Fikih merupakan sebuah ilmu yang membahas tentang hukum-hukum syara’ yang diambil dari dalil-dalil secara terperinci. Seiring berkembangnya zaman hukum fikih juga selalu berkembang untuk menyikapi berbagai permasalahan yang terjadi di dalamnya. Dari situlah muncul berbagai macam permasalahan hukum baru yang belum pernah ditetapkan oleh para ulama’ terdahulu.
Di Indonesia terdapat berbagai macam tradisi yang sering dilakukan oleh masyarakatnya. Namun, tradisi tersebut belum pernah sama sekali diajarkan oleh Rasulullah dan para sahabat terdahulu. Lalu bagaimanakah fikih untuk menyikapi hal tersebut?
Dalam kaidah ushul fikih terdapat rumusan para ulama’ yang mengatakan:
العادة محكمة
Artinya: “Adat istiadat dapat dijadikan pijakan hukum.”
Tentunya adat yang dimaksudkan dari kaidah tersebut adalah ‘adat jami’iyyah, yakni suatu kebiasaan yang dilakukan oleh sekelompok orang secara berulang-ulang. Jika adat tersebut hanya dilakukan oleh personal orang secara berulang-ulang, maka hal tersebut tidak bisa untuk dipandang sebagai sumber pijakan hukum.
Adat di sini sering diidentikan dengan ‘urf. ‘Urf adalah tradisi atau kebiasaan yang dilakukan berulang-ulang. Hanya saja ‘urf mengarah kepada kesepakatan sekelompok orang atau mayoritas, tidak bisa terjadi karena personal. Sehingga yang dimaksud dari ‘urf adalah adat kolektif, atau merupakan salah satu bentuk dari ‘adat jami’iyyah. (‘Isawi, t.t.: 241).
Namun, sebuah tradisi bukanlah landasan perangkat metodologis otonom yang berfungi mencetuskan hukum-hukum baru. Sebuah tradisi harus dipandang sebagai patner dan elemen yang perlu diadopsi secara selektif dan proporsional lagi.
Fenomena kebudayaan bukanlah sebuah dalil yang berdiri sendiri dan mampu melahirkan produk hukum baru. Sebuah adat kebudayaan hanyalah sekadar ornamen untuk melegitimasi hukum-hukum syari’at. Untuk melegitimasi hukum-hukum syari’at, adat kebudayaan juga disyaratkan harus dipandang baik menurut perspektif syari’at secara universal. Sehingga hal ini tidak bertentangan secara diametral dengan nas-nas keagamaan yang tekstual.
Untuk menyikapi hal ini juga perlu adanya sebuah pertimbangan, terdapat sebuah hadis mauquf yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud melalui sanad Abu Dawud. Yang mana hadis ini menjadi sebuah dasar dari permasalahan di atas.
ما رآه المسلمون حسنًا فهو عند الله حَسَن وما رآه المسلمون سيأ فهو عند الله سيئ
Artinya: “Apa yang diyakini dan dipandang oleh kaum muslimin sebagai suatu kebaikan, berarti baik pula di sisi Allah. Dan apa yang dianggap buruk oleh kaum muslimin, maka buruk pula di sisi Allah.”
Hadis ini menjadi sebuah landasan tentang keabsahan ‘urf sebagai sumber pensyari’atan. Selain dari Hadis tersebut, para Fuqoha’ juga mengambil dalil dari ayat Al-Quran pada surah Al-A’raf.
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَاَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِيْنَ
Artinya: “Jadilah Engkau Pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf: 199)
Ayat ini menjadi landasan pengabilan hukum dari penetapan ‘urf oleh para Fuqoha’. Menurut Al-Wahidi dalam tafsirnya, lafadz ‘urf berarti suatu perbuatan yang setiap orang dapat membenarkannya dan dapat diterima hati. Ini adalah pernyataan Muqatil, Urwah, dan Adh-Dhahhak.
Kedua dalil tersebut dapat kita hubungkan mengenai tradisi yang sering kita lihat di Indonesia. Bahwasanya sebuah tradisi bisa dijadikan sebagai pijakan untuk mendesain produk hukum. Dengan syarat memang tradisi tersebut dipandang memiliki nilai positif di sisi Allah SWT. Sebab pandangan umum yang dimaksud pada penjelasan sebelumnya ialah tidak bertentangan dengan apa yang dikehendaki oleh Allah SWT.
Oleh karena itu, sebuah tradisi yang sudah mengakar pada daerah setempat tidak perlu untuk dihapus dengan alasan karena belum pernah dilakukan pada zaman Rasulullah dan sahabat dahulu. Islam mengajarkan pada umatnya untuk menyikapi dan mengapresiasi suatu tradisi lokal, di mana Islam juga ikut andil berada di dalamnya secara positif dan bijaksana.
Oleh: Muhammad Sholihul Huda, Pondok Pesantren Mansajul Ulum, Pati.