free page hit counter

Hukum Meninggalkan Puasa Ramadhan Bagi Musafir

santrimillenial.id – Sudah menjadi hal yang pasti diketahui oleh seluruh umat muslim, bahwa umat Islam memiliki kewajiban yang harus dipenuhi saat datang nya bulan suci Ramadhan, yaitu berpuasa selama satu bulan. Bahkan puasa Ramadhan merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima.

Syarat Wajib Puasa

Akan tetapi, kewajiban puasa tersebut tentunya berlaku bagi orang yang memang memenuhi syarat – syarat diwajibkan nya puasa. Yakni beragama Islam, baligh, berakal, sehat, mampu, tidak dalam perjalanan, dan suci dari haid dan nifas. Dengan demikian, bagi orang yang tidak memenuhi syarat tersebut, maka ia tidak berkewajiban melaksanakan puasa Ramadhan. Tentunya, dengan konsekuensi tertentu, baik membayar fidyah ataupun meng qadha nya, atau bahkan keduanya.

Rukhsah Bagi Musafir

Sebagaimana ibadah lainnya, Allah SWT memberikan dispensasi (rukhsah) puasa Ramadhan terhadap beberapa orang tertentu, salah satunya ialah orang yang berada dalam perjalanan (musafir). Untuk itu, seorang musafir boleh tidak berpuasa dan menggantinya (qadha) di lain waktu dengan beberapa syarat.

Pertama, perjalanan yang ditempuh mencapai jarak minimal diperbolehkan meringkas (qashar) salat, yakni minimal 81 KM. Kedua, ia sudah keluar batas daerah tempat tinggalnya minimal sebelum subuh menurut pendapat yang kuat. Namun menurut Imam al-Muzani, ia diperbolehkan tidak puasa meskipun perjalanan baru dilakukan di siang hari. Sebagaimana penjelasan Imam An-Nawawi:

وَمَنْ أَصْبَحَ فِي الْحَضَرِ صَائِمًا ثُمَّ سَافَرَ لَمْ يَجْزَ لَهُ أَنْ يَفْطَرَ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ وَقَالَ الْمُزَنِّي لَهُ أَن يَفْطَرَ كَمَا لَوْ أَصْبَحَ الصَّحِيحُ صَائِمًا ثُمَّ مَرَضَ فَلَهُ أَنْ يَفْطَرَ.

Artinya: “Barang siapa yang memasuki waktu subuh masih di rumah dalam keadaan puasa, kemudian pergi, maka ia tidak boleh membatalkan puasanya pada hari itu. Imam al-Muzani berpendapat, bagi orang yang pergi setelah subuh boleh membatalkan puasa sebagaimana orang yang masuk pada waktu subuh dalam keadaan sehat, kemudian mendadak sakit, boleh membatalkan puasa.” (Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, VI/260)

Apabila telah memenuhi persyaratan tersebut, seseorang boleh tidak berpuasa. Namun yang lebih baik ialah melihat kondisi dirinya ketika berpuasa. Sebagaimana penjelasan Imam Jalaluddin Al-Mahalli:

وَيُبَاحُ تَرَكَهُ لِلْمُسَافِرِ سَفَرًا طَوِيلًا مُبَاحًا فَإِنْ تَضَرِّرَ بِهِ فَالْفِطْرُ أَفْضَلُ وَإِلَّا فَالصَّوْمُ أَفْضَلُ


Artinya: “Dan diperbolehkan bagi musafir untuk meninggalkan puasa dalam perjalanan jauh yang dilegalkan. Apabila ia merasa kepayahan akibat puasa, maka meninggalkan puasa lebih baik. Apabila tidak kepayahan, maka tetap puasa justru lebih baik.” (Al-Mahalli Syarh al-Minhaj, II/82) waAllahu a’lam

Itulah beberapa referensi terkait hukum puasa bagi orang yang sedang melakukan perjalanan atau musafir. Hal ini membuktikan betapa Alloh sangat menyayangi hamba Nya, dan tidak akan membebani hal yang tidak mampu dilaksanakan oleh hamba Nya.

Oleh: Al ma’ruf PP Salaf APIK Kaliwungu Kendal

Anda mungkin juga suka.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *