free page hit counter

Bagian I: Ijtihad dalam Perspektif “Fiqh Sosial” Kiai Sahal

Islam Agama Pembawa Rahmat

santrimillenial.id – Agama Islam merupakan agama penyempurna agama-agama sebelumnya. Sebagai agama yang bersifat menyempurnakan ajaran-ajaran sebelumnya, tentu Islam telah memberikan sebuah panduan dalam semua lini kehidupan umat di dunia ini. Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’an yang berbunyi:

وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ

Artinya: “Kami tidak mengutus engkau (Nabi Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.”[1]

Dari ayat di atas, sangat jelas bahwa Islam merupakan agama yang membawa rahmat atau kasih sayang bagi seluruh alam. Sehingga hal ini berimplikasi terhadap  semua ajaran yang terkandung di dalamnya akan bersifat solutif, tanpa menimbulkan konflik bagi semua permasalahan. Akan tetapi, kita dapat dalam praktinya kita perlu untuk merenungkan kembali lebih dalam tentang bagaiamana Islam memberikan sebuah panduan utuh tersebut.

Sumber Otoritatif dalam Islam

Telah menjadi pengetahuan umum bahwa ajaran-ajaran Islam didapatkan dari sumber-sumber otoritatif. Seperti Al-Qur’an, dan Hadits Nabi Muhammad SAW. Sumber-sumber hukum tersebut bersifat umum. Sehingga perlu diadakan sebuah usaha untuk mengambil sebuah inti sari atau kesimpulan dari Al-Qur’an maupun hadits untuk menghasilkan sebuah produk hukum. Usaha inilah yang terkenal dengan istilah “Ijtihad”[2].

Istilah “hukum” inilah yang disinggung di awal pendahuluan tadi yang merupakan sebuah panduan kehidupan. Artinya, dalam perspektif agama, semua praktik kehidupan pasti diatur dalam sebuah hukum. Dengan demikian, “Ijtihad” adalah usaha dalam mengambil keputusan hukum. Sedangkan orang yang melakukan ijtihad disebut sebagai “Mujtahid”. Kendati demikian, ijtihad (dalam arti menggali sebuah hukum) tidak boleh dilakukan oleh sembarang orang. Akan tetapi, hanya berlaku  bagi orang-orang yang telah memenuhi persyaratan sebagai mujtahid.[3]

Ijtihad dalam Pandangan Fiqh Sosial

Dalam pandangan “Fiqh Sosial” Ijtihad merupakan sebuah kebutuhan, karena kehidupan serta fakta sosial selalu bersifat dinamis. Sehingga tidak relevan apabila sebuah hukum bersifat statis atau “ajeg”. Artinya harus diimbangi dengan hukum yang dinamis juga, menyesuaikan tuntukan fakta sosial yang ada. Di sisi lain, sebuah produk hukum harus sesuai dengan nilai-nilai religius dan membawa kemaslahatan, baik di dunia atau di akhirat.

Melihat refleksi di atas, kiranya perlu dibahas secara mendalam dan komprehensif tentang hal-hal yang berkaitan dengan “Ijtihad”. Meliputi pemahaman ijtihad, elemen-elemen dalam ijtihad, macam ijtihad, dan ijtihad dalam pandangan Fiqh Sosial.

Penjelasan akan dilanjutkan di bagian selanjutnya.*


[1] Q. S. Al-Anbiya’ Ayat 107. Terjemahan Kemenag tahun 2009

[2] Muhammmad Ma’shum Zein, Menguasai Ilmu Ushul Fiqh, 1st ed. (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2016). Hlmn. 195-196.

[3] Zein. Hlmn. 194.

Oleh : Muhammad Ulil Albab (Pesantren Mansajul Ulum, Pati)

Anda mungkin juga suka.