santrimillenial.id – Dalam kehidupan sehari-hari tentu kita tidak akan terlepas dari yang namanya bercermin. Hal ini kita lakukan mungkin karena faktor merasa belum percaya diri dalam mengenakan pakaian, merasa tidak cocok dengan penampilan, atau bahkan curiga ada suatu hal yang janggal dalam diri kita. Namun, apakah bercermin dalam hal keindahan fisik saja itu sudah cukup bagi kita?
Di dalam keselarasan tatanan masyarakat interaksi menjadi hal yang tidak mungkin terelakkan. Sampai akhirnya hal ini memungkinkan terjadinya pergesekan antar individu atau suatu komunitas yang menjadi hal sangat penting untuk diperhatikan. Ujaran kebencian, saling adu serang di laman komentar bahkan ada yang terang-terangan membuat konten yang menyindir sana-sini. Hal itu merupakan salah satu contoh kecil dalam kegagalan bercermin karena tidak tau apa yang dilakukan itu benar atau salah.
Alhasil, mencarari-cari kesalahan dan membicarakan keburukan orang lain menjadi sarana wahana yang menggiurkan pada suatu kalangan. Hal ini juga menunjukkan akan minusnya akhlak dan adab di zaman millenial ini. Seakan-akan orang yang berbuat seperti demikian adalah orang yang terbebas dari segala keburukan dan kejelekan. Dari sinilah kepekaan seseorang untuk senantiasa mengajak diri sendiri terlebih orang lain untuk bercermin menjadi sangat penting dan menantang. Karena pada dasarnya apapun jenis kejelekan yang ada pada diri manusia itu bersumber dari hawa nafsu yang dihembuskan oleh Syaiton. Dalam Al-Qur’an surah al-Hujurat ayat 12 Allah SWT berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka! Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.”
Dalam ayat tersebut Allah SWT mengingatkan akan bahayanya mecari-cari kesalahan orang lain, terlebih lagi membicarakannya. Allah SWT sangat memuliakan manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya, sampaiĀ orang yang membicarakan kesalahan saudaranya itu sama saja ia memakan bangkai saudaranya yang sudah mati. Hal ini menunjukkan bahwa pekerjaan yang bisa dikatakan sepele seperti ghibah (membicarakan orang lain) ternyata mempunyai efek yang begitu sangat berbahaya.
Berawal dari gagalnya dalam bercermin akan tindakan kita sendiri akhirnya dengan gampangnya kita mengklaim bahwa apa yang dilakukan oleh orang lain itu salah. Kemudian mengaplikasikannya dengan bentuk ketidaksukaan kita terhadap orang tertentu dengan membicarakan keburukannya, sehingga pada akhirnya berbuntut membuat kelompok yang ingin menjatuhkan orang lain.
Alhasil, tentu banyak ujaran kebencian yang merebak di laman komentar atau postingan yang sering kita temui di media sosial. Kasus seperti ini sudah sangat gampang kita temui terlebih di era digital seperti sekarang ini. Karena pada dasarnya hati seorang manusia memang cenderung berbolak-balik, dari like menjadi dislike, begitu pun sebaliknya. Sehingga berujung penebaran kebencian pada suatu oknum.
Kasus di atas merupakan bentuk tidak terealisasikannya sebuah akhlak, serta kegagalan bercermin dalam pengontrolan diri. Oleh karena itu, kita perlu bercermin untuk melihat apa yang kita lakukan apakah sudah benar atau belum dengan apa yang telah diajarkan oleh syariat. Karena akan sangat berbahaya bagi kita ketika kita sibuk mencari kesalahan orang lain tanpa mempedulikan kesalahan yang ada pada diri kita sendiri.
Oleh: Muhammad Sholihul Huda, PP Mansajul Ulum, Pati.