santrimillenial.id – Pendidikan politik tetap diberikan meski telah lulus dari pondok pesantren. Melalui pendidikan politik pasca pesantren diharapkan dapat melahirkan kaderisasi politikus yang menjungang tinggi karakter Islami, cakap, matang, memfile attitude yang baik dalam berpolitik, serta memegang teguh nilai-nilai keislaman Lebih dari itu, lembaga nantinya dapat mempersiapkan regmerasi politisi Muslim kontemporer yang berkarakter islami, jika dalam sejarah pertumbuhan nationalisme Indonesia dikenal generasi 1908, 1928, 1945, 1966, 1998, dan 2000-an, maka melalui pesantren politik (pendidikan politik panca pesantren) ini akan membuat generasi baru.
Politik, Pesantren dan Santri
Para santri yang telah lulus diberikan pembekalan pendidikan politik tersebut agar dapat menguatkan kembali dan mengkontekstualisasikan nilai- nilai keislaman yang telah didalami sebelumnya selama di pesantren. Keterlibatan mereka dalam perpolitikan ialah langkah untuk melahirkan. Pembaharu dan pelopor kebangsaan yang bersifat religius, sebagaimana nilai- nilal keislaman yang telah diinternalisasi ke dalam kepribadiannya mengandung kulminasi dan sinergi dari moralitas teologis, humanis, dan ekologis dari sesi teoretik dan sebagai terapan dari ajaran amar ma’uf nahi munkar sebagai landasan praksis bagi transformasi sosial.
Urgensi Politik bagi Santri
Peran santri untuk menghidupkan politik yang bernafaskan keislaman begitu penting untuk membawa politik kembali kepada nilai-nilai kebajikan yang ada dalam ajaran Islam. Sebab berbagai krisis sosial dan ekologis yang khususnya semakin tidak terkendali di era kapitalisme ini turut disebabkan oleh pemberontakan manusia modern atas transendensi Tuhan beserta nilai-nilai ajarannya yang terkandung di dalam agama.
Bukan tidak mungkin jika retasan alumni pesantren politik tersebut dapat diterima, kredibel dan berkualitas tentunya dapat mengubah peta perpolitikan nasional di masa depan yang carut marut ini. Kondisi ini, baiknya dinamika kehidupan Islam pada dekade 90an pasca lahirnya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim) Indonesia yang menandai kristalisasi pergeseran suatu pola kepemimpinan ulama ke arah pola intelektualisme dalam proses regenerasi Muslim. Bedanya, jika ICMI terkonstruk elitis, maka alumni pesantren politik terkondisikan menjadi pribadi yang agamis, intelek, sekaligus populis. Poin terpenting harus diperhatikan adalah kehadiran pesantren politik di Indonesia menjadi momentum adanya reformulasi kepemimpinan Islam secara alami, dan genuine (hakiki).
Perjuangan Melalui Politik
Praktis, politik, dan persoalan kenegaraan menjadi persoalan bersama yang harus dituntaskan. Area politik menjadi area yang populis, tidak tabu, apalagi elitis. Muaranya, masyarakat awam yang ditandai kaum santri mendapatkan pendidikan politik yang nyata. Lebih dari itu, dikarenakan stok calon politisi yang berasal dari alumni pesantren melimpah, maka partai politik lebih leluasa dapat merekrut kader, pengurus kepartaian, dan calon legislatif bermutu. Paling tidak, melalui pesantren politik akan mempersiapkan dan mematangkan modal agama, modal intelektual, modal kultural, dan modal sosial santri. Sementara modal kapital untuk menjadi politisi yang sesungguhnya berada pada individu, dan partai politik masing-masing. Ijtihad leadership Islam inilah meminjam bahasa M. Nashir disebut sebagai sebuah perjuangan Islam melalui jalur politik.
Politik sebagai Instrumen Dakwah
Dengan demikian, pendidikan politik di pondok pesantren sejatinya. Merupakan ijtihad ilmiah untuk memantik, sekaligus pengungkit (leverage) terwujudnya calon pemimpin ideal versi Islam di Indonesia. Hanya saja, orientasi, dan tujuan perpolitikan ala santri bukan hanya sekadar menjadikan kekuasaan sebagai tumpuan akhir, melainkan sebagai bagian dari instrument dakwah dalam menjaga nilai-nilai kemanusiaan yang kini terkikis zaman.