Pandangan Ulama Madzhab Mengenai Wanita Haid Memaknai Tafsir Al-Qur’an

Pemaknaan tafsir Al-Qur’an di dalam pondok pesantren bukan hal yang tabu bagi para santri. Tapi teruntuk santriwati, terdapat suatu masalah tersendiri waktu datang bulan menghampiri. Bagi para santriwati yang giat dalam mengaji, datang bulan sering kali menjadi pemicu timbulnya rasa eman orak ngaji (sayang kalau tidak mengaji) jika ketinggalan makna yang akan dikaji dari sang guru. Dalam benak mereka pun sering kali muncul pertanyaan mengenai kebolehan mengaji tafsir Al-Qur’an. Untuk menyikapi hal tersebut terdapat beberapa jawaban dari imam madzhab empat.

Dalam kitab karya Kementrian Wakaf Kuwait, Mausu`ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, Hal: 98/juz: 13, Darul Kutub Al Ilmiyah dijelaskan terdapat 3 pendapat mengenai orang yang memiliki hadas dalam memaknai tafsir.

Pertama, menurut Jumhur Fuquha’ bagi orang yang sedang berhadats walaupun itu junub tetap diperbolehkan memegang, membawa, dan membaca tafsir. Kebolehan ini tetap berlaku meskipun di dalam tafsir tersebut terdapat ayat-ayat Al-Qur’an. Hal ini dikarenakan yang dimaksud dari tafsir adalah maknanya bukan bacaannya. Oleh sebab itu, hukum yang ada pada mushaf tidak berlaku lagi pada kitab tafsir. Di dalam redaksi kitab tersebut dituliskan:

يَجُوْزُ عِنْدَ جُمْهُوْرِ الْفُقَهَاءِ لِلْمُحْدِثِ مَسُّ كُتُبِ التَّفْسِيْرِ وَإِنْ كَانَ فِيْهَا آيَاتٌ مِنَ الْقُرْآنِ وَحَمْلُهَا وَالمُطَالَعَةُ فِيْهَا، وَإِنْ كَانَ جُنُبًا، قَالُوْا: لِأَنَّ الْمَقْصُوْدَ مِنَ التَّفْسِيْرِ: مَعَانِي الْقُرْآنِ، لاَ تِلاَوَتُهُ، فَلاَ تَجْرِيْ عَلَيْهِ أَحْكَامُ الْقُرْآنِ.

Artinya: “Menurut mayoritas ahli fikih, seorang yang berhadats boleh menyentuh kitab-kitab tafsir, meskipun di dalamnya terdapat ayat-ayat Al-Qur’an, membawanya serta membacanya, meskipun ia dalam keadaan junub. Mereka berkata: Karena yang dimaksud dengan penafsiran adalah makna-makna Al-Qur’an, bukan bacaannya, maka hukum-hukum Al-Qur’an tidak berlaku padanya.” (Kementrian Wakaf Kuwait, Mausu`ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, hal: 98/juz: 13, Darul Kutub Al Ilmiyah).

Kedua, menurut madzhab Syafi`i boleh memegang dan membawa kitab tafsir dalam keadaan hadats. Tetapi dengan catatan bahwa jumlah tafsir nya lebih banyak dibandingkan dengan jumlah ayat dalam Al-Qur’an.

Ketiga, menurut madzhab Hanafi mewajibkan berwudhu ketika hendak memegang dan membawa kitab-kitab tafsir. Hal ini ditegaskan dalam kitab Mausu`ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah:

وَصَرَّحَ الشَّافِعِيَّةُ بِأَنَّ الْجَوَازَ مَشْرُوْطٌ فِيْهِ أَنْ يَكُوْنَ التَّفْسِيْرُ أَكْثَرَ مِنَ الْقُرْآنِ لِعَدَمِ الإِخْلاَلِ بِتَعْظِيْمِهِ حِيْنَئِذٍ، وَلَيْسَ هُوَ فِيْ مَعْنَى الْمُصْحَفِ. وَخَالَفَ فِيْ ذَلِكَ الْحَنَفِيّةُ، فَأَوْجَبُوْا الوُضُوْءَ لَمِسَ كُتُبَ التَّفْسِيِرِ.

Artinya: “Imam Syafi’i menjelaskan bahwa kebolehannya itu disyaratkan jika penafsirannya lebih banyak dari Al-Qur’an agar tidak mengurangi keagungannya dalam hal tersebut, dan tafsir tidak sesuai dengan makna mushaf. Dalam hal ini Imam Syafi’i berbeda pendapat dengan madzhab Hanafi yang mewajibkan wudhu ketika hendak menyentuh kitab-kitab tafsir.” (Kementrian Wakaf Kuwait, Mausu`ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, hal: 98/juz: 13, Darul Kutub Al Ilmiyah).

Di dalam kitab Mausu`ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah karya Kementrian Wakaf Kuwait memang tidak dijelaskan mana pendapat yang lebih ashah dan mana pendapat yang lemah. Akan tetapi jika merujuk pada kitab Syarah Muhazab Karya Imam Nawawi mengatakan adanya perbedaan pendapat tentang kebolehan menyentuh kitab tafsir yang lebih banyak tafsirnya daripada Al-Qur’an.

Dalam kitab tersebut dijelaskan terdapat 3 pendapat: Pertama, yaitu pendapat yang ashah tidak haram menyentuh tafsir karena bukan tergolong mushaf. Sedangkan Imam Ad Darimi dan Imam yang lain tidak setuju dengan pendapat ini. Kedua, hukumnya haram karena mengandung ayat Al-Qur’an. Ketiga, hukumnya haram memegang atau membawa tafsir jika ada perbedaan antara ayat Al-Qur’an dan tafsirnya, semisal ayat Al-Qur’an berwarna hitam sedangkan tafsirnya berwarna merah. Jika tidak ada perbedaan antara keduanya maka boleh memegang dan membawanya. Imam Mutawali, Baghawi, dan yang lainnya menganggap pendapat yang ketiga ini dhaif. (Syarah Muhazab, Imam Nawawi, hal: 529/juz: 2, Darul Kutub Al Ilmiyyah, 2011).

Untuk status Tafsir Jalalain itu sendiri sudah bisa dikatakan tafsir yang boleh untuk dipegang oleh orang yang berhadats. Hal ini dikarenakan jumlah huruf yang ada pada kitab Tafsir Jalalain lebih banyak dari huruf Al-Qur’an. Sebagaimana yang tertera dalam kitab Fatawa Al Jamal Ar-Ramli dalam I`anah At-Thalibin hal: 82/juz: 1. Ketika Imam Ramli ditanyai tentang apakah jumlah huruf pada Tafsir Jalalain sama dengan huruf dalam Al-Qur’an atau lebih banyak? Beliau menemukan bahwa Tafsir Jalalain lebih banyak hurufnya dari pada Al-Qur’an. (Sayyid Abu Bakar Muhammad Syatho Ad Dimyati, I`anah At-Thalibin hal: 82/juz: 1, Darul Fikr, 2019).

Dari pendapat ashah di atas yang mengatakan boleh menyentuh dan membawa tafsir tanpa wudhu ternyata dalam kitab Tuhfatul Muhataj hal: 135/juz: 2 karya Imam Ibn Hajar Al Haitami terdapat tambahan kebolehan akan tetapi disertai hukum makruh.

Sedangkan menurut Imam Malik boleh secara mutlak bagi orang yang sedang haid membaca Al-Qur’an dalam kondisi masih mengeluarkan darah entah itu orang yang junub atau tidak dan khawatir lupa akan hafalannya ataupun tidak. Akan tetapi jika darah haid sudah berhenti, maka tidak boleh membaca Al-Qur’an sampai dia mandi entah itu mandi junub ataupun tidak, kecuali jika khawatir akan lupa dengan hafalannya, maka boleh membaca Al-Qur’an meskipun darah haid sudah terputus dan belum melaksanakan mandi. (Al Auqof Al Kuwaitiyah, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah al-Kuwatiyyah, hal 322, Jilid: 18, Beirut Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2020). Dari pendapat yang dikemukakan oleh Imam Malik dapat dipahami bahwa wanita haid yang masih keluar darahnya secara mutlak saja boleh membaca Al-Qur’an apalagi hanya sekedar membawa, menyentuh, dan membaca kitab tafsir yang tidak dikatakan sebagai mushaf.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum memegang, membawa, dan membaca tafsir bagi wanita haid menurut madzhab Syafi`i boleh akan tetapi makruh jika mengikuti pendapat yang ashah, sedangkan menurut madzhab Hanafi boleh akan tetapi wajib untuk berwudhu terlebih dahulu, dan menurut madzhab Maliki diperbolehkan secara mutlak. Wallahu alam.

Oleh: Muhammad Sholihul Huda, PP Mansajul Ulum, Pati.

Anda mungkin juga suka.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *