santrimillenial.id – Tulisan sebelumnya saya telah menyinggung bahwa “Pancasila” merupakan sebuah ideologi yang dijadikan bangsa Indonesia untuk menggapai perdamaian. Hal ini telah menjadi konsensus bagi seluruh warga negara. Walaupun demikian, terkadang masih banyak konflik yang dilakukan oleh kelompok-kelompok radikal untuk meruntuhkan kesatuan dan persatuan bangsa. Biasanya kelompok ini menggunakan jubah “agama” dan menjadikan “agama” sebagai alat untuk menyalahkan orang lain atau mengkambinghitambkan sistem negara yang non-islami dan mengganggap pemerintah atau jajarannya sebagai “thogut”. Dengan menstatuskan pemerintah sebagai “thogut”, maka ada kewajiban bagi umat Islam untuk melakukan perlawanan.
Istilah “Thogut”
“Thogut” merupakan istilah yang sering digunakan oleh kelompok-kelompok radikal dalam melawan system kepemerintahan Indonesia. Dalam kamus Lisanul Arob kata “thogut” diartikan sebagai berikut:
الطاغوتُ: مَا عُبِدَ مِنْ دُونِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
Artinya: “(Thogut) adalah sesuatu yang disembah selain Allah Swt”
Argumentasi ini secara sepintas benar. Apalagi dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 44 menjelaskan barang siapa yang tidak menghukumi sesuatu tidak menggunakan hukum Allah, maka orang tersebut tergolongkan orang-orang kafir.
وَمَنْ لَّمْ يَحْكُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْكٰفِرُوْنَ
Artinya: “Siapa yang tidak memutuskan (suatu urusan) menurut ketentuan yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.”
Ayat ini secara tekstual sangat jelas dan mendukung argumentasi di atas. Akan tetapi, perlu kita ketahui bersama bahwa dalil-dalil agama di atas digunakan untuk menguatkan atas anggapan bahwa falsafah negara (Pancasila) tidak benar dan membangun kebencian kepada pemerintah di tengah masyarakat. Dengan demikian, secara otomatis pemerintah atau jajarannya berstatus sebagai “kafir” dan wajib diperangi. Sehingga terjadi aksi-aksi terorisme yang berlatarbelakang agama.
Agama Islam membawa Perdamaian
Secara tidak langsung, dari argumentasi di atas dapat disimpulkan bahwa agama adalah sesuatu yang mengerikan, karena terdapat ajaran-ajaran kekerasan. Kesimpulan ini tidak dapat dibenarkan. Karena bertentangan dengan misi diturunkannya Agama Islam, yaitu untuk membawa perdamaian (kasih sayang). Hal ini tegaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Anbiya ayat 107
وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ
Artinya: “Kami tidak mengutus engkau (Nabi Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.”
Dengan demikian, kegiatan-kegiatan yang membawa kerusakan, kericuhan, dan kekerasan tidak selaras dengan misi diturunkannya agama.
Lantas bagaimana menyikapi dalil-dalil di atas dalam konteks Negara Indonsia?
Untuk membahas hal-hal yang bersifat religious kita harus bersikap hati-hati. Karena argumentasi yang membawa nama agama jika tidak disampaikan secara tuntas akan mudah disalahpahami dan mudah memicu adanya konflik. Karena agama berada dalam ranah paling dalam dalam jiwa manusia, berkaitan dengan keyakinan dan emosi. Hal ini oleh teolog Lutheran Paul Tillich disebut sebagai The Ultimate Concern.
Hukum Agama sebagai Etika Sosial
Oleh karena itu, terdapat beberapa hal yang perlu kita pahami bersama bahwa hukum-hukum Islam dapat dijalankan di Negara Islam. Sedangkan Negara Indonesia tidak Negara Islam. Sehingga hukum-hukum Islam tidak dapat diimplementasikan secara keseluruhan. Dalam hal ini Kyai Sahal, pencetus Fiqh Sosial asal Pati menjelaskan bahwa hukum agama tidak dijadikan sebagai hukum positif negara, melainkan sebagai etika sosial. Walaupun Indonesia tidak Negara Islam, akan tetapi dalam praktik kenegaraan tetap memegang erat nilai-nilai agama.
Sebagaimana dilansir dari laman resmi kemenag bahwa Indonesia tidak memformalkan negara yang berbasis agama. Walaupun demikian, tidak dikatakan juga bahwa Indonesia sebagai negara sekuler yang memisahkan relasi antara agama dan negara. Bahkan di Indonesia terdapat satu kearifan lokal (local wisdom) yang masih bertahan sampai saat ini. Yaitu budaya “Teposliro”, yaitu pertautan antara toleransi dan tenggangrasa antar warga negara. Hal ini dapat terwujud lantaran adanya semangat persatuan dan kesatuan walaupun di tengah perbedaan suku, agama, dan ras. Sehingga muncul kehidupan yang damai. Semangat persatuan disebutkan dalam Pancasila sila ke-3 “Persatuan Indonesia”.
Pancasila, Sebuah Ideologi Perdamaian
Sampai di sini telah meyakinkan kepada kita bahwa “Pancasila” sebagai falsafah negara dapat membawa dalam perdamaian. Ditegaskan oleh Prof. Yudian Wahyudi, Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) bahwa Pancasila menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan, kemanusian, dan keadilan.
Oleh: Muhammad Ulil Albab, Santri PP. Mansajul Ulum