santrimillenial.id – Sebagai negara yang mayoritas penduduknya Islam, muslim Indonesia menganut aliran yang berbeda-beda. Misalnya Syi’ah, Sunni (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah,dan Muktazilah. Berbagai aliran Islam ini bersumber dari keberagaman pemikiran para tokoh Islam terdahulu. Sekte-sekte ini mempunyai karakteristik dan historisnya masing-masing. Dan hal ini memunculkan banyak perbedaan dan perdebatan diantara mereka.
Seperti perdebatan antara Sunni dan Muktazilah. Kedua sekte ini mempunyai pemikiran yang saling bertolak belakang. Aliran Sunni atau Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ini berpedoman pada Sunnah Rasulullah Saw dan para sahabatnya. Menurut Syaikh Hasyim Asy’ari dalam zidayat ta’liyat, Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah kelompok ahli tafsir, ahli hadist dan ahli fiqih. Muhammad Abdul Heye di dalam buku Aliran-Aliran Filsafa Islam juga mengatakan bahwa penganut madzhab Asy’ari ini meletakkan fondasi sebuah teologi Islam ortodoks atau Kalam ortodoks. Asy’arisme juga menggunakan dialektika demi untuk mempertahankan otoritas wahyu Illahi sebagaimana diterapkan pada masalah-masalah teologis.
Sedangkang aliran Muktazilah adalah golongan yang membawa persoalan teologi yang lebih mendalam dan rasional. Mereka percaya bahwa arbiter bagi segala yang diwahyukan mesti akal teorotis. Hal ini bertolak belakang dengan kaum Asy’ari . Paham ini menjadi paham kenegaraan pada masa pemerintahan Ma’mun bin Harun Rasyid sekitar abad ke III, IV, dan V.
Perdebatan antara Muktazilah dan Asy’ariah
Perdebatan yang paling mencolok diantara kedua paham ini adalah tentang siapa yang berhak menentukan baik dan buruk.
Kelompok Muktazilah dalam hal ini mengedepankan akal. Maka menyatakan bahwa hukum bisa ditentukan oleh akal. Berbeda dengan Sunni, golongan yang menyatakan bahwa hanya Allah yang bisa menentukan hukum.
Dalam hal ini, Muktazilah berpendapat bahwa manusia bebas menentukan apa yang mereka lakukan. Baik itu perbuatan baik maupun buruk. Manusialah yang menciptakan perbuatan tersebut. Bukan Allah. Imbasnya, akan ada dosa dan pahala yang menjadi efek dari perbuatan yang manusia lakukan.
Muktazilah berpendapat, bahwa akal mempunyai potensi yang besar untuk membedakan perbuatan baik dan buruk. Tanpa adanya perintah dari Rasul, akal bisa mengidentifikasi bahwa berbohong adalah perbuatan yang buruk dan jujur adalah perbuatan yang baik. Dengan potensi ini, sebenarnya akal pun bisa menemukan hakikat hukum syar’iat.
Sebenarnya golongan Sunni tidak menolak keras pendapat dari Muktazilah. Sunni, mengungkapkan pendapat yang moderat dengan membagi pemaknaan baik dan buruk. Imam Jalaluddin al- Mahalli mengungkapkan di dalam kitab jam’ul jawami’ :
“Baik buruknya segala sesuatu apabila dimaknai sebagai sesuatu yang bisa membuat hati menjadi condong atau sebaliknya enggan seperti baiknya rasa manis dan buruknya rasa pahit, atau dengan kata lain dimaknai sebagai sesuatu yang bersifat sempurna atau sebaliknya bersifat kurang sebagaimana baiknya memiliki ilmu dan buruknya kebodohan, maka hal itu bisa ditentukan dengan akal kita secara sepakat.
Sedangkan apabila baik dan buruk itu dimaknai sebagai sesuatu yang berpotensi melahirkan sanjungan atau sebaliknya hinaan di masa sekarang (dunia) dan berpotensi melahirkan pahala atau sebaliknya siksa di kemudian hari (neraka) sebagaimana baiknya ketaatan dan buruknya maksiat, maka hal itu hanya bisa ditentukan oleh syari’at yang dibawa oleh Rasul, dalam arti hanya syari’at yang dibawakan oleh Rasul yang bisa menghukumi baik dan buruk tersebut, atau dengan kata lain klaim baik atau buruk hanya bisa ditemukan dan dideskripsikan menggunakan syari’at yang dibawa oleh Rasul.”
Hal ini berakibat pada reward dan punismant yang didapat oleh makhluk Allah. Jika perbuatan baik dan buruk tidak diperintah oleh syari’at, maka tidak ada reward dan punismant yang didapat. Hal ini mengacu pada ayat Al-Qur’an:
إن الحكم الا لله(يوسف :٤٠)
Bahwa tiada hukum selain dari Allah
Muktazilah lebih moderen daripada as’aryah?
Menurut Nasution, teologi Asy’ariah merupakan aliran tradisional karena sedikit memakai akal dan bergantung pada Wahyu. Tolong Asy’ariah juga berpendirian bahwa an-naql muqaddam ‘ala ala- ‘aql (teks suci didahulukan daripada akal).
Berbeda dengan teologi mu’tazilah. Menurut Nasution, aliran merupakan aliran yang memiliki metodologi yang rasional karena banyak memakai kekuatan akal di samping kepercayaan pada Wahyu. Teologi ini berpendirian bahwa al-‘aql muqaddam ‘ala an-naql (akal dimenangkan atas naql) teks.
Menurut Nasution, jika umat Islam ingin mencapai kemajuan, maka teologi Asy’ariah mestilah diganti dengan teologi Muktazilah. Menuru pandangan beliau, salah satu faktor yang membuat orang terbelenggu dalam keterbelakangan adalah kepercayaan yang dogmatis terhadap agama. Di sinilah, menurut beliau, teologi rasional Muktazilah yang senafas dengan semangat pembaruan dan modernasi harus dihidupkan kembali.
Ulama Asy’ariah juga moderen kok
Ulama Asy’ariah sebenarnya banyak yang mengunggulkan akal tanpa mengesampingkan Wahyu Allah. Seperti fakhruddin ar-Razi. Beliau berpendapat bahwa pendirian bahwa naql harus diunggulkan atas akal itu tidak mungkin. Karena akal adalah dasar untuk memahami naql. Jika kita mendustakan akal, maka kita juga mendustakan dasar naql. Samahalnya dengan jika kita mendustakan dasar naql maka kita mendustaka naql.
Ulama Asy’ariah juga melakukan ijtihad untuk membangun peradaban Islam. Karena tidak semua peristiwa yang terjadi sekarang, ada di dalam Nash Al-Qur’an. Hal ini sangat membutuhkan akal yang cerdas. Hukum Islam sebenarnya selalu diperbaharui dengan adanya ijtihad. Sebagaimana sabda nabi di dalam sebuah hadist: sesungguhnya, Allah membangkitkan/menghadirkan/melahirkan untuk umat manusia pada setiap abad seorang yang menghidupkan/memperbarui agamanya.
Oleh: Putri Nadilla, Santri PP. Mansajul Ulum