Sebagai masyarakat Jawa mungkin kita sudah tidak asing lagi dengan berbagai ritual adat Jawa yang dilakukan pada saat-saat tertentu. Memang harus diakui bahwa sebagian dari simbol-simbol ritual dan simbol spiritual yang diaktualisasikan oleh masyarakat Jawa mengandung pengaruh asimilasi antara Hindu-Jawa, Budha-Jawa, dan Islam-Jawa yang menyatu padu dalam wacana kultural mistik.
Apabila kita telusuri lebih dalam mengenai ritual tersebut maka akan terdapat berbagai makna yang masih terkait dengan agama Islam. Di antara ritual yang sering dilakukan adalah membakar kemenyan.
Hal ini dilakukan biasanya dengan niat sebagai tali pengikat keimanan. Asapnya diharapkan sebagai bau-bauan surga, dan diterimanya amal oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Sebagian masyarakat Jawa meyakini ritual tersebut sebagai penyembahan kepada Tuhan secara khusu’ dan tadharru’ atau sebagai penghormatan kepada Tuhan.
Orang sering beranggapan bahwa membakar kemenyan adalah tindakan yang syirik. Namun, melihat niat dan tujuan dari pelaksanaan tersebut sebenarnya pembakaran kemenyan bukanlah hal yang syirik. Karena pembakaran kemenyan dilakukan sebagai suatu tindakan untuk membuat seseorang waktu beribadah kepada Tuhan menjadi khusu’ (mencapai tahap hening) dan tadharru’ (mengosongkan diri kemanusiaan sebagai hal yang tidak berarti di hadapan Tuhan).
Dalam sebuah hadis dijelaskan bahwasanya memakai wangi-wangian itu dianjurkan ketika hendak melakukan ritual syari’at. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.
حَديث عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ كُنْتُ أُطَيِّبُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِإِحْرَامِهِ قَبْلَ أَنْ يُحْرِمَ وَلِحِلِّهِ قَبْلَ أَنْ يَطُوفَ بِالْبَيْتِ
Artinya: “Diriwayatkan oleh Sayidatina Aisyah radliallahu ‘anha, bahwa ia berkata; “Aku memakaikan harum-haruman kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk Ihramnya sebelum beliau berihram dan juga untuk tahallul sebelum beliau tawaf di Baitullah.” (HR. Muslim).
Ritual lain yang banyak dilakukan oleh masyarakat jawa adalah selametan dengan menggunakan berbagai ubarampenya. Di antara ubarampe yang dibutuhkan waktu selametan adalah tumpeng. Tumpeng sendiri memiliki arti yang sangat dalam sebenarnya. Masyarakat jawa mengartikan tumpeng sebagai “metu dalam kang mempeng” atau hidup melalui jalan yang lurus. Apabila arti ini dikaitkan dengan ayat Al-Quran juga memiliki arti yang sama dengan ayat dari surah Al-Fatihah, yakni pada lafadz “ihdinash shiratal mustaqim” yang artinya: “Tujukilah kami jalan yang lurus”.
Adapun ubarampe yang menjadi pelengkap dalam tumpeng ini terdapat bermacam-macam warnanya. Bermacamnya ini tergantung dari kondisi tempat tersebut. Yang menarik adalah berbagai pelengkap dalam tumpeng ini masyarakat Jawa mengartikannya sebagai penggambaran perjalanan hidup manusia dari keberadaan sebelum lahir di dunia hingga keberadaan di dunia sekarang ini.
Di antara ubarampe pelengkap dalam tumpeng ini adalah:
- Telur, sebagai lambang dari benih terjadinya manusia.
- Bumbu megana, merupakan lukisan bakal (embrio) hidup manusia.
- Kecambah, simbol dari benih dan bakal manusia yang akan selalu tumbuh seperti kecambah.
- Kacang panjang, memiliki arti memberikan pengajaran pada manusia bahwa semestinya manusia selalu berpikir panjang, sehingga nantinya mampu untuk menanggapi setiap keadaan dengan penuh kesadaran dan bijaksana.
- Tomat, kesadaran akan menimbulkan perbuatan yang gemar mad-sinamadan (saling menghargai) dan menjadi jalma limpat seperapat tamat (seorang yang mumpuni, meskipun hanya seperempat yang ia dapat, tidak utuh, namun ia bisa memahami secara keseluruhan).
- Bawang merah, perbuatan yang selalu penuh pertimbangan.
- Kangkung, menjadikan manusia tergolong sebagai manusia yang linangkung (tingkat tinggi).
- Bayam, dapat membuat seseorang hidup dengan ayem tentrem (penuh kedamaian dan ketentraman).
- Cabe merah, melambangkang keberanian dan tekad yang kuat untuk menegakkan kebenaran Tuhan.
Selain menggunakan tumpeng pada acara selamatan, masyarakat Jawa biasanya juga ada yang menggunakan ayam yang dimasak dan disajikan secara utuh, atau biasa disebut dengan istilah “ingkung”. Ingkung sendiri juga memiliki arti yang dalam bagi masyarakat jawa, yakni “inggalo njungkung” atau bersujud, ingkung juga memiliki makna lain yaitu “inggalo menekung” atau segera bermuhasabah dan dzikir kepada Allah.
Setelah tumpeng dan ingkung juga masih terdapat ubarampe lain yang dinamakan “nasi uduk”. Masyarakat Jawa mengartikan istilah nasi uduk ini dengan artian nasi wudhu. Hal ini disebabkan karena waktu memasak nasi tersebut, mereka yang memasak selalu dalam keadaan berwudhu atau selalu dalam keadaan suci.
Bentuk ubarampe lain yang digunakan untuk selamatan adalah “jajan pasar” yang mana di dalamnya terdapat berbagai macam jajanan yang dijual di pasar. Orang jawa menganggap jajan pasar ini sebagai sedekah untuk keselamatan hidup, terutama selamat dari bidang ruhani yang berasal dari alam ghaib.
Jajan pasar diartikan sebagai simbol sesrawungan (hubungan kemanusiaan, silaturrahmi) oleh masyarakat Jawa. Hal ini dikarenakan pasar adalah tempat yang terdapat beragam barang-barang dan berkumpulnya banyak orang untuk betransaksi. Sebagai pelengkap dari jajan pasar ini biasanya ditambah dengan uang dalam bentuk “ratusan”. Dalam jawa kata ratusan sebenarnya merupakan simbol dari kata “satus” yang terdapat dua kata digabungkan, yakni sat dan atus. Kata sat berarti asat atau berkurang dan atus berarti resik atau bersih. Hal ini menunjukkan manusia telah bersih dari dosa.
Seringkali orang jawa dikritik oleh saudara-saudara muslim lain mengenai tradisi yang sering dilakukan oleh masyarakat jawa. Mereka mengkritik mengapa kalau berdoa memohon keselamatan itu perlu menggunakan berbagai macam barang dahulu, apakah kalau berdoa langsung saja berdo’a tidak bisa. Untuk menjawab pertanyaan seperti ini masyarakat Jawa memiliki argumentasi bahwasanya Rasulullah penah berkata ash-shodaqotu li daf’il bala yang artinya: “bahwa sedekah itu dapat menghindarkan diri dari kecelakaan”.
Shodaqoh tersebut kemudian diberi muatan dengan berbagai macam barang seperti tumpeng, ingkung, dan lain sebagainya. Hal ini disesuaikan dengan jenis doa yang dihaturkan kepada Tuhan. Dari situ acara selamatan seperti itu tidak bisa dikatakan syirik. Karena hal itu juga sebagai bentuk cara mengapresiasi tuntunan Rasulullah secara praktis, mudah dipahami dan dapat dilaksanakan oleh masyarakat banyak.
Oleh: Muhammad Sholihul Huda.