santrimillenial.id – Islam masuk ke tanah Jawa dalam keadaan penduduknya telah memiliki tradisi dan budaya berupa kepercayaan adanya kekuatan pada benda-benda tertentu (dinamisme), adanya kekuatan pada arwah orang yang meninggal (animisme) dan kepercayaan adanya kekuatan pada binatang-binatang (totemisme). Tradisi ini telah diwariskan secara turun temurun, diyakini, dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Ketika Islam datang, keyakinan dan kepercayaan tersebut melebur dalam budaya Islam. Sehingga munculah apa yang disebut dengan sinkretisme Islam, yaitu akulturasi budaya Islam dengan tradisi lokal.
Akulturasi Budaya Islam dan Jawa
Di antara bentuk akulturasi budaya lokal (Jawa) dengan Islam adalah tradisi yang dianut oleh komunitas Islam Aboge. Komunitas ini melaksanakan tradisi-tradisi Jawa dengan dibumbui tradisi Islam, maka munculah Islam dengan cita rasa lokal (Islam lokal). Kekhasan dari komunitas ini adalah masih menggunakan model penanggalan Islam Jawa, yakni Penanggalan Aboge untuk menetapkan awal Ramadhan, Hari Raya Idhul Fitri dan Idhul Adha. Kata Aboge adalah singkatan dari Alip Rebo Wage yang mempunyai arti tanggal 1 Muharram tahun Alif akan jatuh pada hari Rebo (Rabu) pasaran Wage.
Aboge adalah dasar perhitungan almanak (kalender) dalam satu windu atau delapan tahun, maka yang dimaksud Aboge adalah dasar suatu perhitungan. Penggunaan penanggalan dengan sistem Aboge mengakibatkan pelaksanaan ibadah puasa, perayaan Idhul Fitri, dan Idhul Adha yang dilaksanakan oleh komunitas Aboge selalu mengalami perbedaan dengan keputusan yang telah ditetapkan oleh pemerintah melalui sidang Itsbat.
Perbedaan Sistem Penanggalan
Perbedaan antara pemeluk Islam lain dengan Aboge sendiri tak lain karena memiliki kalender jawa atau penanggalan yang berbeda dengan kalender Hijriyah. Di dalam Kalender Aboge sering digunakan dalam menetapkan hari-hari penting seperti hari raya Idul Fitri, maupun hari besar Islam Aboge lainnya
Disebutkan bahwa dalam kurun waktu satu windu, terdiri dari tahun Alif, Ha, Jim, Awal, Za, Dal, Ba, Wau dan Jim akhir. Dalam satu tahun, terdiri dari 12 bulan. Satu bulan terdiri dari 29-30 hari, dengan hari pasaran berdasarkan penghitungan Jawa yakni Pon, Wage, Kliwon, Legi dan Pahing. Sedangkan untuk hari pasaran pertama dalam tahun Alif jatuh pada hari Rabu Wage.
Seperti penganut Islam pada umumnya, penganut kepercayaan Aboge juga menjalankan syariat Islam seperti salat atau yang biasa mereka sebut dengan ‘Panembahan’ dan puasa pada Ramadan. Namun pelaksanaan ritual Islam-nya bersumber dari tradisi lokal atau kejawen.
Meskipun aliran Islam Aboge ini berbeda dengan ajaran dan keyakinannya dengan umat Islam pada umumnya, serta berimplikasi pada penentuan Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha, namun hubungan antara penganut Islam NU dan Aboge tampak berjalan harmonis tanpa adanya sekat yang memisahkan.
Cara Berdoa Penganut “Aboge”
Menarik disimak. Layaknya paham Kejawen, cara berdoa masyarakat penganut aboge, selalu menyelipkan ungkapan: “kakang kawah adi ari-ari, kiblat papat limo pancer.” Sedulur papat adalah empat unsur yang lahir ke dunia ini bersamaan dengan kelahiran bayi. Kawah atau ketuban, ari-ari atau plasenta, puser atau tali pusar, dan getih atau darah. Sedangkan aspek kelima ialah pancer atau pusat, yang berarti kita sendiri sebagai pusat kehidupan ketika dilahirkan.
Saat berdoa, masyarakat penganut aboge selalu diawali membaca basmalah. Kemudian dilanjutkan membaca doa berikut:. “kakang kawah adi ari-ari sederek pitu ingkang nunggil sak garwo putro ingkang kahurmatanku. mboten kahurmatan kiblat sekawan gansal pancer sedoyo tansah tumanjuk wonten ing jiwo kasaleliro ing saklami-laminipun.”
Singkat kata, doa itu dimaksudkan memberi hormat bakti kepada unsur-unsur pada diri manusia sendiri. Bumi, air, angin, api, cipta, logika, pikiran untuk tetap jadi satu kesatuan utuh sebagai bekal menjadi diri pribadi selamanya. Setiap bulan, masyarakat Islam Aboge selalu mengadakan ritual slametan. Acara ini diadakan setiap bulan di atas tanggal 10 atau sebelum tanggal 15 menurut sistem kalender Jawa. Slametan bulanan ini bertujuan untuk menghormati para nabi dan para wali. Dalam ritual ini selalu disediakan jenang abang petak (bubur merah putih) sebagai semacam sesaji (sesajen). Sampai saat ini, masih banyak daerah di Jawa Tengah yang menganut aliran aboge tersebut. Di antaranya yaitu daerah kabupaten Temanggung, Wonosobo, Purbalingga, Banyumas, dan sekitarnya.
Oleh: Al Ma’ruf, PP SALAF APIK KALIWUNGU