Momentum bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menganut asas demokrasi, kini akan melakukan Pemilu yang dimana akan menimbulkan kontestasi politik secara terbuka. Pemilu dapat dikatakan sebagai kegiatan yang sakral dalam demokrasi karena pada saat Pemilu, suara rakyat ditempatkan sebagai penentu penguasa pemerintahan agar dapat mewakili dan me representasikan dirinya dalam mengambil keputusan berdasarkan apa yang diamanatkan oleh rakyat.
Kontestasi Pemilu ini akan menimbulkan segregesi politik yang tentunya berbau memecah belah persatuan dan anehnya telah menjadi fenomena sejak lama. Segregasi politik adalah praktik pemisahan kelompok orang berdasarkan partai politik atau dukungan terhadap calon pejabat dalam pemerintahan. Segregasi politik ini dapat ditunjukan melalui berbagai polarisasi dan fragmentasi antar organisasi politik. Hal ini dapat diamati melalui perbedaan pandangan soal bentuk dan landasan politik yang dilakukan oleh politisi.
Kontestasi antara tiga calon Capres dan Cawapres dalam Pemilu 2024 di Indonesia juga mengakibatkan polarisasi antar kelompok pendukungnya kembali menguat. Ketegangan kelompok antar pendukungnya tampak sebelum penetapan resmi Capres dan Cawapres yang kini kembali menjedi cara mengekspresikan segregasi antar kelompok, misal dengan penyebutan pendukung PKB yang menjadi dua, yakni PKB pendukung Cak Imin dan pendukung Yeni Wahid.
Segregasi dalam kontestasi politik tidak boleh menggerus persatuan dan kesatuan bangsa. Maka dari itu diperlukan moderasi yang menjadi sikap titik tengah, yakni tidak dalam keadaan menjadi kubu ekstrem dan tidak berlebih-lebihan dalam segala sesuatu. Segala yang berlebih-lebihan sering memicu terjadinya sesuatu yang kurang baik, termasuk dalam memuji atau dalam mengkritik melalui media sosial atau secara langsung.
Kontestasi politik juga merupakan era pertarungan narasi-narasi hoaks yang dikemas dengan sentiment dan kepercayaan. Narasi-narasi yang mengandung unsur SARA yang dapat menjadi pemicu emosional dan opini publik. Unsur keagamaan adalah unsur yang sangat berpengaruh besar dalam menggiring opini publik dan mendapat simpati suara rakyat yang bertujuan untuk memenangkan kekuasaan politiknya.
Banyak politisi yang mengaitkan keagamaan sebagai media untuk kepentingan politik. Hal ini ditunjukkan dengan kampanye atau sebagainya yang saling berebut meminta untuk mendapatkan restu dari pemuka agama, mulai dari kyai, pendeta, dan lain-lainnya. Praktik ini tentu memiliki peluang besar untuk menggiring umat beragama untuk mendapat suara yang banyak. Slogan-slogan dikerahkan dengan menyelipkan sentiment keagamaan. Penggunaan tokoh pemuka agama mulai dipergunakan dalam media sosial maupun media cetak dengan bernuansa islami. Sentiment keagamaan hadir dengan menggunakan bahasa yang bercorak keagamaan. Penggunaan kata Kyai, Gus, dan lainnya cukup menarik suara dalam kontestasi politik.
Catatan : Isu keagamaan dijadikan sebagai tombak peperangan untuk memenangkan persaingan politik tentunya tidak membuat kita kaget dalam musim Pemilu. Sikap moderasi adalah sikap yang tepat untuk berhati-hati dalam meyeleksi dan kritis terhadap retorika politik yang dikemas untuk mendapatkan suara rakyat yang ditambah kita hidup di zaman yang rawan dengan kebohongan. Penyajian narasi-narasi yang beredar tentunya berbau SARA yang berbau provokatif, khususnya dalam lingkup keagamaan. Kita juga sudah mengerti bahwa narasi-narasi yang berbau memecah belah tidak akan berakhir. Semoga hasil Pemilu nanti mendapatkan pemimpin beserta bawahannya yang selalu memerhatikan kesejahteraan rakyatnya, bukan kesejahteraan golongannya.