free page hit counter

Api Radikalisme Tidak Dapat Dipadamkan!

santrimillenial.id – Bangsa Indonesia sebagai negara yang besar mempunyai potensi besar akan adanya perpecahan. Hal ini terlihat dari komposisi bangsa Indonesia yang terbentuk dari berbagai suku, agama, bahasa, etnis dan ras. Perbedaan-perbedaan ini apabila tidak disikapi dengan “toleransi” maka yang terjadi adalah satu kelompok akan menyalahkan kelompok yang lain. Sehingga akan terjadi sebuah konflik antar masyarakat, baik konflik agama, etnis ataupun budaya.

Apa Itu Toleransi?

Dijelaskan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Toleransi adalah bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan), pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda dan atau yang bertentangan dengan pendiriannya. Sedangkan menurut W.J.S Poerwadarminta, toleransi merupakan sikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan lain sebagainya yang berbeda dengan pendiriannya sendiri.

Berdasarkan pengertian di atas, dapat kita simpulkan bahwa toleransi merupakan sifat saling menghargai, menghormati, dan tidak saling menyalahkan ketika ada sebuah perbedaan. Dengan demikian, toleransi merupakan kunci utama dalam merawat persatuan dan kesatuan bangsa.

Radikalisme, Musuh Toleransi

Akan tetapi, terdapat sebuah hal yang menjadi musuh bebuyutan toleransi, yaitu paham-paham radikalisme. Melansir indonesia.go.id, kata “radikalisme” dari kata “radikal”. Kata “radikal” berasal dari bahasa Latin “radix” yang bermakna akar.  Dikutip dari detiknews, secara istilah radikalisme mempunyai berbagai penafsiran, seperti:

  1. Dalam ranah sosial dan politik radikalisme dapat diaratikan sebagai suatu paham yang menghendaki adanya perubahan, pergantian, dan penjebolan terhadap suatu sistem masyarakat sampai ke akarnya.
  2. Radikalisme digunakan untuk menyebut aktivitas politik kelompok tertentu yang memiliki tujuan untuk mengganti Pancasila dan UUD 1945.
  3. Radikalisme juga digunakan untuk kelompok-kelompok yang memiliki nilai-nilai antidemokrasi.

Dengan demikian, radikalisme dapat diartikan sebagai sebuah paham yang bertolak belakang dengan sistem negara Indonesia. Karena pada dasarnya paham radikalisme mempunyai tujuan untuk melakukan sebuah perubahan dan penjebolan sebuah sistem masyarakat yang sedang berlaku, yaitu sistem yang mengimplementasian nilai-nilai Pancasila dan digantikan dengan sebuah sistem yang baru.

Oleh karena itu, bagi negara besar seperti Indonesia yang mempunyai latar belakang perbedaan yanag sangat kuat, paham radikalisme adalah sebuah api yang tidak dapat dipadamkan, akan tetapi harus dikendalikan. Karena “radikalisme” adalah bentuk sebuah paham yang tidak kasat mata dan terus menyebar. Lantas bagaimana paham radikalisme dapat menyebar? Serta bagaimana sejarah radikalisme di Indonesia?

Sejarah Radikalisme di Indonesia

Secara historis, kata radikalisme telah ada sejak 1797, sebagaimana dijelaskan dalam ensiklopedia Britanica bahwa Charles James Fox adalah orang yang pertama kali menggunakan terma radikal, yaitu pada tahun 1797 mendeklarasikan “reformasi radikal”. Kemudian “radikal” mulai populer terhadap sebuah paham yang mencakup semua pihak yang mendukung gerakan reformasi parlementer.

Melansir Binus University, sejarah radikalisme di Indonesia dimulai pasca reformasi tahun 1950-an. Pada tahun tersebut, radikalisme mulai menguat dengan adanya sebuah operasi yang mengatasnamakan Darul Islam (DI) yang dipimpin Kartosuwiryo. Walaupun operasi ini sempat digagalkan, tapi sempat kembali menguat pada kepemimpinan presiden Soeharto, melalui intelijen Ali Murtopo, banyak melakukan recrutment mantan anggota DI untuk melakukan aksi-aksi komando jihad yang bertujuan untuk memojokkan agama Islam.

Gerakan radikal di Indonesia juga terlihat pasca reformasi, yaitu adanya Dr. Azhari dan Noordin M. Top yang memimpin gerakan yang tersebar di beberapa wilayah Indonesia, seperti Ambon, dan Poso. Gerakan-gerakan ini mulai terorganisir dengan rapi, sehingga muncul berbagai organisasi masyarakat (ormas) seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia, Front Pembela Islam (FPI), dan Laskar Jihad.

Akan tetapi, dalam perjalanan ormas-ormas tersebut, terdapat sebuah Perpu yang mengatur tentang Organisasi Kemasyarakatan, yaitu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan. Dijelaskan dalam aturan tersebut, apabila terdapat organisasi kemayarakatan yang bertentangan dengan ideologi negara, atau berpotensi untuk memecah-belah Negara Kesatuan Republik Indonesian (NKRI) maka, harus dibubarkan. Akibatnya, tepat pada 19 Juli 2017 terdapat organiasasi yang terpaksa harus dibubarkan, karena dinilai mempunyai ideologi yang bertentangan dengan Pancasila.

Walaupun demikian, organisasi-organisasi radikal yang telah dibekukan secara formal, masih memiliki akar pemahaman yang sangat kuat. Sehingga pemahaman-pemahaman radikal yang dimiliki tetap hidup dan terus ada.

Anda mungkin juga suka.