Bagian II: Pemahaman Ijtihad Secara Umum

santrimillenial.id – “Ijtihad” dapat didefinisikan dengas dua pendekatan. 1) Pendekatan Bahasa. 2) Pendekatan Ahli Ushul. Secara bahasa, “Ijtihad” berasal dari Masdar lafadz ijtahada – yajtahidu – ijtihadan. Sebagai masdar kata “Ijtihad” mengandung arti bersungguh-sungguh, berusaha keras, atau mengerjakan sesuatu dengan susah payah.[1] Sedangkan para ahli ushul, terdapat perbedaan tentang definisi “Ijtihad” seperti:

Al-Syaukani mendefinisikan “Ijtihad” sebagai:

الإجتهاد بذل الوسع في نيل حكم شرعي عملي بطريق الإستنبط

Artinya: “Ijtihad adalah mencurahkan sekedar kemampuan untuk memperoleh suatu hukum syar’I yang bersifat operasional (amaly) dengan cara mengambil kesimpulan hukum (istinbath).

Zakariya al-Anshoriy mendefinisikan “Ijtihad” dengan redaksi[2]:

الإجتهاد إستفراغ الفقيه الوسع لتحصيل الظن بالحكم

Artinya:  Ijtihad adalah pencurahan seorang faqih akan semua kemampuan yang ada terhadap semua dalil untuk mencari hukum syara’ yang sifatnya dhonni.

Terlepas dari berbagai perbedaan di atas, pada intinya terdapat persamaan substansi di antara kedua definisi tersebut, yaitu mengerahkan segala kemampuan dan kekuatan pikiran yang dimiliki untuk menggali sebuah hukum (operasional/amaly) dengan metodologi penarikan hukum (Istinbath) yang tepat. Sehingga, dengan cara ini sebuah hukum yang dihasilkan akan menjadi sebuah produk yang benar-benar obyektif sesuai dengan nilai-nilai agama.

Elemen – Elemen dalam Ijtihad

Setelah memehami gambaran tentang “Ijtihad” secara definitive-praktis. Dalam bagian ini akan dibahas tentang elemen-elemen dalam ijtihad. Secara tidak langsung dalam proses ijtihad akan ditemukan unsur-unsur dalam ijtihad, seperti:

  1. Mujtahid, adalah orang yang melakukan ijtihad.
  2. Masalah yang akan digali hukumnya.
  3. Metode Istinbath (pengambilan kesimpulan pendapat).
  4. Natijah, atau sebuah kesimpulan akhir setelah melakukan analisis terhadap sumber-sumber hukum dalam Agama Islam.

[1] Louis Ma’luf, Al-Munjid Fi al-Lughoh Wa al-a’lam (Beirut: Maktabah Dar al-fikr, 1986). Hlmn. 106.

[2] Zakariya al-Anshori, Syarh Ghoyatul Wushul (Surabaya: Al-Haramain, n.d.). Hlmn. 147.

Anda mungkin juga suka.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *