Efektivitas Persona Jokowi dalam Keputusan Wacana Pemindahan Ibu Kota Baru Berdasarkan Will to Power F.W Nietzsche (1)

santrimillenial.id – Bersama dengan Marx dan Kierkegaard, Nietzsche telah menjadi tokoh filosof pada abad ke-19 dan pemikirannya menjadi jalan keluar dari berbagai permasalahan filosofis. Nietzsche telah dianggap sebagai salah satu leluhur Eksistensialisme. Meskipun pemikirannya sering dipandang terlalu liar dan sangat terbuka untuk ditafsirkan, karena hal inilah yang menjadikan pemikiran Nietzsche sering disalah artikan dalam cara-cara yang mengandung kekejaman. 

Sejarah, Agama, dan Sains

Teori ini mengatakan bahwa kehidupan itu sangatlah tidak masuk akal dan menegaskannya melalui sejarah, doktrin agama dan sains yang akhirnya membawa manusia terasingkan dari keberadaan yang hakiki yaitu kehendak untuk berkuasa. Nietzsche sangat berupaya untuk mendefinisikan kembali kebenaran dari sudut pandang holistik berbasis realitas empiris. 

Ia mengakui, tidak ada kebenaran selain bersifat terakhir dalam hidup manusia dan secara sadar dapat diterimanya penderitaan sebagai aspek yang tidak bisa dihindarkan dalam kehidupan, dapat membawa seseorang menjadi Ubermensch. Ubermencsh diartikan sebagai individu yang memiliki kesadaran dan kebebasan penuh dalam menciptakan dan memimpin kehidupannya.

Menurutnya, sejarah dipandang sebagai bentuk atas dasar dari pergerakkan interpretasi dan dari berbagai value yang ada. Pengertian atas segala hal yang ada merupakan tafsiran dan pemahaman atas sejarah. Nietzcshe juga percaya dua hal penyebab pergerakkan interpretasi dan value tersebut adalah agama dan ilmu pengetahuan. Semua sistem agama, ilmu pengetahuan dan ideologi apapun yang mengatur kehidupan manusia dalam cita-cita yang menyangkal kehidupan (akhirat, dosa, pahala dsb) telah mengasingkan manusia dari naluri alamiahnya.

Nietzsche, Tiada Satupun Hal yang Mutlak Kebenarannya

Filsafat Nietzsche juga menegaskan bahwa tiada satu pun hal yang mutlak kebenarannya, semua perlu dipertanyakan. Hal ini masih bersangkutan dengan pandangan eksistensialisme, menurutnya ini adalah sebuah kunci dari penyelidikan dan dapat dianggap sebagai sebuah awal dari proses pencerahan pribadi yang mempengaruhi tindakan seseorang di dunia. Konsekuensinya, kebenaran tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang statis, namun lebih merupakan proses dinamis yang menggambarkan kehidupan yang dialami.

Oleh: Hava Haniva Ariantara, RMI NU Jawa Tengah

Anda mungkin juga suka.