Semua orang pasti selalu bergelut dengan masalahnya masing-masing. Tapi, tidak semua orang mampu bersabar untuk menghadapi hal tersebut. Orang-orang yang mampu bersabar dalam setiap mengahadapi masalah, merekalah yang akan mendapatkan derajat mulia di sisi-Nya.
Tapi, perlu untuk kita ketahui bahwa sabar itu tidak melulu hanya ketika kita tertimpa musibah saja. Menurut Syekh Ibnu Abid Dunya (208-281 H) dalam karyanya as-Shabru wa Tsawâb ‘alaihi, ada tiga tingkat kesabaran.
Tingkatan sabar yang pertama ini merupakan tingkatan sabar yang paling rendah. Tapi, meskipun tingkatannya paling rendah, tidak sedikit dari kita waktu tertimpa musibah sering kali untuk mengeluh. Padahal setiap musibah yang kita terima merupakan sebuah ujian untuk meningkatkan derajat kita ke tingkat yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Tingkatan sabar yang kedua ini terlihat biasa saja bagi kita yang sering menjalani ketaatan. Tapi, hal ini begitu sangat berat bagi orang yang seringkali mengabaikannya. Semisal contoh ada seseorang yang tidak pernah melaksanakan puasa sunnah, ia pasti akan sangat keberatan ketika dipaksakan untuk melaksanakan puasa sunnah. Tapi, berbeda halnya bagi orang yang seringkali melaksanakan puasa sunnah. Tanpa diminta orang lain untuk puasa sunnah pun dengan sendirinya ia akan melakukan puasa sunnah.
Sabar yang terakhir adalah sabar dengan tingkatan tertinggi. Karena siapapun orangnya, baik yang kecil atau dewasa, yang pandai atau bodoh. Ketika dihadapkan dengan sebuah kemaksiatan pasti begitu berat untuk menahannya. Kita bisa mengatakan kalau mampu menahan diri dari sebuah kemaksiatan memang kita tidak diberikan kesempatan untuk melaksanakannya. Tapi, ketika ada kesempatan untuk melaksanakan maksiat itulah baru kesabaran kita diuji. Tinggal mampu atau tidak kita menahan diri.
Perlu untuk kita ketahui bahwa suatu hal yang bisa mencegah diri kita dari perbuatan maksiat adalah ilmu yang telah tertanam dalam diri kita. Semakin banyak ilmu yang tertanam dalam diri kita bahwa maksiat itu tidak boleh, maka akan semakin enggan untuk kita melakukan maksiat.
Sabar sendiri merupakan salah satu Asmaul Husna yang menduduki urutan paling akhir. Adapun mengenai penetapan sifat sabar berada di urutan paling akhir sebenarnya juga memiliki tujuan tersendiri. Di antara makna yang dapat kita ambil adalah ketika kita ingin berhasil menjalankan sifat sebelumnya kuncinya adalah sabar.
Semua sifat-sifat di dalam Asmaul Husna bila kita jalankan sesuai urutan pasti butuh kesabaran. Semisal sifat kasih sayang, ketika kita ingin mempraktekkan sifat kasih sayang terhadap seluruh makhluk selama berhari-hari kita hidup, pasti dalam menjalaninya kita perlu sebuah kesabaran.
Begitu pun dengan nama-nama yang terkandung di dalam Asmaul Husna jika ingin kita aplikasikan. Maka dari itu, meskipun sabar berada di urutan paling akhir, tapi kemanfaatan dari sabar bisa kita praktekkan mulai dari sifat pertama sampai ke 98. Karena memang pengaplikasian sifat sabar itu tidak hanya meliputi waktu tertimpa musibah, tetapi ada kalanya waktu dalam ketaatan atau kemaksiatan.
Oleh: Muhammad Sholihul Huda, PP Mansajul Ulum, Pati.
Sepak bola lebih dari sekadar permainan di atas lapangan hijau. Di tribun stadion, supporter menjadi…
Penyakit seperti diabetes, kanker, atau jantung memerlukan perawatan jangka panjang dengan biaya yang bisa mencapai…
Di kehidupan yang sangat praktis ini, banyak makanan cepat saji yang beredar di sekitar kita.…
Komunikasi adalah bagian penting dalam kehidupan manusia. Melalui ucapan, kita dapat menyuarakan berbagai ide, menyampaikan…
Perguruan tinggi sebagai pusat pendidikan dan pengembangan intelektual, seharusnya menjadi benteng melawan paham radikalisme. Namun,…
Minum es teh sudah menjadi kebiasaan bagi banyak orang di Indonesia. Segar, murah, dan mudah…