free page hit counter

Iman dan Islam,Dua Mata Rantai yang Tak Terpisahkan

Tertanamnya keimanan dalam hati akan melahirkan tata nilai ketuhanan (rabbaniyyah), yaitu tata nilai yang dijiwai oleh kesadaran bahwa hidup ini berasal dari Allah Swt dan hanya menuju kepada-Nya.senada dengan ungkapan “inna lillahi wa inna ilaihi roji’un”. (Sesungguhnya kami milik Allah dan hanya kepada-Nya lah kami kembali). Tata nilai ketuhanan itu akan bisa digapai melalui tumbuhnya keyakinan dalam hati tentang Kemaha tunggalan Allah Swt. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Dia lah penguasa segala yang ada, dan Dia pula pengatur semua ciptaan-Nya. Dengan demikian, prinsip peng-esa-an Tuhan (tawhid) adalah inti dan dasar ajaran Islam.

Disamping itu, agama Islam juga mengajarkan kepada umat manusia untuk selalu berserah diri dengan sepenuh hati, tulus dan pasrah kepada Allah Swt. Sikap berserah din ini merupakan buah yang dihasilkan dan pengakuan atas kemahatunggalan dan kemahakuasaan-Nya. Jadi, jika pengakuan atas Keesaan Allah Swt adalah inti ajaran Islam, maka sikap pasrah adalah pengejawantahan dan pengakuan tersebut, sikap pasrah yang diwujudkan dengan pengamalan ajaran Islam yang dibawa oleh Nahi Saw. dalam kehidupan sehan-han. Inilah prinsip keimanan yang sejati

Iman sendiri merupakan landasan pokok bagi terbentuknya keislaman. Antara iman dan Islam bagaikan satu bangunan yang saling memperkuat satu sama lain. Iman tidak ada artinya tanpa amal shalih, dan amal shalih akan sia-sia jika tidak dilandasi keimanan. Oleh karena itu. dapat dikatakan setiap muslim pasti mukmin dan setiap mukmin pasti muslim. Logikanya, orang yang percaya tentang kenabian Muhammad Saw. tentu tunduk dari patuh pada pesan-pesan syari’atnya. Begitu pula orang yang patuh terhadapnya pasti didasari keyakinan dan kepercayaan atas kebenaran ajaran yang dibawanya. Dapat dikatakan, bahwa iman adalah perbuatan batin (akidah), sementara Islam adalah perbuatan lahir

Perbedaan pandangan ulama dalam memaknai Islam


Secara teologis ulama berbeda pandangan dalam memaknai lslam. Penulis Syarh Aqidah al-Thahawiyyah, mencatat tiga pengertian Islam menurut pandangan beberapa mutakallim yang berbeda (1) Kelompok yang menganggap Islam sebagai sebuah sebutan, (2) Aliran yang menggambarkan Islam sebagaimana keterangan hadits, ketika Nabi Saw ditanya tentang makna Iman dan Islam, beliau menafsiri Islam dengan Iima perbuatan lahir yang merupakan pilar ajaran Islam; (3) Golongan yang menyamakan antara iman dan Islam. Pendapat ketiga ini juga merujuk pada hadits yang menerangkan bahwa Islam adalah persaksian bahwa tiada tuhan selain Allah Swt., mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadlan, dan menunaikan ibadah haji bagi yang mampu melaksanakannya.

Masing-masing kelompok mendasarkan pandangan mereka pada hadits-hadits Nabi Saw. Beberapa hadits yang nampak bertentangan. kemudian ditafsiri secara berlainan oleh beberapa kelompok berbeda, sehingga melahirkan definisi yang berbeda pula. Namun setelah diteliti lebih dalam, ternyata tidak ada perbedaan mendasar dari masing-masing pendapat. Penulis Syarh Aqidah al-Thahawiyyah berkesimpulan bahwa ketiga definisi di atas memiliki titik temu, yakni bila dua kata, uman dan lalam, terkumpul (disebut bersamaan) keduanya memiliki pengertian yang berbeda; sebuah perbedaan yang terjadi hanya dalam tingkat pengertian (definisi), bukan merupakan perbedaan substantif, makna keduanya justru saling melengkapi. Namun bila keduanya disebutkan secara terpisah masing-masing justru menunjuk pada pengertian yang sama (murdi) Makna lain dari Islam adalah bahwa ia nama agama (addin) yang dridloi Allah Swt. sebagaimana dalam al-Quran. Dalam hal ini, nampak perbedaan pengertian dan makna antara iman dan Islam.

Apakah Iman cukup diyakini didalam Hati?



Yang kemudian diperdebatkan adalah apakah iman cukup diyakini dalam hati, harus diucapkan, atau bahkan harus dibuktikan secara lahir dalam bentuk perbuatan. Lalu apa hubungannya dengan Islam, apakah keimanan cukup tertanam dalam hati, sementara keislaman berbentuk perbuatan lahir. Ketika menjawab pertanyaan uru, kalangan mutakallimun (teolog) berbeda pendapat. Perbedaan itu dilatarbelakangi oleh perbedaan penafsiran atas dalil yang menjadi landasan pendapat mereka. Apalagi da lil yang digunakan cenderung bersifat umum yang menimbulkan banyak penafsiran.

Bila kita merujuk pada al-Quran penjelasan seputar iman dapat kita temukan dalam ayat yang membicarakan sifat-sifat orang benman (mumunûn), seperti dalam surat al-Anfal (8): ayat 2 yang berbunyi:

إنما المؤمنون الذين إذا ذكر الله وجلت قلوبهم واذا تليت عليهم أيته زادتهم إيمانا وعلى ربهم يتوكلون
Yang artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah, maka bergetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka mereka semakin bertambah uman, dan kepada Tuhanlah mereka pasrah”


Dalam ayat lain dijelaskan tentang karakteristik lain dari orang mukmin.yaitu dalam surat Al mu’minun ayat 1-5 yang berbunyi:

قد أفلح المؤمون الذين في صلاتهم خاشعون والذين هم عن اللغو معرضون والذين هم للزكوة فاعلون
والذين هم لفروجهم حفظون “

Sungguh beruntung orang-orang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dan (per- buatan dan perkataan) yang tidak berguna, dan orang-orang yang me- nunaikan zakat serta orang-orang yang menjaga kemaluannya”
(QS. al- Mu’minun [23]: 1-5)

Dan dua kutipan ayat al-Quran di atas nampak bahwa dalam menerangkan iman, al-Quran menjelaskannya dengan penyebutan sifat-sifat yang dimiliki orang mukmin.

Penjelasan tentang Iman,Islam, dan Ihsan

Penjelasan secara definitif mengenai pengertian iman, Islam dan ihsan dapat kita temukan dalam hadits Nabi Saw yang secara panjang lebar menguraikan ketiganya. Dalam hadits yanng di riwayatkan dari sohabat umar di tuturkan:

عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ أَيضاً قَال: بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَاب شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ حَتَّى جَلَسَ إِلَى النبي صلى الله عليه وسلم فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِي عَنِ الإِسْلاَم، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: ( الإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدَاً رَسُولُ الله، وَتُقِيْمَ الصَّلاَة، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ، وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ، وَتَحُجَّ البيْتَ إِنِ اِسْتَطَعتَ إِليْهِ سَبِيْلاً قَالَ: صَدَقْتَ. فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِيْمَانِ، قَالَ: أَنْ تُؤْمِنَ بِالله، وَمَلائِكَتِه، وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ الآَخِر، وَتُؤْمِنَ بِالقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ قَالَ: صَدَقْتَ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِحْسَانِ، قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ . رواه مسلم

Artinya:‘’Dari Umar radhiyallahu’anhu juga dia berkata, “Ketika kami duduk-duduk di sisi Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorang pun di antara kami yang mengenalnya.’’

Hingga kemudian dia duduk di hadapan Nabi lalu menempelkan kedua lututnya kepada kepada lutut Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, seraya berkata, “Wahai Muhammad, beritahukanlah kepadaku tentang Islam?”

Maka Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda, ’’Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji ke Baitullah jika engkau mampu menempuh jalannya.”

Kemudian dia berkata, “Kamu benar“. Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang membenarkan. Kemudian dia bertanya lagi, “Beritahukanlah kepadaku tentang Iman’’

Nabi bersabda, “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.” Kemudian dia berkata, “Kamu benar.”

Dia berkata lagi, “Beritahukan aku tentang ihsan.”
Nabi bersabda, ’’Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak mampu melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” H.R Muslim.

Sekilas terlihat bahwa hadits di atas memunculkan disparitas(perbedaan) makna antara aman dan Islam Islam diposisikan sebagai segala perbuatan yang berkaitan erat dengan aspek-aspek lahiriah, baik berupa ucapan maupun tindakan Sedangkan man lebih ekslusif (tertutup) karena maknanya berada pada kepercayaan dalam hati. Oleh karenanya, elegan ulama, yang menjadikan hadits ini sebagai argumennya, menggunakan pengucapan dua kalimat syahidah (kesaksian tauhid) untuk memastikan status keislaman seseorang yang kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan ajaran Islam yang lain, seperti shalat, zakat, puasa Ra madan, dan pergi haji Iman tidak sempurna bila diartikan sebagai pembenaran dalam hati saja, tanpa amal perbuatan.

Pemaknaan iman dan Islam semacam itu didukung oleh riwayat lain Sebuah hadits Nabi Saw, menyatakan: “Orang muslim adalah seorang yang bisa melindungi keselamatan orang lain dan ucapan maupun perbuatannya .

Selain itu, ketika Nabi Saw. ditanya mengenai Islam yang , Nabi Saw mengaitkannya dengan aktifitas lahiriyah. Beliau mengatakan Islam (yang sempurna) adalah memberi makanan (kepada kerabat). mengucapkan salam, baik kepada orang yang dikenal atau tidak Dengan demikian, berpijak pada keterangan hadits-hadits di muka maka pengertian objektif kata iman dan Islam dibedakan Islam adalah aktifitas lah, dan iman aktifitas batin.

Kedudukan
Iman dan Islam


Namun, hal ini tidak dapat dijadikan sebuah kesimpulan akhir. Karena jika diteliti lebih lanjut, ternyata ada hadits lain yang menyamakan kedudukan iman dan Islam. Misalnya hadits riwayat Umar ibn ‘Abas berkata: “Ada seorang laki-laki menemui Nabi Saw, lalu bertanya: “Wahai Rasul, apa sebenarnya Islam itu. Nabi menjawab, (Islam adalah) berserah diri kepada Allah dalam hati dan menjamin ketenangan kaum musim dan ucapan maupun perbuatannya.

Dalam hadits ini Nabi Saw memaknai Islam sebagai sikap berpasrah din kepada Allah Swt., dima sikap itu merupakan pekerjaan batın. Karenanya, terlihat ada pertentangan (ta’arud) jika dikaitkan dengan beberapa hadits yang t disebutkan sebelumnya Terkadang pengertian iman dibedakan dengan Islam, tapi dalam kesempatan lain keduanya memiliki pengertian yang sama; muradif Sebagaimana pengertian kata fakir dan miskin, ketika disebutkan bersamaan keduanya memiliki pengertian yang berbeda. Namun ketika disebutkan secara terpisah keduanya memiliki makna serupa.

Sebagaimana telah disinggung di muka, fungsi ungkapan melalui sarana lisan adalah menyingkap keyakinan hati, yang berpengaruh pada pemberlakuan hukum lahiriyah. Karena itu, seorang yang mem benarkan dalam hati dikategorikan sebagai orang beriman di sisi Allah Swt. Sementara yang membenarkan dalam hati sekaligus bersaksi dengan lisan tergolong mukmin di sisi Allah Swt dan hukum Islam berlaku padanya.

Pandangan Imam Al ghozali tentang Iman dan Islam


Kesimpulan ini didukung oleh al-Ghazali Menurutnya, dalam pandangan syari’at, iman dan Islam memiliki keterkaitan dengan dua keputusan hukum, hukum dunia dan akhirat. Hukum duniawi menjadikan seseorang yang berstatus muslim mendapat hukum sesuai ketentuan agama, seperti perlindungan nyawa, harta, dan lain sebagainya. Dalan persoalan hukum akhirat ia akan terbebas dari ancaman neraka atau tida selamanya di neraka.

Keimanan sebagai sesuatu yang esoteris berkaitan dengan hal-hal yang bersifat ukhrawi Sementara sesuatu yang nampak adalah stand penilaian keislaman seseorang di dunia. Karenanya jika seseorang bersyahadah namun sebenarnya hatinya ingkar dalam kehidupan dura disebut seorang muslim namun ia diancam siksa diakhirat kelak, ia sebut orang munafiq.


Oleh: Al ma’ruf PP Salaf APIK Kaliwungu

Anda mungkin juga suka.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *