Masih ada masyarakat yang belum menerima Pancasila sebagai Ideologi bangsa. Meskipun seperempat tahun lagi menuju satu abad dan jelas Pancasila telah menyatukan keheterogenan Indonesia. Kelompok tertentu yang ingin menghilangkannya, lebih merujuk pada golongan yang fanatik terhadap agamanya, Islam. Mereka berpandangan Al-Qur’an lebih cocok menjadi tuntutan masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam.
Kefanatikannya terhadap Islam mampu menutup kemaslahatan umat yang berbeda dan beragam. Mereka mengganggap Pancasila tak pantas sebagai pedoman, sebab Islam segalanya. Pembacaan teks Al Qur’an dan pemahaman syariat yang sangat tekstual, sehingga harus sama persis sesuai dengan teks tanpa membaca situasi. Cara demikian, sebenarnya mampu menggulingkan persatuan, sebab di Indonesia berbeda dengan negara lain ketika melihat historis kepercayaan, adat, karakteristik masyarakat, wilayah dan sebagainya.
Pancasila menjadi manifestasi dari ajaran agama Islam yang bersifat hablumninannas dan hablumminallah. Sulit rasanya, Indonesia berdikari hanya dengan label Islam, sebab masyarakat Indonesia memegang kepercayaan yang berbeda. Maka Pancasila sebagai jembatan pemersatu dengan menimbang nilai Islam yang rahmatan Lil ālamīn tanpa menyinggu agama lain.
Dalih Penolakan
Ada dalih yang mereka gunakan untuk menolak Pancasila yakni
الإسلام يعلو ولا يعلى عليه
“Islam itu tinggi dan tiada yang dapat menandingi”.
Ashabul wurud dari hadits tersebut bermula pada seorang wanita yang masuk Islam. Adapun posisinya berstatus sebagai Istri orang Yahudi. Kemudian Ibnu Abbas mengatakan jika sang Istri boleh menceraikannya, sebab Islam itu tinggi dan tiada yang dapat menandingi.
Islam sebagai suatu ajaran sudah tidak diragukan lagi dalam menyimpan regulasi dan nilai-nilai agung yang bisa berinteraksi secara luas serta memberi manfaat untuk seluruh alam. Sebagaimana misi yang tersemat padanya yaitu ” rahmatan Lil’alamin”.
Jika memandang makna hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori tersebut, tidak ada keraguan bahwa nilai-nilai Islam begitu agung dan mempunyai regulasi tertinggi yang tidak ada bandingnya. Bahkan Islam sendiri memiliki perspektif sebagai “Rahmatan lil’alamin”, sehingga semua manusia merasakan rahmatnya tanpa tebang pilih.
Namun, tidak tepat apabila menggunakan hadits tersebut untuk menentang Pancasila. Karena setiap poin kalimat yang tersusun dalam Pancasila mempunyai korelasi dengan ajaran Islam. Kembali ke masa lalu, saat founding fathers, ulama Nusantara dan para pahlawan lainnya menciptakan Pancasila, tujuannya itu menemukan ideologi untuk menyatukan bangsa Indonesia agar punya landasan yang sama di tengah keberagaman.
Argumen Pro Pancasila
Tokoh bangsa masih menjadi alasan, tidak perlu Muslim mentaati mereka? Karena yang pantas mendapatkan kepatuhan hanya Allah dan Rasul?. Sebagai rakyat, masih mempunyai tanggung jawab untuk memberikan keloyalan kepada para penguasa. Sandarannya pada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad) serta ululamri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya) jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih bagus akibatnya (di dunia dan di akhirat)”. (An-Nisā’ [4]:59)
Kata Ulil Amri di sini mempunyai arti sebagai pemegang kekuasaan, bisa berarti pemimpin maupun pemerintah. Menukil dari tafsir Al-Misbah karya Mufassir Indonesia, M. Quraisy Shihab di halaman 585 menjelaskan bahwa Ulil Amri dalam ayat di atas tidak menyertakan kata taat karena tergantung sesuai dengan tindakan mereka. Allah menyematkan kata taat setelah Allah dan Rasul, sebab mereka begitu minim punya celah melakukan kesalahan bahkan tidak ada sama sekali.
Berbeda dengan pemimpin sebagai manusia biasa yang tidak luput dari dosa. Ulil Amri yang berwenang mengurus kehidupan di suatu negara memiliki tanggung jawab, lantaran masyarakat mengandalkan mereka dalam menangani berbagai persoalan terhadap kemasyarakatan. Namun tetap mempunyai andil dan perlu mentaatinya. Tentu, selama mengajak kepada kebaikan.
لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
“Jangan patuh pada kemaksiatan Allah (hal-hal yang bersifat negatif) karena sesungguhnya taatlah pada kebaikan”.
Sumber Gambar: Kompas