Narasi

Filsafat Tangga Menuju Dzat Yang Bijaksana

Dalam kaca mata umum, Filsafat sering dikonotasikan sebagai pengetahuan yang abstrak sekaligus njelimet karena didalamnya mengandung berbagai unsur-unsur cara berfikir kritis sekaligus rasionalis yang digunakan untuk merenungkan hal-hal yang semestinya memang seperti itu. Semisal contoh menanyakan kepada diri sendiri ‘’ Siapa aku ? mengapa aku dilahirkan ? dan untuk apa aku hidup di dunia ini ? “ Dan bahkan tak segan-segan ada pula yang berpendapat bahwa filsafat merupakan pengetahuan yang dapat mempersuasi pikiran seseorang menjadi anti terhadap tuhan atau ateis. Dengan alasan karena filsafat sering juga diidentikan sebagai penalaran yang hanya didasarkan kepada rasio saja.

Namun apakah benar Filsafat sedemikian rupa hingga dapat merubah cara berfikir seseorang, bahkan sampai mengusik keimanan sekalipun ? padahal kalau kita coba analisa arti Filsafat, bahwasanya kata filsafat berasal dari bahasa Yunani yang tersusun dari dua kata. Yakni Philo yang bermakna cinta dan Shopia berarti wisdom atau kebijaksanaan atau arti keseluruhanya adalah “cinta kebijaksanaan”. Definisi tersebut tentu sangat berbalik kalau dibandingkan dengan anggapan orang-orang selama ini. Sedangkan menurut Louis O. Kattsof seorang guru besar dari North California University AS, mengatakan bahwa sesungguhnya kegiatan berfilsafat itu merupakan perenungan atau pemikiran kritis, yang tentu orientasinya adalah untuk membongkar hakikat suatu kebenaran.

Sederhananya kalau kita dapat menganalogikan bahwa Filsafat itu merupakan sebagai suatu alat yang digunakan untuk menelusuri hakikat kebenaran melalui penalaran-penalaran yang dilakukan. Oleh karena itu seorang filosof dianggap sebagai orang yang bijaksana karena dirinya selalu haus akan kebenaran. Sehingga Filsafat seakan terus menggiring kita untuk mencintai kebijaksanaan hingga sampai pada taraf menjadi orang yang bijaksana. Atau dalam bahasa Arab disebut   الحاكم ‘’ orang yang bijaksana ‘’ tetapi tentu sejatinya seseorang yang berfilsafat tidak akan puas dengan capaian tersebut. Karena kebijaksanaan manusia hanya bersifat termporer atau sementara, maka dari itu ia akan selalu mencari kebijaksanaan yang absolut tanpa ada batasan apapun, dan itu adalah kebenaran dzat yang maha bijaksana yakni Allah SWT, yang alam bahasa Arab disebut sebagai الحكيم suatu kebijaksanan yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun. Dan itulah esensi makna kebijaksanaan dalam philo shopia atau Cinta kebijaksanaan.

Sedangkan kalau kita mengacu kepada definisi dari Louis O. Kattsof dalam cakupan pengertianya filsafat sebagai kegiatan berfikir dan merenung. Maka secara otomatis filsafat akan menuntut kita untuk memikirkan dan merenungkan segala hal yang ada dihadapan kita  agar kita dapat menguji langsung esensi kebenarannya. Adapun dalam Al-qur’an sebenarnya kegiatan bernalar dan berfikir banyak sekali disingung dengan berbagai macam lafadz seperti  “Afala tatafakkarun” (AlAn’am: 50). “Afala ta’qilun”  (Al-Baqarah: 44, 76. Ali ‘Imron: 65. Al-An’am: 32). Dalam ayat-ayat tersebut menekankan setiap manusia untuk selalu merenungkan tindakan-tindakan  mereka yang tidak sesuai dengan syariat islam agar mereka dapat mendapatkan kebenaran dari apa yang telah ia renungkan.

Sedangkan dalam perspektif ilmu manthiq kegiatan berfikir menjadi identitas tersendiri bagi manusia sebagai perbedaan antara manusia dengan yang lain. Karena manusia adalah  الحيوان الناطك ‘’ Hewan yang dapat berfikir ‘’ kata berfikir menjadi sifat yang mengecualikan manusia dengan hewan-hewan lain. Oleh karena itu  para filosof seperti Socrates,Aristoteles hingga Ibnu Rusyd menjadikan bernalar adalah hal yang sangat urgenT bagi mereka, bahkan mereka tak segan-segan  untuk menolak kebenaran yang datang dari orang lain sebelum ia sendiri yang menguji langsung kebenaranya melalui penalaran-penalaran yang ia lakukan.  Dan pendapat itu sangat sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Descartes seorang filosof masyhur dari perancis yang mengatakan Cogito ergo sum yang artinya ketika ‘’ saya berfikir maka aku ada.’’

Jadi dalam berbagai sudut pandang. Filsafat dapat dijadikan sebagai alat yang berorientasi untuk mencari esensi suatu kebenaran, bahkan kepada taraf kebenaran tuhan sekalipun dengan melalui berfikir secara kritis seperti yang telah dijelaskan diatas. Sedangkan dalam Islam kegiatan berfikir kitis sama sekali tidak ada larangan sekalipun. Tetapi yang perlu dicatat adalah kita tidak boleh hanya mengagungkan akal dan rasio kita saja, karena  sehebat apapun rasionalitas manusia, tentu tetap ada batasan-batasan tertentu yang tidak dapat dijangkau. karena seperti yang kita tahu bahwa manusia adalah makhluk yang lemah sekaligus terbatas.

Sumber gambar: eLearning – ISI JOGJA

Oleh: Ainun Niam, Santri PP. Mansajul Ulum,Pati.

Ainun Niam

Recent Posts

Teknologi Digital: Penyelamat atau Penjerat?

Teknologi digital sudah merambah pada setiap aspek kehidupan kita. Mulai dari cara kita berkomunikasi, bekerja,…

38 menit ago

Generasi Toleran: Revolusi Hati untuk masa depan yang Damai

Toleransi, sebuah kata yang sering kita dengar namun tak selalu kita pahami sepenuhnya. Di era…

2 hari ago

Menjaga Kecantikan dari Dalam: Akhlak sebagai Kunci Utama

Kecantikan sering kali diasosiasikan dengan penampilan fisik, seperti kulit bersih, tubuh ideal, atau wajah menarik.…

2 hari ago

Filosofi dan Singkatan Dari Huruf Santri

Menjelang Hari Santri Nasional (HSN) tahun 2024 ini, kontribusi santri sudah merebak di berbagai hal.…

2 hari ago

Mahasiswa KKN 78 Iain Kudus Berpartisipasi dalam Kegiatan Peringatan Maulid Nabi di Masjid/Mushola Desa Wandankemiri pada saat Bulan Mulud

Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW menjadi momen yang penuh berkah dan semangat kebersamaan di tengah…

3 hari ago

Mahasiswa KKN-MB 078 IAIN Kudus Gelar Kegiatan Jumat Berkah (Berbagi di Hari Jumat)

Mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) dari program KKN-Moderasi Beragama (KKN-MB) 078 IAIN Kudus yang bertempat…

3 hari ago