santrimillenial.id – Khawarij adalah kelompok pengikut aliran Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan barisan Ali. Hal ini dikarenakan mereka tidak sepakat terhadap Ali yang menerima arbitrase dalam Perang Siffin dengan bughat Mu’awiyah bin Abi Sufyan perihal persengketaan khilafah. Dalam Perang Siffin, sebenarnya kelompok Ali hampir memperoleh kemenangan dari Mu’awiyah pada waktu itu. Namun, sebab Ali menerima ajakan damai dari Mu’awiyah, kemenangan yang hampir diraih akhirnya menjadi sirna.
Pada mulanya Ali menolak ajakan damai tersebut, tapi sebab adanya desakan dari sebagian pengikutnya, dengan terpaksa akhirnya Ali memerintahkan Al-Asytar (komandan pasukan Ali) untuk menghentikan peperangan tersebut. Untuk juru damai Ali mengirimkan Abdullah bin Abbas sebagai perwakilan dari kelompoknya. Namun, karena Abdullah bin Abbas berasal dari golongan Ali sendiri, kelompok Khawarij tidak menyetujui atas usulan tersebut. Akhirnya dipilihlah Abu Musa Al-Asy’ari sebagai juru damai dengan harapan supaya mampu memutuskan perkara berdasarkan kitab Allah.
Namun, hasil dari keputusan tersebut akhirnya kelompok Mu’awiyah yang ternyata dinobatkan menjadi khalifah sebagai pengganti Ali. Hal itu justru membuat orang-orang Khawarij semakin kecewa terhadap Ali. Pada masa itulah kelompok Khawarij menyatakan keluar dari pasukan Ali yang kemudian mengangkat Abdullah bin Sahab Ar-Rasyidi sebagai pemimpin untuk melakukan peperangan terhadap Mu’awiyah dan Ali.
Munculnya peperangan dari kelompok Khawarij tak lepas dari doktrin yang memasuki pikiran mereka. Di antara doktrin yang menjadi pokok pemikiran kaum Khawarij yang menyebabkan munculnya peperangan ini terbagi menjadi beberapa macam. Di antaranya adalah doktrin politik.
Latar belakang munculnya doktrin ini tidak lepas dari keberadaan Mu’awiyah yang secara teoretis kaum Khawarij menganggap tidak pantas memimpin negara. Hal ini dikarenakan Mu’awiyah adalah seorang tulaqo’. Yakni bekas kaum Musyrikin Makkah yang dinyatakan bebas pada hari jatuhnya kota itu kepada kaum Muslim. Kebenciannya semakin bertambah dengan kenyataannya keislaman Mu’awiyah belum lama.
Selain doktrin politik, Khawarij juga memiliki doktrin teologi yang radikal. Yang mana doktrin ini merupakan imbas dari pengaruh doktin sentralnya, yakni doktrin politik. Munculnya doktrin teologi yang radikal ini adalah pengaruh dari sisi budaya mereka yang radikal. Khawarij adalah kelompok yang berasal dari masyarakat Baduwi, memang mereka memiliki watak dan tata pikir yang keras, berani, tidak bergantung terhadap orang lain, dan tak gentar hati.
Di samping memiliki watak yang keras, mereka juga sangat fanatik dalam menjalankan agamanya. Di mana sifat fanatik ini yang membuat mereka berfikir sederhana, mencari sumber informasi tentang kepercayaan orang lain dari kelompoknya bukan dari sumber kepercayaan orang lain, mempertahankan secara kaku sistem kepercayaannya, dan menolak bila ada pendapat yang berbeda dengannya. Hal inilah yang membuat mereka sering melakukan kekerasan dalam menyalurkan aspirasinya.
Doktrin berikutnya adalah doktrin teologi sosial. Di antara prinsip yang mereka miliki adalah seorang harus menghindar dari pemimpin yang menyeleweng, amar ma’ruf nahi mungkar, manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan atas kehendak Tuhan. Sekilas prinsip mereka tampak seperti kelompok Mu’tazilah, meskipun kebenarannya perlu dikaji lagi lebih mendalam lagi.
Apabila memang doktrin teologis sosial ini benar doktrin yang dimiliki oleh kelompok Khawarij, bisa diprediksikan bahwa kelompok Khawarij sebenarnya adalah orang-orang yang baik. Namun karena mereka sebagai kaum minoritas penganut garis keras yang aspirasinya dikucilkan dan diabaikan oleh penguasa, ditambah pola pikirnya yang simplistis (sederhana), telah menjadikan mereka bersikap ekstrem dan sangat fanatik dengan kepercayaannya.
Allah SWT Berfirman dalam surat al-Maidah ayat 8 yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adil lah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah! Sungguh, Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan”.
Di dalam ayat ini, Allah memerintahkan pada orang Islam agar senantiasa berlaku adil tanpa memandang golongan. Perintah mengedepankan keadilan bahkan agar diiringi dengan berbuat baik (ihsan) terhadap sesama. Ihsan bukanlah sekedar tindakan baik namun kering akan adab dan etika sosial. Ihsan merupakan tindakan yang disertai dengan adab, toleransi, dan lain sebagainya.
Kita tidak boleh bersikap memaksakan pendapat kita benar. Menganggap apa yang dilakukan oleh orang lain itu salah apabila berbeda dengan kita. Padahal perbedaan pemahaman dalam syari’at Islam itu adalah hal yang wajar.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam kitab Dha’if Al-Jaami’ menjelaskan bahwasanya terdapat sebuah hadis ikhtilafu ummati rahmatun. Artinya: “perselisihan (pendapat) di dalam umatku adalah rahmat”. Hadis ini bisa kita dijadikan sebuah pelajaran untuk menyikapi keberagaman pendapat dalam Islam meskipun kalau ditelusuri lebih dalam sebenarnya hadis ini merupakan hadis maudhu’.
Perbedaan tidak boleh menjadi alasan munculnya sebuah perpecahan bagi kita. Kalau kita lihat sebenarnya warna itu akan tampak jauh lebih indah bila dipadukan bengan berbagai macamnya. Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin. Agama yang menjadi rahmat bagi alam semesta. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Oleh: Muhammad Sholihul Huda, Pondok Pesantren Mansajul Ulum, Pati.