Budaya adalah sesuatu yang melekat pada sekelompok orang di daerah, yang diwariskan dari sesepuh ke keturunannya yang memiliki nilai khas pada daerah tersebut. Wujud budaya dapat diamati atau dirasakan melalui :
a.) peninggalan pendidikan yang mempunyai nilai-nilai pelajaran kehidupan yang sangat berharga, seperti tembang Jawa “Lir Ilir”, cerita wayang, dan peraturan serta norma-norma untuk menjadi pribadi yang baik.
b.) Peninggalan budaya yang berupa tindakan atau aktivitas, seperti tahlilan, slametan, tingkeban, takbiran , dan lain sebagainya.
c. Peninggalan budaya yang berupa artefak atau karya, seperti buku primbon, candi, langgar, wayang, pakaian batik dan masih banyak lagi.
Budaya yang ditinggalkan pendahulu mempunyai nilai-nilai pendidikan serta etika yang baik sekali yang tidak kalah dengan budaya barat, akan tetapi mengapa dengan seiringnya perkembangan justru budaya pribumi menghilang dan budaya barat malah berkembang???.
Anak kelahiran 2005, 2004, dan seterusnya keatas masih merasakan indahnya kearifan lokal yang bermain bersama dan mencari permainan yang menantang, seperti mandi disungai, membuat tongklek untuk membangunkan sahur dan digunakan takbiran, bermain egrang, mancing, dan masih banyak permainan tradisional lainnya. Betapa indahnya masa kecil yang penuh ukiran kenangan canda tawa yang bisa diceritakan untuk generasi selanjutnya. Berbeda dengan anak zaman sekarang yang dunia permainanya hanya disibukkan dengan menggunakan handphone. Hal ini juga dilatarbelakangi oleh orang tua yang membebaskan anaknya bermain handphone dan tidak mengenalkan permainan tradisional zaman dulu.
Begitupun dengan orang tua zaman sekarang yang kurang memberikan dan memperkenalkan budaya ke anaknya. Orang tua sekarang justru memperkenalkan budaya barat kepada anaknya, mulai dari pakaian kebarat-baratan yang bertentangan dengan agama, gaya hidup boros dan mewah, bahkan jika anaknya rewel cukup diobati dengan handphone. Hal ini akan menjadi kecanduan kepada anak. Anak jika sudah kecanduan handphone, dikhawatirkan ada konten yang tidak senonoh yang akan ditiru oleh anak dan menjadikan anak kurang kepekaannya terhadap lingkungan. Kecanduan handphone pada anak juga berdampak pada keborosan, mulai dari isi ulang kuota data, check out dari toko online, isi top up game online, dan masih banyak lagi. Hal demikian bukanlah kebutuhan anak sebenarnya. Kebutuhan anak mulai usia dini adalah pendidikan, kegiatan outing class, bermain, training motivation, dan kegiatan positif lainnya. Dengan kegiatan positif tersebut anak akan mempraktekan teori yang didapat dari sekolah atau lingkungannya yang membantu anak menjadi lebih kreatif, inovatif, dan mempunyai pengalaman berharga untuk masa depannya.
Pendidikan anak zaman dulu diselipkan melalui cara permainan tradisional dan bernyanyi. Disini contoh yang akan diberikan adalah budaya Jawa seperti berikut :
a. Permainan Gotri ala Gotri
Gotri ala gotri nogosari, ririwul iwal – iwul jenang katul,dolan awan-awan ndelok manten, tentitenono mbesuk gedhe dadi opo, popodheng mbako enak mbako sedeng, dengdengklok engklak-engklok koyo kodok
Permainan Gotri ala Gotri dimainkan oleh 5 anak atau lebih. Permainan ini seperti permainan petak umpet. Cara bermainnya adalah dengan cara menaruh batu secara estafet ke teman sebelahnya. Pada saat lagu “dengklok engklak-engklok dadi kodok” anak yang menerima batu terakhir akan menjaga batunya agar tidak dicuri oleh temannya yang bersembunyi.
Nilai filosofis dari permainan ini adalah hidup harus memiliki tujuan. Hidup yang harus berarti dan dan tujuan yang akan dicapai. Hal demikian menjadikan hidup lebih sistematis dan lebih terarah. Salah satu yang diajarkan dari lagu adalah berhati-hati dalam mencari teman dekat. Jika mendapatkan teman dekat yang salah akan menjadi seperti kodok yang kehilangan batunya. Batu disini diartikan sebagai masa waktu belajar, harta, dan cita-cita yang jika mendapatkan teman dekat yang salah akan kehilangan semuanya yang menghambat mencapai tujuan hidup.
b. Tembang lagu Dondong Opo Salak “Kedondong atau Salak”
Adapun tembang lagunya seperti berikut : Dondong opo salak
Duku cilik-cilik
Ngandhong opo mbecak
Mlaku thimik-thimik
Tembang ini mempunyai nilai-nilai filosofis bahwa hidup jangan seperti buah kedondong yg yang luarnya (kulitnya) halus namun dalamnya kasar (biji kedondong). Kulit kedondong yang diartikan sebagai pribadi seseorang dari luarnya dan biji salak diartikan sebagai hati seseorang.
Menjadi pribadi seperti buah kedondong sangat tidak baik untuk masyarakat, justru lebih baik menjadi buah salak yang kulitnya coklat dan kasar, akan tetapi dalamnya (buahnya) putih bersih. Banyak seseorang yang dilihat dari luarnya mungkin kurang baik, akan tetapi berbaik hati dengan sesama layaknya putihnya buah salak.
Lebih baik lagi menjadi buah duku yang kulit dan buahnya sama-sama putih dan bersih. Seseorang yang diberikan fisik yang baik seharusnya baik sampai dalamnya, artinya baik sampai hati nuraninya. Jagan sampai menjadi pribadi seperti buah kedondong yang baik hanya kulitnya saja.
Demikianlah nilai filosofis dari budaya yang diwariskan untuk generasi selanjutnya. Semoga dengan adanya tulisan ini memberikan motivasi kepada pembaca agar senantiasa bangga dengan budaya pribumi sendiri dan tidak mengembangkan budaya barat (westernisasi).