Kisah Wafatnya Imam Bukhori: Asing di Telinga Penguasa, Harum Namanya Dalam Dunia Pendidikan Islam

Imam Bukhori memiliki nama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Bukhari. Ulama` yang hidup pada abad kesembilan ini merupakan Ulama` ahli hadist yang terkenal pada masanya.

Siapa sangka ketenaran Imam Bukhari membawa cobaan yang besar di akhir hayatnya yang mendapat tekanan keras dari penguasa kota-kota muslim. Lebih tepatnya kota Naisabur, Bukhara, dan Samarkhan. Hal ini disebabkan Imam Bukhari menolak mengajarkan anak-anak mereka di istana. Beliau selalu berkata: “Ilmu itu didatangi. Bukan dibawakan ke pintu-pintu”. Di samping itu, ada fitnah yang ditimbulkan dari rasa iri sebagian orang terhadap Imam Bukhari karena ketenaran dan sejarah yang ditorehnya.

Ketika Imam Bukhari berumur 62 tahun, penguasa Naisabur memerintahkannya untuk keluar dari kota dan berkata bahwa keberadaannya tidak lagi diharapkan. Beliau pun meninggalkan Naisabur hingga sampai di tanah lahirnya, Bukhara. Sesampai di Bukhara, Imam Bukhori didatangi dengan orang berbondong-bondong menyambutnya di gerbang kota dengan harta dan gula. Masyarakat biasa, penuntut ilmu, dan sebagian ahli hadist berkumpul di sana meninggalkan majelis ahli hadis lain sehingga hal itu membuat panas hati sebagian orang.

Tetapi tidak berselang lama, ketenaran itu membuat murka penguasa Bukhara, di samping datangnya surat dari penguasa Naisabur bahwa Imam Bukhari harus segera diusir dari Bukhara sebagaimana beliau diusir sebelumnya dari Naisabur.

Utusan penguasa Bukhara sampai di depan rumah dan meminta Imam Bukhari untuk segera meninggalkan Kota. Perintahnya berbunyi “Sekarang juga” beliau harus keluar!.

Imam Bukhari bahkan tidak diberi waktu untuk sekedar mengumpulkan dan merapikan buku-bukunya. Beliau terpaksa keluar kemudian berkemah di perbatasan Kota selama tiga hari untuk merapikan buku-bukunya sedangkan beliau tidak tau entah mau pergi kemana.

Imam Bukhari akhirnya memutuskan berangkat ke arah Kota Samarkhan. Tidak sampai masuk ke Kota, beliau berbelok ke arah salah satu desa disekitarnya, desa Kartank. Bertamu kepada sebagian kerabatnya di sana. Kali ini beliau ditemani oleh Ibrahim bin Ma’qil.

Tetapi hal itu tidak berlangsung lama. Pengawal penguasa Samarkhan pun sampai di depan pintu rumah tempat Imam Bukhari bertamu.

Kali ini perintah dari penguasa Samakhan adalah: Imam Bukhari harus keluar dari Samarkhan dan desa-desa sekitarnya. Padahal saat itu adalah malam Idul Fitri. Sayangnya, beliau disuruh untuk keluar “Sekarang” bukan setelah Idul Fitri.

Imam Bukhari takut membuat masalah untuk kerabat yang sudah memuliakannya. Ibrahim bin Ma’qil merapikan buku beliau di salah satu tunggangan beliau dan menyiapkan tunggangan lainnya untuk Imam Bukhari.

Ibrahim bin Ma’qil kembali ke rumah, barulah Imam Bukhari keluar dalam keadaan terpaksa. Keduanya berjalan menuju tunggangan.

Setelah 20 langkah, Imam Bukhari merasakan letih yang amat sangat. Beliau meminta Ibnu Ma’qil menunggunya sebentar untuk beristirahat.

Imam Bukhari duduk di tepi jalan kemudian tertidur. Beberapa menit setelahnya, ketika Ibnu Ma’qil ingin menbangunkan beliau, ternyata ruh beliau sudah diangkat ke sisi Allah. Rahimahullah.

Imam Bukhari wafat di tepi jalan pada malam Idul Fitri, 1 Syawal 256H. Dalam keadaan terusir dari satu kota ke kota lain di usia tuanya, 62 tahun.

Hari ini, tidak ada yang mengenali nama penguasa Naisabur, Bukhara, dan Samarkhan ketika itu. Tetapi semua kenal dengan Imam Bukhari.

Semoga Allah merahmati Imam Bukhari dan mengangkat derajatnya di surga yang tinggi bersama para nabi, syuhada, dan orang-orang salih. Semoga bermanfaat

Diambil dari kitab Siyar A’lam An-Nubala 12/468

Anda mungkin juga suka.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *