santrimillenial.id – Amerika Serikat telah lama dianggap sebagai pemain kunci dalam upaya perdamaian di Timur Tengah, khususnya dalam konflik Palestina-Israel. Namun, banyak pihak yang berpendapat bahwa kebijakan AS sering kali tampak inkonsistensinya, mengedepankan standar ganda dan kepentingan politik di atas keadilan dan hak asasi manusia. Artikel ini akan mengeksplorasi beberapa aspek yang menyoroti kemunafikan Amerika Serikat dalam konflik ini.
Hubungan Politik Amerika dan Israel
Sejak berdirinya Israel pada tahun 1948, Amerika Serikat telah memberikan dukungan kuat, baik secara diplomatik, militer, maupun ekonomi. Bantuan militer tahunan kepada Israel mencapai miliaran dolar, menjadikan Israel salah satu penerima bantuan militer terbesar dari AS. Bantuan ini sering kali berlanjut meskipun ada laporan pelanggaran hak asasi manusia terhadap warga Palestina.
Ketika menghadapi kritik internasional atas tindakannya, Israel hampir selalu bisa mengandalkan dukungan AS di forum-forum internasional seperti PBB. Veto AS terhadap resolusi-resolusi yang mengkritik Israel di Dewan Keamanan PBB menunjukkan komitmen AS untuk melindungi Israel dari tekanan internasional, meskipun tindakan Israel bertentangan dengan hukum internasional dan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Inkonsistensi Sikap Amerika Terhadap Perdamaian
Retorika pemerintah AS sering kali menekankan pentingnya perdamaian dan solusi dua negara sebagai cara terbaik untuk menyelesaikan konflik Palestina-Israel. Namun, tindakan nyata sering kali tidak mendukung pernyataan tersebut. Misalnya, di bawah pemerintahan Donald Trump, AS mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan memindahkan kedutaan besar dari Tel Aviv ke Yerusalem, sebuah langkah yang secara luas dianggap mengabaikan klaim Palestina atas Yerusalem Timur sebagai ibu kota masa depan mereka. Langkah-langkah seperti ini memperlihatkan kontradiksi antara retorika damai dan tindakan di lapangan yang justru memperparah ketegangan dan merusak prospek perdamaian jangka Panjang.
Amerika Serikat sering kali menyuarakan komitmennya terhadap hak asasi manusia dan demokrasi di berbagai belahan dunia. Namun, ketika datang ke Israel, AS tampaknya menerapkan standar yang berbeda. Pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh militer Israel terhadap warga Palestina, termasuk penggusuran paksa, penahanan tanpa proses hukum, dan penggunaan kekuatan berlebihan, jarang mendapat kecaman keras dari AS. Sebaliknya, pemerintah AS cenderung fokus pada tindakan-tindakan kekerasan oleh kelompok militan Palestina, sementara mengabaikan atau meremehkan tindakan represif oleh Israel. Hal ini menciptakan persepsi bahwa AS mendukung hak asasi manusia hanya ketika sesuai dengan kepentingan geopolitiknya
Respon atas Sikap Amerika
Untuk menghadapi berbagai dilema tersebut, banyak gerakan yang dilakukan oleh organisasi-organisasi di dunia seperti Gerakan Boycott, Divestment, dan Sanctions (BDS) secara masif karena ini bisa menjadi bagian dari kampanye global yang bertujuan untuk menekan Israel agar mematuhi hukum internasional dan menghormati hak-hak Palestina melalui boikot ekonomi dan budaya. Alih-alih mendukung hak atas kebebasan berekspresi yang dijamin dalam Konstitusi AS, beberapa negara bagian di Amerika telah mengesahkan undang-undang yang melarang atau membatasi partisipasi dalam gerakan BDS. Ini menunjukkan bagaimana AS bersedia mengorbankan prinsip-prinsip kebebasan berbicara dan hak asasi manusia demi mendukung Israel, sekali lagi menunjukkan standar ganda yang jelas. Apalagi saat ini Berdasarkan Laporan Palestinian Central Bureau of Statistics (PCBS) pertanggal 08/05/2024 dalam agesi militer Israel tercatat ada orang 35.287 Meninggal Dunia, 83.003 Luka-luka, 294.000 Di pengungsian, 13.610 Ditangkap Israel, dan 360.000 Bangunan Rusak. Namun lagi-lagi Amerika bungkam bahkan menolak berdirinya Palestina sebagai negara secara penuh di sidang PBB akhir-akhir ini.
Oleh: Siti Roihatul Janah, PP. Khozinatul Ulum Blora