santrimillenial.id – Indonesia adalah negara yang mempunyai keragaman. Menurut K.H. Husein Muhammad “Indonesia adalah bhinneka, dan kebhinnekaan adalah Indonesia. Meniadakan bhinneka berarti meniadakan Indonesia. Itulah Indonesia.” Jauh sebelum kemerdekaan, perbedaan berlatar belakang agama, keyakinan, adat-istiadat, suku dan bahasa tidak menjadi penghalang bagi mereka, laki-laki dan perempuan, untuk saling bekerjasama membantu dan membangun negara Indonesia yang mereka idamkan. Mereka tetap hidup damai berdampingan tanpa adanya pertikaian dan peperangan.
Untuk menciptakan bangsa Indonesia yang damai dengan beragam perbedaan, bangsa ini harus menerapkan paham toleransi yang tinggi. Karena toleransi menjadi kata kunci utama tercapainya cita-cita perdamaian. Hans kung berkata bahwa “tidak ada kehidupan yang layak dan damai tanpa etika bersama dan tidak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian antar agama.”
Sayangnya, pada saat ini Indonesia mengalami krisis toleransi. Muncul banyak kelompok-kelompok radikal yang membawa doktrin-doktrin ekstrim. Memunculkan konflik-konflik yang mengatasnamakan agama. Padahal, agama, khususnya Islam adalah agama yang mendengungkan perdamaian. Banyak dari para sahabat, ulama, filsuf dan sufi yang selalu mensyiarkan prinsip-prinsip kemanusiaan. Salah satunya adalah Jalaluddin Rumi.
Pertama yang kita ingat saat menyebut nama Rumi adalah cinta, manusia, dan kemanusiaan. Rumi hidup di tengah kota dengan berbagai konflik internal umat Islam. Perang salib yang terus berkecamuk, menambah kelam sejarah pertikaian umat manusia. Dari sinilah, tidak sedikit puisi Rumi yang menorehkan pesan kemanusiaan dan perdamaian.
تومكو هم به جنكند وزصلح من چه آيدتويكى نه الى توچراغ خودرابر افروز
Jangan kau katakan: “semua orang bertikai, untuk apa aku bicara perdamaian?”
Engkau tidak sendiri, tapi seribu, tetaplah nyalakan lenteramu!
( Rumi, Divan-e Kabir, bait 1197)
Ini adalah mantra perdamaian yang Rumi dengungkan, di tengah situasi sosial-politik yang bergejolak pada masa hidup Rumi.
Di tengah situasi politik yang tidak baik, Rumi tidak ikut campur dengan penguasa. Rumi memilih menepi bersama syair-syairnya. Iya membangun kesadaran masyarakat melalui puisi-puisinya. Karena menurut Rumi, perdamaian sejati harus dimulai dalam diri, sebagaimana dalam mastnawi, jilid 6, bait 51-54:
Situasi batinku saling bertentangan
Satu sama lain menjelma amal berlainan Ketika aku masih berperang dengan diriku
Bagaimana mungkin aku bisa damai dengan selainku
Tengoklah keriuhan dalam diriku
Satu sama lain saling berjibaku
Jika kau belum usai berperang dengan dirimu
Untuk apa kau sibuk berperang dengan selainmu
Bait di atas bukan untuk membuat kita apatis dengan masalah sosial. Justru Rumi mengajak umat untuk memperkuat karakter agar dapat membangun masyarakat yang beradab.
Di dalam buku “Kitab Cinta dan Ayat-Ayat Sufistik” Afifah Ahmad menguraikan tiga prinsip toleransi yang terkandung dalam puisi-puisi Rumi.
Pertama, dalam matsnawi jilid 6 bait 4518 Rumi menyebutkan: “apa pun yang membuatmu nyaman, begitu juga orang lain ingin diperlakukan.” Dalam bait 1569, “sesuatu yang tidak engkau sukai, mengapa kau timpakan kepada saudaramu.
“Cintailah sesamamu sebagaimana engkau ingin dicintai”. Itulah makna yang bisa diambil dari bait di atas.
Pandangan Rumi ini terinspirasi dari surat Sayyidina Ali r.a. kepada putranya yang termaktub dalam kitab najh al-balaghah.
Kedua, hilm dan modara atau bersabar dan menghindari kekerasan dalam menyelesaikan masalah. Seperti nasihat Rumi dalam matsnawi jilid 4 bait 3851-3817:
Para pengikut Musa yang mendatangi Firaun zamannya,
Hendaklah berkata santun dan lemah lembut.
Karena jika air ditiang minyak bergolak, tungku api dan kuali, semuanya akan membara.
Berkata lembut bukan berarti menyembunyikan kebenaran, hingga ia mengannggapmu membenarkan tindakannya.
Puisi Rumi ini terinspirasi dari QS. Thaha [ 20 ]: 43-44:
ٱذ هبا إلى فرعون إنه طغى فقولا له قولا لينا لعله يتذكر أو يخشى
Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, karena dia benar-benar telah melampaui batas.; maka berbicaralah kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.
Ketiga, menerima konsep keragama atau pluralitas. Untuk bisa duduk setara, kita perlu menghormati serta mengakui secara tulus segala perbedaan keyakinan keagamaan, baik perbedaan madzhab maupun agama. Matsnawi jilid 5 bait 2556 dan 2557 berbunyi: “Ada banyak tangga tersembunyi di dunia, setiap cara adalah jalan menuju-Nya.”
Semua puisi-puisi indah Rumi di atas, telah mengajak umat untuk tidak melihat perbedaan-perbedaan yang terjadi di Indonesia secara lahiriah saja. Rumi meyakini adanya dimensi batiniah yang juga bisa mempersatukan. Dari sinilah Rumi menemukan kontekstualisasi dalam mendamaikan berbagai konflik keagamaan. Menurut Rumi, untuk sampai pada titik ini, manusia memang butuh perjalanan panjang, yang mana permulaannya dari mendamaikan dua sisi pertentangan dalam diri.
Oleh : Putri Nadillah
Sepak bola lebih dari sekadar permainan di atas lapangan hijau. Di tribun stadion, supporter menjadi…
Penyakit seperti diabetes, kanker, atau jantung memerlukan perawatan jangka panjang dengan biaya yang bisa mencapai…
Di kehidupan yang sangat praktis ini, banyak makanan cepat saji yang beredar di sekitar kita.…
Komunikasi adalah bagian penting dalam kehidupan manusia. Melalui ucapan, kita dapat menyuarakan berbagai ide, menyampaikan…
Perguruan tinggi sebagai pusat pendidikan dan pengembangan intelektual, seharusnya menjadi benteng melawan paham radikalisme. Namun,…
Minum es teh sudah menjadi kebiasaan bagi banyak orang di Indonesia. Segar, murah, dan mudah…