Informasi saat ini banyak tertuang dalam media sosial, salah satunya jelang Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024. Pasalnya melansir dari data.goodstats.id, pengguna media di Indonesia mencapai 167 juta orang. 153 juta penggunanya berusia di atas usia 18 tahun. Namun, masyarakat juga perlu mewaspadai terjadinya segregasi media sosial. Karena media sosial terbuka tanpa ada batas dalam mengutarakan pendapat.
Semua orang bisa mengkritik bebas di laman media sosial yang mengunggah foto atau video calon pemimpin negara dan calon legislatif lainnya. Dapat kita lihat, berbagai serangan komentar para pendukung Pasangan Calon (Paslon) di beberapa akun media. Tujuannya, saling mencela, menyerang satu sama lain. Jika terus berlangsung saling serang, akan mudah mengalami segregasi.
Dinamika sosial yang berubah secara virtual terkadang tidak serta merta merubah seluruh keadaan nyata sesuai kejadian langsung di media. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan ketika berselisih di media tanpa melihat wujud nyata seseorang, memperburuk suasana saat bertatap muka secara langsung.
Sehingga, sangat berbahaya bagi keharmonisan keluarga, teman, saudara atau tetangga yang memiliki penilaian berbeda, khususnya jelang pemilu ketika mempunyai pilihan masing-masing.
Media Sosial Sebagai Alat Kampanye
Media sosial sebagai alat kampanye tidak hanya terjadi pada pemilu tahun ini. Pemilu tahun 2019, media sosial juga menjadi wadah yang cukup efektif untuk memberikan citra terhadap masyarakat yang sulit dijangkau. Kita bisa melihat bagaimana para calon pemimpin dan calon legislatif (caleg) mengcover media secara penuh tanpa ada batasan.
Menurut Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Walisongo Semarang, yang melansir dari ideapers.com, Misbah Zulfa Elizabeth mengatakan, bagaimana proses media terkontrol oleh paslon pemimpin negara maupun caleg. Atau bagaimana mereka mampu menyebarkan impresi yang baik kepada masyarakat, bahkan bagaimana cara mereka mengcounter pasangan lawan menjadi bentuk marketing politik saat ini.
Mereka berkampanye blusukan, kemudian tim nya mengemas dalam bentuk foto maupun video dan menggunggah di akun media sosial, baik di X, Facebook, Instagram, Tik-Tok maupun media lain agar bisa terjamah oleh banyak orang.
Dari beberapa paslon pemimpin negara juga berupaya berkampanye melalui live video Tik-Tok untuk menarik perhatian remaja yang mayoritas pengguna media sosial. Entah motif aslinya bagaimana, namun jelas ingin kekinian sesuai zaman dengan mengikuti trend.
Media Penggiring Opini
Mengingat, setiap media mempunyai framing masing-masing yang tidak bisa konsumen baca secara telanjang, menjadi tantangan tersendiri. Artinya, jika terdapat media yang mengagungkan citra satu paslon, masyarakat perlu membandingkan dengan media lain.
Begitu pula ketika ada media mencela salah satu paslon. Bisa saja hal tersebut hanya menggiring opini pembaca untuk terlarut dalam berita yang disebarkan.
Masyarakat perlu memilah informasi di media sosial khususnya jelang pemilu pada 14 Februari 2024 yang saat ini masih pada masa kampanye. Mengolah data dengan tidak hanya terpacu pada satu media.
Media sosial sebenarnya punya peran penting bagi masyarakat untuk melihat bagaimana mereka berkampanye, bagaimana mereka bertindak di dunia maya, melihat dari berbagai perspektif para calon selama menjalankan proses pemilu.
Salah satunya media yang memperlihatkan debat calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres), misalnya. Terlepas dari penglihatan kita terhadap mekanisme debat, apakah punya unsur setting atau tidak. Namun memberikan gambaran untuk memilih dari segi gagasan dan etika yang capres-cawapres berikan.
Waspada Segregasi Media Sosial
Disisi lain, kita bisa melihat dari kaca mata realita bahwa media sosial yang sebagai alat kampanye mampu menimbulkan segregasi. Hanya karena perbedaan pilihan paslon pemimpin negara maupun caleg lainnya, satu sama lain menyerang dengan memberikan komentar yang tidak pantas atau menghina. Saling bertengkar hanya karena beberapa alasan mengapa memilih paslon tertentu. Hal ini biasa kita temui di kolom komentar Tik-Tok, X, Instagram hingga Facebook.
Perbedaan pilihan paslon pemimpin negara maupun caleg mestinya menjadi salah satu momentum untuk menjaga toleransi terhadap pilihan orang lain. Memberikan keluasan memilih dengan pendapat dan pandangan masing-masing terhadap paslon.
Tidak mencela, menghina pemilih dan yang dipilih untuk mencegah terjadinya segregasi di media sosial yang akan berdampak pada dunia nyata. Sebab segregasi tidak hanya merugikan diri sendiri namun juga mempertaruhkan persatuan masyarakat Indonesia.
Sumber Gambar: suara.com