Efektivitas Persona Jokowi dalam Keputusan Wacana Pemindahan Ibu Kota Baru Berdasarkan Will to Power F.W Nietzsche (3)

IKN Sebagai Representasi Kemajuan Bangsa

Presiden telah menekankan bahwa ibukota baru juga nantinya tak hanya menjadi sebagai simbol identitas bangsa, tetapi juga sebagai representasi kemajuan sebuah bangsa. Letak ibu kota baru yang berada di tengah Indonesia diharapkan dapat mewujudkan pemerataan dan keadilan.

Gagasan The Will to Power banyak menyita perhatian dari berbagai kalangan. Secara tekstual, kalimat “The Will to Power” seolah bermakna politis dan bahkan bercorak kasar. Sehingga tidak salah jika kalimat tersebut cukup mengandung banyak penafsiran Bagi Nietzsche, dunia adalah kehendak untuk berkuasa dan moralitas yang termasuk bagian dari dunia pun tak luput darinya. Dunia yang dimaksud Nietzsche di sini adalah dunia kehidupan yang dialami sehari-hari, bukan dunia lain di luar dunia keseharian, dunia yang metafisis.

The Will to Power” Relevan dengan Pemindahan Ibukota

Kehendak untuk berkuasa ini juga sangat relevan dengan pemindahan ibukota negara. Yang juga dimana kinerja seorang Presiden sangat dipandang oleh masyarakat luas. Melihat rencana panjang dan gerak cepat Presiden Jokowi untuk memindahkan IKN dan memperhatikan Visi Indonesia di tahun 2045 yaitu Indonesia Maju. 

Jokowi Sebagai Sosok Sentral

Jokowi telah menjadi sosok sentral dalam keputusan untuk memindahkan Ibu Kota Indonesia dari Jakarta ke Kalimantan Timur. Dalam menganalisis efektivitas persona Jokowi dalam konteks ini, kita dapat melihatnya dari perspektif “Will to Power” (Keinginan akan Kekuasaan) yang diperkenalkan oleh filsuf Jerman, Friedrich Wilhelm Nietzsche.

Nietzsche memandang bahwa manusia didorong oleh keinginan akan kekuasaan. Dalam konteks pemindahan ibu kota, persona Jokowi dapat diinterpretasikan sebagai sosok yang memiliki keinginan kuat untuk memimpin perubahan besar, menunjukkan ambisi politik dan keinginan untuk meningkatkan pengaruhnya sebagai pemimpin.

“Will to Power” menekankan bahwa keinginan untuk mencapai kekuasaan dapat menggerakkan tindakan transformasional. Jokowi, melalui keputusan pemindahan ibu kota, berusaha menciptakan perubahan yang signifikan dalam struktur pemerintahan dan pembangunan nasional, mencerminkan aspirasi kekuasaan yang mencakup aspek ekonomi, politik, dan sosial.

Kekuasaan Melibatkan Dimensi Moral

Nietzsche menyoroti pemahaman bahwa konsep kekuasaan juga melibatkan dimensi moral. Jokowi dalam keputusan ini mencoba membenarkan pemindahan ibu kota sebagai langkah yang akan memberikan manfaat jangka panjang bagi pembangunan dan kesejahteraan nasional, merangkul dimensi moral dalam upayanya untuk memimpin.

Nietzsche menekankan konsep “amor fati” atau cinta pada nasib, yang menunjukkan kekuatan dalam menghadapi tantangan. Jokowi, dihadapkan pada kritik dan resistensi terkait pemindahan ibu kota, perlu menunjukkan ketangguhan dan kemampuan untuk mengatasi hambatan demi mencapai tujuan kekuasaannya.

Kekuasaan Akan Menarik Kritik dan Penolakan

Nietzsche pun telah memperkirakan bahwa tindakan kekuasaan akan menarik kritik dan penolakan. Jokowi, dalam menjalankan rencananya, perlu mengelola kritik dengan bijak dan memastikan bahwa efektivitas keputusannya tetap terjaga di tengah dinamika sosial dan politik.

Dalam perspektif “Will to Power” F. W. Nietzsche, efektivitas persona Jokowi dalam keputusan pemindahan ibu kota dapat dianalisis sebagai manifestasi dari keinginan yang kuat untuk mencapai dan mempertahankan kekuasaan. Pemahaman terhadap dimensi kekuasaan, moralitas, ketangguhan, dan respons terhadap kritik dapat membantu melihat dinamika kompleks yang melibatkan pemimpin dan keputusan besar yang mempengaruhi nasib bangsa.

Kesimpulan

Kehendak untuk berkuasa memang sangat relevan dengan pemindahan IKN. Ini juga bisa dilihat dari buku Nietzsche yang berjudul The Genealogy of Morals hakekat hidup adalah kehendak untuk berkuasa. Lagi, dalam The Will to Power ia menyebutkan bahwa hakekat terdalam dari ada (being) adalah kehendak untuk berkuasa. Singkatnya, kehendak untuk berkuasa adalah hakekat dunia, hidup dan ada. Kehendak untuk berkuasa adalah hakekat segala-galanya.

Refrensi

S. T. Sunardi, Nietzsche.

Friedrich Niezsche, Beyond Good and Evil: Prelude Menuju Filsafat Masa Depan, terj.Basuki Heri Winarno (Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002). 

Nietzsche, “Beyond Good and Evil”, in Masterpiece of Philosophy, ed. Frank N. Magill (New York: Hapercollins Publisher, 1990).  

Oleh: Hava Haniva Ariantara, RMI NU Jawa Tengah

Anda mungkin juga suka.