Pandangan Keagamaan dan Etika Sosial Terhadap Penerapan Hukum Rajam

santrimillenial.id – Hukum rajam merupakan salah satu bentuk hukuman dalam agama Islam dengan cara dilempari batu sampai mati bagi pelakunya. Terdapat berbagai macam pandangan mengenai hukum rajam yang seringkali menimbulkan perdebatan sengit antara kelompok yang mendukung dan menolak penerapannya. Dari sudut pandang keagamaan, hukum rajam dianggap sebagai cara menegakkan moralitas dan mencegah perbuatan zina yang dianggap sebagai dosa besar. Namun, dari perspektif etika sosial, hukuman ini sering dikritik sebagai bentuk kekejaman yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Oleh karena itu, perdebatan mengenai penerapan hukum rajam ini mencerminkan ketegangan yang lebih luas antara nilai-nilai tradisional yang berbasis agama dan norma-norma modern yang menekankan hak-hak individu dan kemanusiaan.

Para ulama yang mendukung penerapan hukum rajam berargumen bahwa hukuman ini memiliki dasar yang kuat dalam tradisi Islam. Hal ini dilihat dari fungsi rajam sendiri sebagai pencegah yang efektif terhadap perbuatan zina yang dianggap merusak moral masyarakat. Imam Malik, dalam kitabnya Al-Muwatta menegaskan bahwa rajam adalah hukuman yang telah disepakati oleh para sahabat dan ulama terdahulu. Para ulama juga menekankan pentingnya memenuhi syarat-syarat ketat sebelum hukum ini diterapkan, seperti adanya empat saksi yang melihat secara langsung perbuatan zina atau pengakuan dari pelaku sendiri untuk menghindari ketidak adilan.

Di sisi lain, dari perspektif etika sosial dan hak asasi manusia, penerapan hukum rajam menuai banyak kritik. Terdapat pendapat yang berargumen bahwa hukum rajam merupakan bentuk hukuman yang kejam dan tidak manusiawi karena bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia. Organisasi internasional seperti Amnesty International dan Human Rights Watch secara tegas menentang penerapan hukum rajam dengan alasan bahwa hukuman ini melanggar hak untuk hidup dan hak untuk tidak disiksa. Mereka juga menyoroti kasus-kasus dimana hukum rajam diterapkan tanpa proses pengadilan yang adil, atau dimana bukti yang digunakan tidak memadai atau dipaksakan.

Dalam konteks historis, hukum rajam merupakan bagian dari sistem hukum pidana di banyak masyarakat pra-modern. Namun, seiring dengan perkembangan peradaban dan perubahan norma-norma sosial, banyak negara dan masyarakat telah meninggalkan bentuk hukuman fisik yang brutal ini. Dalam konteks modern, penerapan hukum rajam sering kali dihubungkan dengan upaya beberapa negara untuk mempertahankan identitas keagamaan dan budaya mereka di tengah arus globalisasi dan modernisasi.

Perdebatan mengenai hukum rajam mencerminkan konflik yang lebih luas antara interpretasi tekstual dan kontekstual dari hukum keagamaan serta antara norma-norma tradisional dan prinsip-prinsip modern hak asasi manusia. Untuk mencapai titik temu, diperlukan dialog yang lebih dalam antara para pemimpin agama, akademisi, dan aktivis hak asasi manusia. Dialog ini tidak hanya harus mempertimbangkan landasan teologis dari hukum rajam, tetapi juga dampak sosial dan moral dari penerapannya dalam masyarakat modern.

Perdebatan mengenai hukum rajam mencerminkan benturan antara tradisi keagamaan yang ketat dengan prinsip-prinsip kemanusiaan. Pendekatan yang seimbang dan penuh pengertian terhadap kedua sudut pandang ini sangat diperlukan untuk mencapai kesepahaman dan solusi yang dapat diterima oleh semua pihak. Dalam mencari jalan tengah, penting untuk mengingat bahwa inti dari ajaran agama dan nilai-nilai kemanusiaan adalah untuk menjaga martabat dan kesejahteraan manusia. Oleh karena itu, pembahasan ini tidak hanya harus mempertimbangkan landasan teologis dari hukum rajam, tetapi juga dampak sosial dan moral dari penerapannya dalam masyarakat modern, dan menciptakan tatanan hukum yang adil dan berperikemanusiaan.

Oleh: Muhammad Sholihul Huda, PP Mansajul Ulum, Pati.

Anda mungkin juga suka.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *