Hasrat menjadi perbincangan yang semakin intens di era ini. Bahkan, hasrat dianggap sebagai paradigma utama kehidupan sosial. Gilles Deleuze adalah salah satu pemikir Barat yang berfokus pada masalah Hasrat Deleuze menjelaskan hasrat dengan paradigma yang materialis dan sepenuhnya imanen. Karena itu, bagi Deleuze, hasrat perlu untuk dibebaskan dari berbagai kekangan seperti norma sosial, kebiasaan, atau agama. Bagi Deleuze, gagasannya tentang hasrat memang tidak sejalan dengan nilai moral, tetapi ia masih bernilai etis.
Kurang lebih sejak paruh ke-dua abad 20, situasi sosial budaya Barat mengalami perubahan yang cukup drastis. Terutama setelah perang dunia ke dua, masyarakat Eropa dan Amerika memasuki era baru yang lebih urban, modern, dan egaliter. Ada rasa trauma akibat perang besar yang kemudian menyebabkan masyarakat lebih memilih untuk pulih dengan cara membangun kekuatan ekonomi dan kesejahteraan material. Seperti dinarasikan oleh O’Donnel, teknologi yang telah dikembangkan untuk perang tersebut, dikonversi untuk kepentingan massal. Hal inilah yang menghasilkan perubahan sosial yang pesat . Perubahan sosial yang siginifikan tersebut menggariskan satu pola kebudayaan mutakhir berupa komunitas manusia yang lebih mengedepankan kebiasaan konsumeris, mengutamakan citra, serta lebih dekat dengan teknologi informasi. Ada beberapa fenomena senada yang juga diungkap oleh Hossein Nasr: maraknya hubungan lawan jenis yang lebih bebas, kemunculan tempat-tempat hiburan baru, dan daya tarik yang meningkat terhadap turnamen olahraga. Semua hal tersebut memiliki corak yang sama: afirmasi atas nihilisme dengan pemenuhan kepuasan badani.
Aransememen sosial anyar, atau apa yang disebut dengan masyarakat pasca industrial—meminjam istilah Aron Touraine—ini memerlukan teori baru yang tentu saja tidak sama dengan teori yang lama. Di antara teori sosial yang muncul adalah teori hasrat oleh Gilles Deleuze. Penjelasannya menyatakan bahwa masyarakat pada era kontemporer ini lebih terbuka untuk membebaskan hasratnya. Mereka juga dinilai tidak lagi merujuk kepada Freud atau Lacan yang menawarkan pembatasan hasrat . Ia mengafirmasi hal ini dan menegaskan bahwa memang pada dasarnya hasrat adalah daya produktif yang layak disalurkan. Sebagai filsuf yang banyak terpengaruh oleh Nietzsche, Deleuze memiliki semangat untuk mendobrak kemapanan dan mempertanyakan kembali janji-janji pencerahan yang dinilai gagal. Teorinya mengenai hasrat merupakan salah satu upaya untuk menggeser dominasi akal sebagai narasi besar dan menggantikannya dengan narasi-narasi kecil. Dengan membaca Deleuze yang revolusioner, masyarakat menjadi terbantu untuk memahami kondisi yang dialaminya.
Hasrat dalam Pemikiran Deleuze
Deleuze menjelaskan hasrat dan mendefinisikannya dengan motor penggerak atau mesin (desiring machine). Sebagaimana mesin, hasrat senantiasa bekerja dan beraktivitas. Ia permanen, tanpa pembatas, tanpa mengenal ruang, waktu, atau kategori apapun. Penyebutan hasrat dengan mesin ini sifatnya esensial, bukan sekadar analogi. Artinya, hasrat memang secara inheren (berada dalam dirinya) bersifat menggerakkan, mengalirkan, dan mendorong. Setiap orang senantiasa terdorong untuk memiliki atau melakukan sesuatu karena hasratnya.
Pengertian ini merupakan sanggahan Deleuze terhadap Freud dan Lacan yang menyatakan bahwa hasrat adalah entitas yang liar dan negatif. Sebagai mesin, hasrat adalah daya kehidupan yang produktif. Hasrat memiliki sifat mencipta dan menemukan kebaharuan, di mana jawaban atas berbagai permasalahan kehidupan menantang pemikiran-pemikiran yang lebih segar. Jadi, jika Freud menyatakan bahwa hasrat adalah liar dan karenanya harus direpresi, Deleuze menyatakan sebaliknya, hasrat adalah energi yang positif dan terus memproduksi.
Makna produksi dalam pandangan Deleuze tersebut berbeda dengan makna produksi dalam disiplin ilmu ekonomi. Produksi merupakan akumulasi dari rentetan aktifitas: produksi, distribusi, dan konsumsi sekaligus. Alasannya, setiap proses produksi akan senantiasa diiringi oleh proses penyebaran, konsumsi, kemudian berulang lagi dengan proses reproduksi baru, penyebaran baru, konsumsi baru, dan begitu seterusnya.
Jika dijelaskan, cara kerja mesin hasrat tersebut menempuh tiga langkah. Pertama, koneksi. Maksudnya, antara mesin hasrat yang satu akan terhubung dengan mesin hasrat yang lain. Seperti contoh, mulut bayi terhubung dengan payudara ibunya. Kedua, disjungsi. Disjungsi adalah penyaluran serta penyebaran hasrat. Ketiga, konjungsi. Artinya, setelah disalurkan, hasrat akan terus bergerak tanpa mengenal kode. Penjelasan ini sekaligus menerangkan bahwa Deleuze telah mengangkat wacana hasrat dari tingkat individual menuju tingkat sosial.
Hasrat dan Nilai Etika
Dengan rumusan Deleuze tentang hasrat yang revolusioner, sebagian kalangan akan menganggap bahwa ia telah pergi jauh meninggalkan etika. Kenyataannya, sebagaimana dikomentari oleh Foucalt, karya Deleuze yang memuat teori hasrat adalah buku etika.
Hanya saja, patut diketahui bahwa Deleuze membedakan antara moral dengan etika. Baginya, etika merupakan seperangkat fakultas (a set of faculties) yang tidak bergantung pada norma tetap maupun abadi. Artinya, etika tidak berkaitan dengan apa yang seharusnya dilakukan atau tidak oleh seseorang, etika tidak pula berkaitan dengan apa yang boleh atau dilarang. Bagi Deleuze, etika adalah nilai-nilai yang digunakan untuk mengevaluasi atau mengukur situasi tertentu dalam kekhususannya. Jika moral mempertanyakan apa yang harus atau patut saya lakukan? maka etika mempertanyakan apa yang bisa saya lakukan, atau bagaimana saya bisa memiliki kekuatan saya secara aktif? “Bagaimana situasi tertentu dengan ide atau tubuh eksternal memengaruhi seseorang,” itulah etika. Artinya, terdapat elemen pribadi atau subjektifitas dalam etika.
Sebagai seorang filsuf yang mengkritik jani-janji pencerahan, Deleuze menganggap bahwa kehidupan tidak memiliki tujuan definitif. Tanpa upaya melampauinya, manusia akan terjebak pada kondisi nihil kehidupan. Produk pemikiran para filsuf modern yang masih mengandaikan adanya nilai-nilai ideal, baginya merupakan cerminan dari sikap tersebut. Oleh karena itu, Deleuze berkepentingan untuk membersihkan jagat pemikiran dan filsafat dari bekas-bekas transendensi dengan membumikan kembali imanensi. Dalam upayanya membedakan antara etika dan moral, dalam hal ini, juga merupakan bagian dari proyek besarnya: mengimanenkan filsafat.
Sebagai sebuah nilai yang mengandaikan standar ideal di luar dirinya (transenden) dan bersifat absolut-universal, moral mengindikasikan kebencian pada kehidupan. Moralitas adalah bentuk ressentiment, tidak lebih dari seorang hakim yang tidak hanya mengabaikan kekhususan dan singularitas masing-masing subjek, tetapi juga menyembunyikan kebencian terhadap kehidupan. Dengan demikian, agar setiap subjek terbebas dari perangkap moralitas, Deleuze menawarkan etika sebagai solusi dari klaim maupun aturan dogmatis.
Oleh : Hava Haniva Ariantara (RMI Jawa Tengah)
Sumber Gambar : Dictio Community