Narasi

Sejarah dan Latar Belakang Tradisi Halal bi Halal

santrimillenial.id – Bulan Syawal memang bulan yang penuh dengan nuansa sejuk dan harmoni. Dimana setiap orang yang bertemu bermaaf-maafan. Tak jarang juga saling berkunjung dan bersilaturahmi. Termasuk hal yang masih dilaksanakan adalah tradisi halal bihalal. Lantas bagaimana sejarah halal Bihalal itu sendiri?

Melansir Nu Online, terdapat keterangan bahwa Pegiat Komunitas Pegon, Ayung Notonegoro mengungkapkan bahwa istilah halal bihalal terdapat dalam manuskrip Babad Cirebon. Hal itu ia ungkapkan berawal dari Guru Besar Filologi UIN Syarif Haidayatullah, Prof Oman Fathurahman yang seandainya ada ingin membedah manuskrip tentang halal bihalal. Di dalam Babad Cirebon CS 114/ PNRI halaman 73 terdapat keterangan yang ditulis dengan huruf Arab pegon berbunyi, “Wong Japara sami hormat sadaya umek Desa Japara kasuled polah ing masjid kaum sami ajawa tangan sami anglampah HALAL BAHALAL sami rawuh amarek dateng Pangeran Karang Kamuning”.

Penjelasan Idham Cholid tentang Halal Bihalal

Ketua Umum Jayanusa, Idham Cholid (Tempo, 2021) menjelaskan bahwa tradisi halal bihalal sebenarnya sudah berkembang sangat lama, jauh sebelum negara ini berdiri. Beberapa referensi menyebut, sebagaimana dijelaskan Antropolog UIN Sunan Kalijaga Mohammad Soehadha, tradisi ini berakar dari “pisowanan” yang sudah ada di Praja Mangkunegaran Surakarta pada abad ke-18 atau tahun 1700-an. Kala itu,

Raden Mas Said KGPA Arya Mangkunegara I mengumpulkan para bawahan dan prajurit di balai astaka untuk melakukan “sungkeman” kepada raja dan permaisuri selepas perayaan Idul Fitri. Pisowanan secara bersama ini dianggap lebih efektif dan efisien dibanding dilakukan secara perorangan.

Keterangan istilah halal bihalal juga terdapat pada majalah Soeara Moehammadijah edisi nomor 5 tahun 1924 yang terbit sekitar April 1924. Majalah edisi tersebut dipublikasikan menjelang Idul Fitri tahun 1924 yang saat itu jatuh pada tanggal 6 Mei 1924. Majalah Soeara Moehammadijah pada 1 Syawal 1344 H atau pada tahun 1926 menulis “Alal Bahalal”. Baca Juga Makna Halal Bihalal menurut Prof Quraish Shihab Muhammad Yuanda Zara (Historia, 2020) menerangkan bahwa istilah halal bihalal juga dipopulerkan oleh seorang penjual martabak asal India di Taman Sriwedari Solo, sekitar tahun 1935-1936, khususnya pada malam keramaian di bulan Ramadhan. Seorang yang membantu dalam penjualan martabak tersebut mempromosikan dagangannya dengan istilah, “martabak Malabar, halal bin halal, halal bin halal”. Kata-kata tersebut kemudian diikuti oleh para pelanggannya.

Halal bihalal dipopulerkan KH Wahab Chasbullah

Di era revolusi pada tahun 1948 tepatnya di pertengahan bulan Ramadhan, Bung Karno memanggil KH Wahab Chasbullah ke Istana Negara untuk dimintai pendapat dan sarannya dengan harapan dapat mengatasi situasi politik Indonesia yang tidak sehat kala itu. Kemudian Kiai Wahab Chasbullah memberi saran kepada Bung Karno untuk menyelenggarakan silaturahim. Sebab, sebentar lagi Hari Raya Idul Fitri, dimana seluruh umat Islam disunahkan bersilaturahim.

Lalu Bung Karno menjawab, “silaturahim kan biasa, saya ingin istilah yang lain”. “Itu gampang,” kata Kiai Wahab. “Begini, para elit politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturahim nanti kita pakai istilah halal bihalal,” jelas Kiai Wahab Chasbullah seperti riwayat yang diceritakan KH Masdar Farid Mas’udi.

Dari saran Kiai Wahab Chasbullah itulah kemudian Bung Karno pada Hari Raya Idul Fitri mengundang semua tokoh politik untuk datang ke Istana Negara untuk menghadiri silaturahim yang diberi nama halal bihalal. Akhirnya mereka bisa duduk dalam satu meja, sebagai babak baru untuk menyusun kekuatan dan persatuan bangsa. Sejak saat itulah istilah halal bihalal gagasan Kiai Wahab lekat dengan tradisi umat Islam Indonesia pasca-lebaran hingga kini.

Oleh: Al ma’ruf PP Salaf APIK Kaliwungu

Al Maruf

Recent Posts

Supporter Sepak bola : Wujud Nasionalisme Modern

Sepak bola lebih dari sekadar permainan di atas lapangan hijau. Di tribun stadion, supporter menjadi…

24 jam ago

Sakit Itu Mahal, Sehat Lebih Mahal Lagi (2)

Penyakit seperti diabetes, kanker, atau jantung memerlukan perawatan jangka panjang dengan biaya yang bisa mencapai…

2 hari ago

Sakit Itu Mahal, Sehat Lebih Mahal Lagi (1)

Di kehidupan yang sangat praktis ini, banyak makanan cepat saji yang beredar di sekitar kita.…

2 hari ago

Jaga Ucapanmu

Komunikasi adalah bagian penting dalam kehidupan manusia. Melalui ucapan, kita dapat menyuarakan berbagai ide, menyampaikan…

3 hari ago

Mencegah Radikalisme di Kampus: Peran Mahasiswa dalam Membangun Lingkungan Akademik yang Inklusif

Perguruan tinggi sebagai pusat pendidikan dan pengembangan intelektual, seharusnya menjadi benteng melawan paham radikalisme. Namun,…

3 hari ago

Es Teh Setiap Hari: Sehat atau Bahaya?

Minum es teh sudah menjadi kebiasaan bagi banyak orang di Indonesia. Segar, murah, dan mudah…

3 hari ago