santrimillenial.id – Kebanyakan orang waktu melihat seseorang yang berpenampilan seperti preman pasti mereka akan menganggap bahwa orang itu jahat. Meskipun terkadang anggapan tersebut melenceng jauh dari perkiraan. Justru kalau sifat seperti itu bila dilakukan terus-menerus mungkin pendakwa sendiri yang nantinya akan mengerjakan apa yang selalu didakwakan terhadap orang lain, atau dalam adat jawa disebut dengan istilah moyok nemplok.
Jika prasangkanya terhadap orang tersebut benar, pendakwa juga tidak boleh untuk sangat membencinya. Karena orang yang mendakwa tadi tidak akan pernah tau bagaimana nanti kisah akhir hayatnya orang yang didakwa. Karena mungkin dengan seiring berjalannya waktu semua anggapan yang selalu disimpan oleh pendakwa akan kembali pada dirinya sendiri.
Sebuah kisah untuk bisa dijadikan pembelajaran dalam permasalahan ini adalah kisah sahabat Umar bin Khattab. Umar bin Khattab adalah salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW yang sekaligus merupakan Khalifah kedua setelah Abu Bakar As-Shiddiq. Sebelum masuk Islam beliau adalah sosok yang sangat menentang ajaran Islam. Kaum muslimin waktu itu mengakui salah seorang musuh dari kaum kafir Quraisy yang sangat disegani adalah Umar bin Khattab. Beliau juga selalu berencana untuk membunuh Nabi Muhammad SAW karena begitu bencinya beliau dengan agama Islam.
Namun siapa yang menyangka kemudian Allah membukakan hati beliau untuk memeluk agama Islam. Bahkan beliau menjadi seorang yang mendapatkan jabatan sangat penting dalam Islam. Sejarah mencatat beliau merupakan hakim yang bersih dan adil dalam memutuskan setiap perkara sesuai ajaran Islam. Siapapun yang melanggar aturan dalam Islam beliau sangat tegas untuk menghukumnya, bahkan terhadap keluarganya sekalipun.
Kisah lain yang dapat dijadikan pembelajaran adalah kisah seorang ahli ibadah bernama Syekh Barseso. Dalam kitab Tanbihul Ghafilin Imam Abu Laits As-Samarqandi menceritakan bahwa Syekh Barseso merupakan seorang yang ahli beribadah selama 70 tahun lamanya. Melihat khusuknya dalam beribadah, akhirnya para setan tertarik berlomba-lomba untuk menggodanya agar melakukan maksiat kepada Allah.
Sampai pada akhirnya Ia pun tertarik untuk memenuhi segala rayuan setan melakukan maksiat dan meninggal dalam keadaan yang su’ul khatimah. Siapa yang menyangka ahli ibadah sekalipun bisa saja terjerumus untuk melakukan kemaksiatan. Lalu apa yang bisa menjamin bahwa diri kita ini bisa selalu untuk istiqomah bertakwa kepada Allah SWT?
Seorang Ahli maksiat dapat berubah menjadi ahli taat kepada Allah. Begitupun sebaliknya, ahli taat dapat berubah menjadi ahli maksiat. Ketika kita saat ini sudah mendapatkan nikmat untuk selalu taat kepada Allah, maka kita tidak boleh lupa untuk mendoakan teman-teman kita yang masih sering melakukan maksiat kepada Allah
Kita tidak boleh membenci teman-teman di sekitar kita yang masih sering untuk melakukan maksiat apalagi sampai menjauhinya. Kalau memang kita tidak mampu untuk mengingatkan kita bisa mendoakannya. Jangan sampai kita egois memikirkan diri kita sendiri untuk baik sedangkan teman-teman kita rusak dalam kemaksiatan.
Kebaikan sekecil apapun yang kita lakukan pasti nantinya akan kembali pada diri kita sendiri. Begitu juga sebaliknya, sekecil apapun keburukan yang kita lakukan pasti akan kembali lagi pada diri kita sendiri. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam surah Al-Isra’ Ayat 7.
اِنْ اَحْسَنْتُمْ اَحْسَنْتُمْ لِاَنْفُسِكُمْ ۗوَاِنْ اَسَأْتُمْ فَلَهَاۗ
Artinya: Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri… (QS. Al-Isra : 7).
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad Rasulullah SAW pernah bersabda.
خير الناس انفعهم للناس
Artinya: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR. Ahmad).
Kita harus selalu berusaha untuk menjadi manusia yang paling baik, yakni bisa selalu memberikan kemanfaatan bagi orang lain. Jika memang tidak bisa memberikan kemanfaatan kepada orang lain, setidaknya kita tidak memberikan kerugian dengan apa yang kita lakukan terhadap orang lain.
Kita tidak boleh menyimpan prasangka yang buruk terhadap orang lain, apalagi sampai menyebar luaskannya. Karena jika prasangka itu benar sekalipun berapa banyakkah kemanfaatan yang akan kita dapatan? Ataupun jika prasangka itu salah, justru hal itu dapat merugikan diri kita sendiri nantinya. Wallahu ‘alam.
Oleh: Muhammad Sholihul Huda
Sepak bola lebih dari sekadar permainan di atas lapangan hijau. Di tribun stadion, supporter menjadi…
Penyakit seperti diabetes, kanker, atau jantung memerlukan perawatan jangka panjang dengan biaya yang bisa mencapai…
Di kehidupan yang sangat praktis ini, banyak makanan cepat saji yang beredar di sekitar kita.…
Komunikasi adalah bagian penting dalam kehidupan manusia. Melalui ucapan, kita dapat menyuarakan berbagai ide, menyampaikan…
Perguruan tinggi sebagai pusat pendidikan dan pengembangan intelektual, seharusnya menjadi benteng melawan paham radikalisme. Namun,…
Minum es teh sudah menjadi kebiasaan bagi banyak orang di Indonesia. Segar, murah, dan mudah…