free page hit counter

Eskatologi: Perspektif Agama dan Filsafat

“ESKATOLOGI: PERSPEKTIF AGAMA DAN FILKematian merupakan suatu keniscayaan yang akan dialami oleh semua makhluk bernyawa, yang tiada seorangpun dapat menolaknya. Sebagai manusia yang percaya akan keberadaan Tuhan, sikap percaya dengan adanya kehidupan setelah mati ini akan otomatis muncul dengan sendirinya. Berbeda halnya dengan apabila seseorang tidak mempercayai keberadaan Tuhan, maka ketidakpercayaan terhadap kehidupan sesudah mati dalam hal ini dapat ditolerir.

Eskatologi sebagai ilmu yang mengkaji mengenai fase kehidupan terakhir (akhirat) melandasi argumen berdasarkan keyakinan atau juga dapat dikatakan wahyu. Karena adanya keyakinan yang berbeda-beda, para filosof dan teolog saling beradu argumen mengenai masalah ini. Benturan yang terjadi di antara para filosof dan teolog ini menjadi sebuah topik yang sangat menarik untuk dikaji. Pasalnya sampai kapanpun persoalan ini tidak akan memperoleh suatu penjelasan yang final.

Pembahasan mengenai kehidupan setelah mati merupakan permasalahan yang sukar untuk dijelaskan, karena keadaan tersebut merupakan misteri dalam dunia metafisik yang tiada satupun yang pernah mengalaminya.Dalam hal ini argumen Agama memberikan doktrin kepada manusia bahwa keselamatan kehidupan manusia dalam jangka panjang hanya akan terjadi apabila manusia memiliki kesadaran terhadap kehidupan ruhaninya dan mengolah alam semesta dalam upaya untuk meningkatkan kualitas ruhaniah bukan mengekploitasi semesta hanya untuk kepentingan material sesaat.

Dari sekian banyak teolog dan filosof yang berbicara mengenai eskatologi, pada makalah ini penulis tidak akan membahas eskatologi secara menyeluruh, melakinkan membatasi topik pembahasan secara umum menurut agama-agama, yang kemudian diperdalam dengan garis besar argumen para filosof terkemuka.Agama-agama besar tidak luput dari pembahasan mengenai kematian dan keadaan setelah mati. Baik agama yang berdasarkan wahyu atau agama yang tidak berdasarkan wahyu, sama-sama memiliki perhatian khusus mengenai kematian dan keadaan setelah mati.

Dalam agama Buddha, misalnya, terdapat penekanan mengenai adanya nirvana, yaitu keadaan setelah mati dimana yang ada pada saat itu hanyalah kedamaian absolut. Menurut Buddha, kehidupan ini tidak lebih dari sekedar penjara bagi jiwa manusia. Untuk melepaskan jiwa dari keterikatan tersebut, maka manusia harus mensucikan dirinya. Apabila tidak demikian, maka manusia akan kembali ke alam materi melalui tahap reinkarnasi.

Istilah reinkarnasi juga sebelumnya telah diyakini oleh pemeluk agama Hindu, secara spesifik agama ini meyakini reinkarnasi terbagi menjadi tiga golongan jiwa. Golongan pertama, adalah jiwa yang terbebas dari kelahiran kembali (reinkarnasi). Golongan kedua, adalah jiwa yang akan kembali ke dunia dalam bentuk manusia. Golongan ketiga, adalah jiwa yang akan lahir kembali ke dunia dalam bentuk reptil atau serangga.

Dalam kepercayaan agama abrahamik, kehidupan sesudah mati merupakan suatu keyakinan pokok setelah beriman kepada Tuhan. Mengenai hal ini, Islam khususnya, secara lugas menerangkan kehidupan setelah mati dalam al-Qur’an surah Al-Hadid Ayat 20:

اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ ۖ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا ۖ وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ ۚ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

Artinya: “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Q.S. Al-Hadid (57) : 20).

Kehidupan setelah mati menurut Islam, secara garis besar digambarkan sebagaimana ayat diatas, di dalamya terdapat azab yang keras dan ampunan dan keridhaan Tuhan. Umat Islam secara khusus meyakini bahwa kehidupan di dunia ini tidak lebih dari sekedar kesenangan yang menipu. Karenanya Islam khususnya, tidak terkecuali bagi agama abrahamik lainnya, mengharuskan umatnya untuk taat terhadap perintah Tuhan agar terhindar dari azab-Nya di akhirat kelak.

Keadaan yang demikian menjadikan seseorang yang percaya akan adanya Tuhan terdorong untuk mencari keridhaan Tuhan, yang mana kehidupan akhirat merupakan konsekuensi logis atas perbuatan yang dilakukan oleh manusia selama di dunia. Sebab, untuk mendapat ridha-Nya, manusia harus patuh atas apa yang diperintahkan oleh Tuhan, yang mana perintah tersebut disampaikan kepada manusia melalui utusan-utusanNya dalam bentuk ayat-ayat yang tertulis dalam kitab suci (wahyu).

Eskatologi Menurut Filsafat (Islam)Kematian dalam pandangan para filsafat Islam adalah awal dari sebuah kehidupan, kematian di dunia menjadi awal kehidupan akhirat. Kematian merupakan gerbang yang menghubungkan antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Kematian adalah akhir dari perjalanan jiwa manusia di dunia. Namun, jiwa manusia akan melanjutkan kehidupannya diakhirat kelak, yakni kembali ke sisi Allah. Kembalinya manusia dari kehidupan dunia menuju kehidupan lain digambarkan dengan istilah maut (kematian).

Manusia tidak akan mengalami kematian mutlak, melainkan hanya kehilangan kondisi tertentu dan beralih kekondisi yang lain. Maka kesirnaan itu bersifat relatif. Fakta bahwa ketakutan manusia akan kematian, menurut iman Hussein Thaba’i, merupakan bukti bahwa hal itu adalah buah dari hasrat manusia pada keabadian, dan mengingat bahwa tak ada yang sia-sia di alam ini, maka hasrat ini sendiri bisa menjadi dalil bagi kekekalan hidup manusia sesudah mati. Kehidupan akhirat adalah kelanjutan dari berakhirnya kehidupan dunia setelah melalui pintu gerbang kematian. Dalam kehidupan akhirat ini, manusia akan mendapatkan konsekuensi logis atas perbuatannya ketika hidup di dunia.

Pokok permasalahan yang timbul dalam masalah ini, seperti diasumsikan oleh Ibn Rusyd adalah apakah kehidupan (kenikmatan dan kesengsaraan) di akhirat bersifat jasmani atau rohani atau keduanya? Terdapat tiga kelompok pandangan dalam masalah terebut: Pertama, Golongan Zindiq, mereka menyakatan bahwa keadaan di akhirat hanya menyangkut masalah kenikmatan dan kelezatan yang tidak terbatas, seperti kenikmatan dan kelezatan dalam kehidupan dunia. Kedua, golongan yang menyakatan bahwa keadaan (kenikmatan dan kesengsaraan) di akhirat kelak hanya bersifat rohani. Ketiga, golongan yang menyakatan bahwa keadaan disana adalah bersifat jasmani seperti di kehidupan dunia dengan perbedaan dalam masalah kekekalan di akhirat.

Dalam masalah ini, Ibn Rusyd mengambil posisi sependapat dengan golongan yang kedua, karena menurutnya, unsur jasmani (kuantitas/fisik) manusia telah rusak setelah kematian, yang tidak rusak dari manusia setelah kematian adalah unsur rohani (kualitas)nya. Sebelum Ibn Rusyd, Al-Ghazali melontarkan sanggahan keras terhadap pemikiran para filosof. Salah satu kritikan al-Ghazali kepada para filosof adalah menyangkut masalah roh yang mengatakan bahwa mustahil mengembalikan roh kepada jasad semula. Menurut mereka, rohani setelah berpisah dengan jasad berarti kehidupan telah berakhir dan tubuh telah hancur.

Menurut al-Ghazali, dalam ajaran Islam terdapat indikasi adanya kekelan roh, sementara itu kebangkitan jasmani secara ekspilisit telah ditegaskan syara’, dengan arti jiwa dikembalikan pada tubuh, baik tubuh semula maupun tubuh yang lain, atau tubuh yang baru dijadikan. Karena tubuh manusia dapat berganti bentuk, seperti dari kecil menjadi besar, dari kurus menjadi gemuk, dan sebaliknya. Hal yang penting ada suatu tubuh berbentuk jasmani yang dapat merasakan kepedihan dan kebahagiaan. Allah Maha Kuasa menciptakan segala sesuatu. Allah dengan kemahakuasaannya tidak merasa sulit menjadikan dari setitik sperma menjadi aneka macam tubuh, seperti tulang, daging, kulit, urat saraf dan lainnya. Justru itu Allah dengan mudah mengembalikan rohani pada tubuh di akhirat.

Pemikiran al-Ghazali yang demikian juga mendapat bantahan dari Ibn Rusyd, menurutnya sikap al-Ghazali sendiri tidak konsisten, saling bertentangan dengan ucapannya sendiri. Dalam buku Thahafut al-falasifah, al-Ghazali mengatakan tidak ada seorang muslim-pun yang berpendapat bahwa kebangkitan jasmani tidak ada. Akan tetapi, dalam bukunya mengenai tasawuf, ia mengemukakan bahwa pendapat kaum sufi yang ada nanti hanyalah kebangkitan ruhani. Perdebatan antara al-Ghazali dan Ibn Rusyd mengenai hari kebangkitan merupakan bagian dari sumbangan pemikiran mengenai kehidupan setelah mati. Akan tetapi usaha yang demikian harus dilihat dari perspektif yang luas, yakni usaha untuk menjelaskan keadaan di akhirat.

Dalam hal ini kita sebagai pelajar tidak perlu mencari mana yang paling benar dari kedua pendapat tersebut, melainkan mana yang paling cocok dengan pemahaman masing-masing. Karena bagaimanapun keduanya sama-sama tidak menolak adanya hari kebangkitan. Hal ini lumrah terjadi dikalangan umat Islam. Perbedaan yang demikian tidak akan membawa pada kekafiran. Lebih lanjut Ibnu Rusyd menekankan hadits Rasulullah saw. Siapa yang benar dalam berijtihad dan di bidangnya maka ia mendapat dua pahala dan siapa yang salah dalam ijtihadnya ia mendapat satu pahala. [Hava]

Anda mungkin juga suka.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *