santrimillenial.id – Sudah beberapa hari ini, umat Islam di seluruh dunia menjalankan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan. Bulan yang paling dinanti dan penuh dengan keberkahan. Banyak peristiwa-periatiwa legendaris yang terjadi di bulan ini. Yaitu turunya Al-Qur’an dan malam Lailatul Qadar. Bulan ini menjadi moment untuk memperbanyak melakukan syari’at-syari’at, sunnah-sunnah dan kebaikan-kebaikan yang dianjurkan oleh nabi.
Di bulan Ramadhan, umat Islam diwajibkan untuk menjalankan ibadah puasa, yaitu menahan diri dari makan dan minum dari terbitnya fajar sampai tenggelamnya matahari. Dalam spiritual Islam, menahan di sini mempunyai makna yang luas. Menahan dari segala hal-hal yang bisa mengurangi pahala puasa. Seperti meninggalkan perkara-perkara yang jelek. Contohnya, berbohong, menyakiti orang lain, bergosip, dan lain-lain.
Ramadhan Momentum Menyucikan Diri
Melakukan sebanyak-banyaknya kebaikan untuk menutupi segala dosa-dosa yang pernah dilakukan. Melahirkan kembali, manusia yang fitrah. Memulihkan rohani seorang muslim. Lebih dari itu, menurut Idy Subandi Ibrahim dalam tulisannya yang dimuat di kompas id, puasa adalah jalan spiritual manusia untuk melakukan emansipasi. Pembebasan diri dari berbagai penjara batin dan dunia.
Puasa Mendorong untuk Berdialog dengan Diri Sendiri
Pada saat-saat merasa lapar dan dahaga, kita akan merasakan menjadi orang yang papa. Betapa susahnya mencari sesuap makanan dan minuman untuk memenuhi kebutuhan fisik. Kita akan merasakan sungguh beruntung masih bisa makan dan minum dengan enak, tanpa keterbatasan apapun.
Hal ini akan menimbulkan rasa syukur terhadap Rizki yang telah Allah berikan. Tidak lagi mengeluh dengan apa yang telah kita miliki. Akan merasa cukup dan menyadari bahwa urusan dunia tidak begitu penting untuk selalu dikejar. Kita akan memikirkan makna hidup yang sesungguhnya. Menumbuhkan rasa cinta dan peduli pada nasib orang lain. Puasa menumbuhkan empati dan membebaskan diri dari penjara egoisme dan apati.
Puasa Mengajarkan Kemanusiaan
Rumi, penyair sufistik bersenandung, “Jika engkau ingin menangis, kasihanilah orang-orang yang bercucuran air mata. Jika engkau mengharapkan kasih, perlihatkanlah kasihmu pada si lemah.”
Pada bulan suci Ramadhan, banyak amalan-amalan kemanusiaan yang dilakukan oleh umat Islam. Salah satunya, meringankan beban kaum fakir. Seperti tradisi berbagi takjil yang kerap dilakukan oleh umat Islam selama bulan Ramadhan. Para ulama juga memerintahkan untuk selalu berbagi melalu zakat, sedekah, infak, dan lain-lain. Tak jarang, juga melakukan kegiatan solidaritas antar umat beragama.
Puasa, Menjaga Mestabilan Ekonomi Sosial
Ikan-iklan dan produk-produk ikut menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Adanya televisi dan media sosial menambah meriahnya ajang promosi para produsen. Banyak produk dan diskon-diskon yang ditawarkan. Jika tidak bijak dalam bersikap, bulan Ramadhan akan menjadi bulan yang konsumtif.
Bulan Ramadhan, seharusnya bisa menahan diri untuk meminimalisir budaya konsumtif masyarakat. Terutama masyarakat Indonesia. Pada era media sosial, bulan Ramadhan sejatinya menjadi ajang regionalisasi melalui digital dengan menyemarakkan intensitas penggunaan media sosial untuk memperkaya ruhani
Puasa, Melatih Moral
Puasa bisa menjadi sarana introspeksi diri (muhasabah) dengan jalan pengendalian diri. Puasa adalah pengendalian diri yang bertujuan mencapai derajat ketakwaan. Lahirnya kesadaran bahwa Tuhan selalu bersama kita, memperhatikan kita, dan melihat semua perbuatan-perbuatan kita.
Dengan demikian, puasa mendidik rasa tanggungjawab pribadi dalam menjalan kehidupan di dunia. Memupuk kesadaran, bahwa moral harus ditegakkan dan menjadi kekuatan hidup. Dalam ranah bernegara dan bermasyarakat, puasa bisa membebaskan negeri dari perilaku koruptif dan manipulatif.
Menjalankan ibadah puasa secara benar -tidak hanya sekadar menahan makan dan minum serta segala sesuatu yang bisa membatalkan- juga menahan hawa nafsu yang selalu diliputi oleh egoisme, kepentingan diri, perilaku tamak, koruptif dan kepicukan hati, bisa menjadikan hati nurani manusia diliputi rasa mencintai kebajikan. Hati nurani yang telah mengalami emansipasi ini, kembali memiliki kepekaan ruhani terhadap akhlak dalam menghadapi krisis kehidupan.
Oleh: Putri Nadillah, PP. Mansajul Ulum