُوْا رَبُّنَا اللّٰهُ ۗوَلَوْلَا دَفْعُ اللّٰهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَّهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَّصَلَوٰتٌ وَّمَسٰجِدُ يُذْكَرُ فِيْهَا اسْمُ اللّٰهِ كَثِيْرًاۗ وَلَيَنْصُرَنَّ اللّٰهُ مَنْ يَّنْصُرُهٗۗ اِنَّ اللّٰهَ لَقَوِيٌّ عَزِيْزٌ
Artinya: (Yaitu) orang-orang yang diusir dari kampung halamannya, tanpa alasan yang benar hanya karena mereka berkata, “Tuhan kami adalah Allah.” Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentu telah dirobohkan biara-biara, gereja-gereja, sinagoge-sinagoge, dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sungguh, Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.”
Menurut M. Quraish Shihab mufassir kelahiran Rappang, Sulawesi Selatan menafsirkan ayat tersebut bahwa surat Al-Hajj ayat 40 menegaskan jika Allah tidak pernah menginginkan kehancuran tempat ibadah. Para ulama juga sependapat akan kewajiban menjaga dan memelihara tidak hanya masjid akan tetapi rumah ibadah lain. Beliau juga menyampaikan bahwa Islam menyuguhkan kebebasan beragama dan juga saling menjaga ketenangan ummat satu dengan yang lain, selama tidak mengganggu.
Hamka tentang Ukhuwwah Wathaniyyah
Serupa dengan pendapat mufassir asal Sumatera Barat, Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau dikenal dengan Hamka. Beliau menuturkan Islam tidak mengajarkan untuk merusak tempat ibadah ummat agama lain. Hamka juga mengajarkan untuk melindungi rumah ibadah lainnya bukan untuk dihancurkan. Pernyataan beliau memang digunakan saat kerusuhan ummat Islam merusak gereja dengan kasus “Guru Agama Kristen” yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW orang yang zina dan tolol yang terjadi di Makassar, beliau menyampaikan apa yang diperbuat orang tersebut kesalahan besar, akan tetapi tindakan orang Islam merusak gereja juga tindakan yang disayangkan.
Kisah tersebut masih relevan sebagai cerminan tindakan intoleransi bernegara salah satunya politik identitas di bangsa yang bersifat heterogeni. Meningkatkan jiwa ukhuwah Wathoniyyah sangat penting ditanamkan bagi kelompok muda maupun tua, perempuan maupun laki-laki, belajar maupun pekerja dari segala kalangan. Hal ini bertujuan agar semua dapat memperhatikan dan menelaah segala bentuk propoganda yang dilakukan untuk kampanye dalam bentuk apapun. Tidak mudah terbawa isu secepat kilat tanpa mengkroscek pernyataan apalagi menyebarkan kabar angin yang tidak pasti.
Refrensi
Gusnanda, Nuraini. Menimbang Urgensi Ukhuwah Wathoniyyah dalam Kasus Intoleransi Beragama di Indonesia. FUADUNA. 4 (1). 2020. Hal. 9
https://www.kompas.id/baca/polhuk/2023/03/02/waspadai-politik-identitas-menjelang-pemilu-2024
https://www.kompasiana.com/amp/siskaamelia6872/63f246ce4addee1ca57cc972/politik-uang-yang-semakin-canggih