Narasi

Hukum Mendaftarkan Haji Orang Tua

santrimillenial.id – Ibadah haji merupakan kewajiban bagi setiap umat muslim yang mampu untuk menunaikannya, baik secara fisik maupun finansial. Namun banyak ditemukan persoalan seorang anak yang mendaftarkan haji orang tuanya terlebih dahulu, sementara ia sendiri belum pernah menunaikan ibadah haji. Lantas bagaimana fikih menanggapi permasalahan ini? Serta bagaimana hukum bagi orang tersebut?

Dalam masalah ini, pada dasarnya ketika seseorang telah mencapai batas mampu untuk menunaikan haji, dia memiliki kewajiban untuk menunaikannya. Namun ia diperbolehkan untuk mengakhirkan pelaksanaannya dengan syarat ada keyakinan bahwa ia masih mampu dan berniat menunaikan haji di tahun-tahun berikutnya.

Imam Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan:

وَهُمَا عَلَى التَّرَاخِي بِشَرْطِ الْعَزْمِ عَلَى الْفِعْلِ بَعْدُ … لَا يَجُوزُ تَأْخِيرُ الْمُوَسْعِ إِلَّا إِنْ غَلَبَ عَلَى الظَّنَّ تَمَكَّنُهُ مِنْهُ.
“Haji dan Umroh kewajibannya melonggar (tidak harus dilaksanakan seketika) dengan syarat ada niat untuk menunaikannya di waktu mendatang…. Begitu pula tidak boleh mengakhirkan sesuatu yang longgar (pelaksanaannya) kecuali ada dugaan kuat bahwa ia masih mampu untuk melakukannya.” (Tuhfah Al-Muhtaj, IV/5)

Meskipun diperbolehkan dengan beberapa ketentuan di atas, namun hukumnya makruh karena ada unsur mendahulukan orang lain dalam hal ibadah. Sebagaimana dalam kaidah fikih:

الْإِيثَارُ بِالْقُرْبِ مَكْرُوهُ

“Mendahulukan orang lain dalam hal ibadah hukumnya makruh.” (Al-Asybah Wa An-Nadhair, hal. 180)

Bahkan menurut pendapat lain, ketika seorang muslim telah memiliki kemampuan untuk berhaji maka ia wajib segera melaksanakannya dan tidak boleh ditunda-tunda. Syekh Sulaiman al-Jamal berkata:

وَقَالَ مَالِكٌ وَأَبُو حَنِيفَةَ وَأَحْمَدُ وَالْمُزَنِي يَجِبُ عَلَى الْفَوْرِ ثُمَّ عِنْدَنَا إِذَا أَخَرَ فَمَاتَ تَبَيَّنَا أَنَّهُ مَاتَ عَاصِيًا عَلَى الْأَصَحُ لِتَفْرِيطِهِ.

“Imam Malik, Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal, dan Imam Muzani berkata jika haji wajib dilakukan segera. Kemudian menurut kami Madzhab Syafi’i, jika seseorang menunda menunaikan ibadah haji kemudian ia meninggal dunia, maka menurut pendapat Ashah ia meninggal dalam keadaan maksiat karena keteledorannya.” (Hasyiyah Al-Jamal, II/373)



Oleh Alma’ruf PP Salaf APIK Kaliwungu

Al Maruf

Recent Posts

Teknologi Digital: Penyelamat atau Penjerat?

Teknologi digital sudah merambah pada setiap aspek kehidupan kita. Mulai dari cara kita berkomunikasi, bekerja,…

4 jam ago

Generasi Toleran: Revolusi Hati untuk masa depan yang Damai

Toleransi, sebuah kata yang sering kita dengar namun tak selalu kita pahami sepenuhnya. Di era…

2 hari ago

Menjaga Kecantikan dari Dalam: Akhlak sebagai Kunci Utama

Kecantikan sering kali diasosiasikan dengan penampilan fisik, seperti kulit bersih, tubuh ideal, atau wajah menarik.…

2 hari ago

Filosofi dan Singkatan Dari Huruf Santri

Menjelang Hari Santri Nasional (HSN) tahun 2024 ini, kontribusi santri sudah merebak di berbagai hal.…

2 hari ago

Mahasiswa KKN 78 Iain Kudus Berpartisipasi dalam Kegiatan Peringatan Maulid Nabi di Masjid/Mushola Desa Wandankemiri pada saat Bulan Mulud

Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW menjadi momen yang penuh berkah dan semangat kebersamaan di tengah…

3 hari ago

Mahasiswa KKN-MB 078 IAIN Kudus Gelar Kegiatan Jumat Berkah (Berbagi di Hari Jumat)

Mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) dari program KKN-Moderasi Beragama (KKN-MB) 078 IAIN Kudus yang bertempat…

3 hari ago