Dalam masyarakat tentu tidak mungkin kita meninggalkan interaksi kepada sesama, karena pada umumnya manusia adalah makhluk sosial. Tapi apakah interaksi itu dijalin dengan kesalingan dan kesetaraan? Terlebih bagi kalangan perempuan yang notabenenya menjadi kaum yang terpinggirkan oleh kaum lelaki.
Pada zaman Jahiliyyah, waktu itu bayi-bayi perempuan dikubur hidup-hidup. Bayi perempuan tidak diakui keberadaanya, dan perempuan dijadikan jamuan tamu bahkan diwariskan layaknya harta benda. Perempuan menjadi sasaran empuk dari semua bentuk kekerasan, ketimpangan, dan ketidaksetaraan. Seakan jika perempuan lahir adalah sebuah aib dan kesialan.
Ini adalah perlakuan yang sangat nista dan juga biadab. Memperlakukan seorang perempuan secara tidak manusiawi. Padahal jika melihat peradaban dunia dan populasi manusia, mereka tidak akan pernah ada tanpa adanya perempuan.
Apakah wanita tersebut tidak cukup untuk dihormati atas dasar bahwa perempuan juga manusia, dan bahwa ibu-ibu mereka juga wanita? Ketika Nabi Muhammad SAW diutus, beliau membawakan ajaran yang damai, ajaran yang penuh kasih sayang, kelembutan, ajaran yang memuliakan, dan memanusiakan manusia, terutama pada seorang perempuan.
Nabi sendiri menyebutkan dalam salah satu haditsnya, manakala salah seorang sahabat bertanya kepada beliau “Mana yang harus ku mulyakan terlebih dahulu ya nabi? Ayah atau ibuku? Nabi menjawab “Ibu, ibu, ibu, baru ayahmu.” Ini menegaskan bahwa Nabi Muhammad hendak mengajarkan kepada kita bahwa perempuan itu adalah makhluk yang mulia hingga beliau menyebutkan kata ibu tersendiri sebanyak tiga kali baru ayah.
Perempuan dengan segala kodrat yang ia punya seperti: haid, hamil, melahirkan, nifas, menyusui merupakan sebuah anugrah, dan menjalani serta menerimanya termasuk iman atas ketentuan Yang Kuasa. Perempuan dengan segala yang ada pada dirinya itu bukan suatu aib dan kenistaan, karena bukankah manusia sendiri tidak bisa memilih diciptakan seperti apa, menjadi apa, dan dalam keadaan seperti apa? Justru itu adalah sebuah karunia dari Sang Pencipta.
Allah SWT merespon ketimpangan ini pada surah Al-Hujurat ayat:13. “Hai manusia! Sungguh, kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah SWT ialah orang yang paling bertaqwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” Allah menegaskan bahwa baik laki-laki maupun perempuan adalah sama-sama hambanya. Hamba yang sama-sama dibebankan untuk menjadi pemimpin di bumi, hamba yang sama dibebankan untuk beriman dan taat kepada ajaran syariat, tanpa membedakan apakah dari kalangan perempuan ataupun laki-laki.
Allah SWT tidak memandang makhluk-Nya dari jenis kelamin ataupun status sosialnya, bahwa menurut-Nya ketaqwaan menjadi tolak ukur seseorang menjadi mulya dan tidak di sisi-Nya. Perempuan yang bertaqwa dan beriman jelas lebih Allah SWT sukai daripada laki-laki yang enggan menjalankan syariat yang diperintahkan agama. Perempuan yang senantiasa mengingatkan Allah SWT di setiap saat walaupun dalam keadaan haid, lebih Allah SWT cintai daripada laki-laki yang dalam keadaan suci dari hadas namun ingkar dan lalai dalam mengingat-Nya.
Hingga saat ini pun masih banyak fenomena ketimpangan yang perempuan alami. Perempuan masih menjadi korban kekerasan baik mental, psikis, maupun seksual. Yang lebih mirisnya hal itu dilakukan oleh orang yang dijadikan naungan dan sumber pengayoman bagi si korban.
Rudapaksa, kdrt baik yang sudah sah maupun belum, hingga kasus perkawinan anak di bawah umur. Hal ini menunjukkan tentang bagaimana perempuan belum dianggap dan diperlakukan sebagai manusia. Dari situlah akhirnya muncul Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (KOMNAS Perempuan) yang didirikan pada 1998 sebagai sebuah lembaga nasional independen untuk melindungi hak-hak perempuan, termasuk mencegah dan mengurangi kekerasan terhadap perempuan.
Oleh: Muhammad Sholihul Huda, Santri Pondok Pesantren Mansajul Ulum.
Sumber gambar: Viva.co