Kupas Tuntas Polemik Ucapan Selamat Natal di Era Society 5.0

santrimillenial.id – Negara Indonesia mempunyai komposisi masyarakat yang multikultural, sebab terdiri dari berbagai agama dan kepercayaan. Sehingga hal ini mudah untuk memicu polemik-polemik di tengah masyarakat. Di antaranya adalah terkait hukum ucapan selamat natal bagi umat Islam yang diucapkan kepada umat Nasrani (kristiani). Polemik ini hampir terjadi di setiap tahun. Berhubung kasus ini erat kaitannya dengan istinbath al-hukmi, maka tulisan ini ditulis dengan tujuan untuk mengulas hukum ucapan selamat natal dengan menggunakan perspektif fiqih yang akan dikaitkan juga dengan akidah dan akhlak.

Dasar Pemahaman

Agama Islam mempunyai sebuah panduan hidup yang mengatur tata kehidupan pemeluknya, bahkan panduan hidup ini mengatur sejak manusia dalam kandungan sampai masuk pada liang lahat. Sehingga setiap perbuatan yang dilakukan oleh umat Islam pasti terdapat sebuah aturan atau hukum yang mengaturnya, hal ini disebut sebagai “fiqh”. Yaitu ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang terperenci. Fiqh merupakan yurisprudensi Islam. Sementara fiqh, sebagai sebuah hukum, mempunyai sumber-sumber atau mashodir  yang dijadikan rujukan untuk menetapkan sebuah hukum, adapun sumber-sumber hukum dalam agama Islam menurut madzhab Syafi’i adalah Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas.

Akan tetapi untuk menghasilkan sebuah hukum (fiqh), terdapat suatu proses yang harus dilewati untuk mencari sebuah kesimpulan suatu hukum suatu permasalahan, yaitu mengkaji Al-Qur’an dan As-Sunnah secara komprehensif untuk mendapatkan sebuah kesimpulan hukum, hal ini dalam ranah ushul fiqh dikenal dengan istilah istinbatul ahkam atau penggalian hukum dan hanya boleh dilakukan oleh mujtahid. Karena dalam proses istinbatul ahkam mempunyai aturan yang sangat ketat, sehingga tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Hasil dari proses ijtihad dinamakan sebagai ”fiqh”.

Berkaitan dengan hukum ucapan selamat Natal, fenomena ini terjadi di era kontemporer, saat  keinginan sebagian umat Islam yang hendak mengekspresikan sikap toleransinya kepada non-muslim. Lantas bagaimana hukum atas fenomena tersebut?

Untuk menjawab permasalahan ini, kita sebagai oarang awam (tidak mujtahid) tidak diperbolehkan untuk langsung terjun mengambil kesimpulan hukum dari Al-Qur’an ataupun As-Sunnah, akan tetapi yang dapat kita lakukan adalah mengikuti hasil ijtihad yang telah dilakukan oleh para ulama. Dapat disimpulkan bahwa jumhur ulama (mayoritas ulama) dari 4 madzhab (Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali) telah sepakat akan keharaman pengucapan selamat Natal kepada umat Nasrani. Namun, ulama-ulama kontemporer kembali mengulas hukum tersebut dikarenakan kasus ini masuk dalam kategori Ijtihadi. Karena tidak dijelaskan secara shorih di dalam Al-Qur’an ataupun As-Sunnah.

Perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan ulama kontemporer, disebabkan oleh Ijtihad mereka dalam memahami generalitas (keumuman) ayat atau Hadits yang kiranya terkait dengan kasus ini. Seperti perbedaan sikap yang diambil oleh para ulama kontemporer seperti Ali Jum’ah, Yusuf al-Qardhawi, Habib Ali Aljufri, Buya Hamka, dan ulama kontemporer lainnya.

Dasar Hukum yang Membolehkan

Para ulama yang memilih sikap untuk membolehkan ucapan selamat Natal bagi umat Nasrani mendasari hukumnya pada firman Allah di dalam surat Al-Mumtahanah ayat 8: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Q.S. al-Mumtahanah [60]: 8)

Pada ayat tersebut, Allah subhanahu wa ta’ala menegaskan bahwa perbuatan baik (Ihsan) kepada siapa saja itu tidak dilarang, selama mereka tidak memerangi dan mengusirnya dari negerinya. Sedangkan, mengucapkan selamat natal merupakan salah satu bentuk perbuatan baik kepada orang non-muslim, sehingga perbuatan tersebut diperbolehkan.

Selain itu, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dahulu ada seorang anak Yahudi yang senantiasa melayani (membantu) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian ia sakit. Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatanginya untuk menjenguknya, lalu beliau duduk di dekat kepalanya, kemudian berkata: ‘Masuk Islam-lah!’Maka anak Yahudi itu melihat ke arah ayahnya yang ada di dekatnya, maka ayahnya berkata,‘Taatilah Abul Qasim (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). ’Maka anak itu pun masuk Islam. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar seraya bersabda, ‘Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari neraka.’” (HR. Al-Bukhari no. 1356, 5657)

Pada hadits tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi teladan kepada umatnya untuk berbuat baik kepada non-Muslim. Sehingga mengucapkan selamat Natal yang merupakan salah satu bentuk perbuatan baik kepada non-muslim pun diperbolehkan, walaupun bukan dalam keadaan darurat. Ucapan tersebut diperbolehkan selama tidak mengganggu akidahnya terhadap Allah dan Rasul-Nya serta tidak mendukung keyakinan umat Nasrani tentang kebenaran peristiwa natal. Ulama kontemporer yang mendukung pendapat ini di antaranya Yusuf al-Qardhawi, Musthafa Zarqa, Abdullah bin Bayyah, Ali Jum’ah, Habib Ali Aljufri, Quraish Shihab, Abdurrahman Wahid, Said Aqil Sirodj, dan lain sebagainya.

Dasar Hukum yang Mengharamkan

Para ulama yang memilih sikap untuk mengharamkan ucapan selamat natal bagi umat Nasrani mendasari hukumnya pada firman Allah subhanahu wa ta’ala di dalam surat Al-Furqan ayat 72, “Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (Q.S. al-Furqan [25]: 72)

Pada ayat tersebut, Allah subhanahu wa ta’ala menjanjikan bagi orang yang tidak memberikan kesaksian palsu dengan martabat yang tinggi di surga. Sedangkan, apabila seorang muslim mengucapkan selamat natal berarti dia telah memberikan kesaksian palsu dan membenarkan keyakinan umat Nasrani tentang hari Natal (kelahiran Yesus Kristus, salah satu Tuhannya umat Nasrani). Konsekuensinya adalah ia tidak akan mendapatkan martabat yang tinggi di surga. Dengan demikian, mengucapkan selamat natal kepada umat kristiani tidak diperkenankan.

Selain itu, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk bagian kaum tersebut.” (HR. Abu Daud, no. 4031).

Pada hadits tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewanti-wanti umat Islam terhadap perbuatan tasyabbuh terhadap non-muslim. Dalam kaidah Bahasa Arab (tepatnya adalah ilmu Shorof), kata tasyabbuh berasal dari wazan Tafa’ul, yang bermakna muthawa’ah (menurut), takalluf (memaksa), dan juga tadarruj (bertahap atau parsial) dalam melakukan suatu perbuatan. Sehingga, dari wazan ini kata tasyabbuh memiliki faidah perbuatan yang dilakukan sedikit demi sedikit, yang awalnya barangkali ia merasa terpaksa/ikut-ikutan dengan perbuatan tersebutsampai kemudian ia menurut dan terbiasa mengerjakannya.

Dengan kata lain, siapa saja menyerupai suatu kaum maka ia lama kelamaan akan tunduk kepada mereka. Oleh sebab itu, hendaknya seorang muslim tidak bermudah-mudahan dalam melakukan perbuatan yang menyerupai orang non-muslim, sebab ia merupakan pintu menuju ketundukan kepada mereka. Sehingga, sikap tegas dengan kaidah saddud dzari’ah (menutup pintu keburukan) merupakan suatu kaidah yang tepat dalam kasus ini agar akidah kita tidak tergoyahkan akibat ikut-ikutan mengucapkan selamat Natal sebagaimana yang dilakukan oleh umat Nasrani.

Dengan demikian, umat Islam yang mengucapkan selamat Natal kepada umat Nasrani berarti telah melakukan tasyabbuh sekaligus memberikan kesaksian palsu dan membenarkan keyakinan umat kristiani tentang kebenaran peristiwa natal. Sehingga, kasus ini masuk juga ke dalam ranah akidah yang mengkompromikan antara tauhid dengan syirik. Atas dasar inilah hukum ucapan tersebutdiharamkan secara tegas.

Ulama kontemporer yang mendukung pendapat ini diantaranya Buya Hamka (Abdul Malik Karim Amrullah), Buya Yahya (Habib Yahya Zainul Ma’arif), Ibrahim bin Ja’far, Ja’far At-Thalhawi, Khalid Basalamah, Abdul Somad, Adi Hidayat, dan lain sebagainya.

Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa para ulama kontemporer berbeda pendapat tentang hukum ucapan selamat Natal. Maka, perbedaan semacam ini hendaknya tidak boleh menjadikan internal umat Islam di Indonesia semakin terpecah hanya diakibatkan oleh perbedaan pemilihan sikap dalam kasus ini. Karena pada dasarnya perbedaan merupakan sebuah keniscayaan yang tidak dapat dihindarkan, karena setiap manusia dibekali akal pikiran yang berbeda-beda. Walaupun demikian, terdapat sebuah hadits nabi yang menegaskan bahwa “ikhtilafu ummati rahmah,” yang artinya perbedaan umatku merupakan sebuah rahmat. Jadi, sudah semestinya rahmat itu dimaknai dengan saling melengkapi, membangun dan memperbaiki, bukan menjadi perpecahan.

Di era society 5.0, sebagai remaja yang berkembang dengan sebutan generasi milenial, apabila kita memilih sikap untuk membolehkannya, pastikan bahwa pembolehan tersebut demi menjaga kedamaian dan kerukunan antar umat beragama, dengan tetap menjaga akidah kita sebagai seorang Muslim. Jangan sampai karena ada saudara kita yang mengambil sikap mengharamkannya, kita serta merta langsung menjustifikasi ia sebagai orang yang intoleransi.

Namun, apabila kita memilih sikap untuk mengharamkannya, pastikan bahwa pengharaman tersebut merupakan bentuk ghirah kita dalam menjaga prinsip akidah umat Islam yang tegas namun tetap menjaga nilai-nilai toleransi antar umat beragama dengan bentuk yang berbeda. Jangan sampai karena ada saudara kita yang mengambil sikap membolehkannya, kita bermudah-mudahan dalam menjustifikasi ia sebagai orang kafir.

Sikap apapun yang dipilih, mari senantiasa kita menjaga persatuan umat Islam diantara perbedaan yang ada. Pada akhirnya nanti kita akan mempertanggungjawabkan dihadapan Allah subhanahu wa ta’ala pada yaumul hisab (hari kiamat).

لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ ࣖ

Artinya: “Untukmu agamamu dan untukku agamaku.”

Anda mungkin juga suka.