Narasi

Kearifan Lokal dalam Perspektif Pancasila

Founding fathers Indonesia merancang pancasila sebagai puncak demokrasi yang bersifat fundamental, tidak lepas dari peran ulama Nusantara. Mereka sama-sama membangun dengan jerih payah untuk mempertahankan bangsa dari penjajah. Dengan melihat fenomena kearifan lokal yang masyarakat miliki.

Selain itu, Pancasila juga menjadi konsesus atas kemajemukan masyarakat Indonesia dari berbagai lapisan. Menjadikan Pancasila sebagai ideologi bukan berarti menyamakan sebagai agama. Karena Pancasila menyatukan semua, tapi isi Pancasila sama sekali tidak bertolakbelakang dengan agama.

Pasalnya, Pancasila menjadi hasil dari berbagai rintangan dan proses yang berkepanjangan oleh tokoh pendiri bangsa, pahlawan nasional hingga para ulama.

Bapak pluralisme Indonesia sekaligus presiden keempat Republik Indonesia, K.H. Abdurrahman Wahid atau Gusdur, pernah mengungkapkan pernyataan kutipan dari Douglas E. Ramage:

“Pancasila adalah serangkaian prinsip-prinsip yang bersifat lestari. Ia memuat ide-ide yang baik tentang hidup bernegara, sehingga masyarakat wajib memperjuangkannya. Saya akan mempertahankan Pancasila yang murni dengan jiwa raga saya, terlepas dari kenyataan bahwa ia tidak jarang di kebiri atau dimanipulasi, baik oleh segelintir tentara maupun sekelompok umat.

Local Wisdom dalam Pancasila

Kearifan lokal yang masyarakat lakukan menjadi strategi mereka dalam menghadapi kehidupan dan ilmu pengetahuan sekaligus menjawab persoalan untuk memenuhi kebutuhan. Kearifan lokal atau local wisdom sebenarnya bukan hal baru dalam kegiatan sehari-hari. Ia hadir secara langsung berbarengan dengan terbentuknya suatu masyarakat.

Local wisdom juga menjadi cermin yang bisa kita lihat secara realita terhadap hukum yang ikut tumbuh dalam masyarakat. Local wisdom juga menjadi implementasi nilai Pancasila ke tiga yaitu “Persatuan dan Kesatuan Indonesia” karena di dalamnya terselubung keanekaragaman yang menyatu kemudian membentuk kesatuan Indonesia.

Dalam hal ini, ada keharmonisan yang tercipta kemudian saling berkaitan untuk saling menguatkan dalam perbedaan. Identitas Indonesia sebagai negara yang kaya dengan keanekaragaman harus bersatu.

Tanpa disadari jati diri bangsa Indonesia bisa saja terkikis dan hilang jika tidak ada upaya mempertahankan kebudayaan yang ada dan saling mementingkan kehidupan sendiri tanpa ada toleransi dan kasih sayang.

Sumber Gambar: RedaksiINDONESIA

Referensi:

Douglas E. Ramage, Pemahaman Abdurrahman Wahid tentang Pancasilanya dan Penerapannya dalam Era Paska Asas Tunggal dalam Gus Dur, NU dan Maysarakat Sipil, Ellyas K.H. Dharwis (ed), (Yogyakarta: LKIS, 1997), hlm. 101

Ayu Sugiarti

View Comments

Recent Posts

Teknologi Digital: Penyelamat atau Penjerat?

Teknologi digital sudah merambah pada setiap aspek kehidupan kita. Mulai dari cara kita berkomunikasi, bekerja,…

4 jam ago

Generasi Toleran: Revolusi Hati untuk masa depan yang Damai

Toleransi, sebuah kata yang sering kita dengar namun tak selalu kita pahami sepenuhnya. Di era…

2 hari ago

Menjaga Kecantikan dari Dalam: Akhlak sebagai Kunci Utama

Kecantikan sering kali diasosiasikan dengan penampilan fisik, seperti kulit bersih, tubuh ideal, atau wajah menarik.…

2 hari ago

Filosofi dan Singkatan Dari Huruf Santri

Menjelang Hari Santri Nasional (HSN) tahun 2024 ini, kontribusi santri sudah merebak di berbagai hal.…

2 hari ago

Mahasiswa KKN 78 Iain Kudus Berpartisipasi dalam Kegiatan Peringatan Maulid Nabi di Masjid/Mushola Desa Wandankemiri pada saat Bulan Mulud

Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW menjadi momen yang penuh berkah dan semangat kebersamaan di tengah…

3 hari ago

Mahasiswa KKN-MB 078 IAIN Kudus Gelar Kegiatan Jumat Berkah (Berbagi di Hari Jumat)

Mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) dari program KKN-Moderasi Beragama (KKN-MB) 078 IAIN Kudus yang bertempat…

3 hari ago