Narasi

Zuhud Menurut Imam Al-Ghazali

Istilah Zuhud sangat lekat dengan Tasawuf. Zuhud juga bermakna, seseorang yang mampu meninggalkan kecintaan yang merujuk pada hal-hal bersifat dunia, membiarkan hati agar tidak terpengaruh oleh dunia. Sehingga seseorang mampu menyibukkan diri dengan perkara akhirat. Tidak sibuk dengan kegiatan duniawi yang akan mempengaruhi kedekatannya dengan Allah atau melupakan Allah.

Nabi Muhammad pernah mengimplementasikan zuhud. Dalam menjalankan kehidupan dunia, Beliau selalu menjadi sederhana. Berbagai literatur mengungkapkan, kehidupan beliau yang sederhana, tempat tidur yang ala kadarnya, rumah sederhana dan sebagainya.

Melaksanakan kezuhudan sangat dicintai oleh Allah SWT. Sebagaimana dalam hadis Arbain Nawawi no. 31 menjelaskan tentang Zuhud. Sikap Zuhud akan mempengaruhi seseorang dalam kesenangan duniawi, ia tidak akan memaksa diri sendiri mencari harta dengan meninggalkan akhirat.

Sikap Zuhud juga akan membawa ketenangan dalam hati seseorang. Karena jika manusia mencintai dunia dengan meninggalkan Allah, hatinya tidak nyaman dan akan selalu merasa resah dan kekurangan.

Rasa cinta duniawi tidak akan pernah habis dan tidak ada pernah selesai. Kemauannya akan terus meningkat, hidupnya tidak tenang, kemiskinan akan menghantuinya, takut akan kesengsaraan (harta) yang membayangi di setiap kedipnya akan membuat hidupnya berantakan.

Lain halnya ketika menempatkan akhirat sebagai tujuan hidup, tidak akan khawatir hidup miskin karena ada Allah yang membantunya. Hatinya akan kaya dan percaya akan kekuatan dana bantuan Allah.

Tanda Zuhud Perspektif Imam Al-Ghazali

Menurut Imam Al-Ghazali, salah satu ulama besar yang sangat terkenal karena keilmuannya di banyak bidang, ada tiga tanda kezuhudan seseorang yakni:

1. Tidak merasa terpengaruh dengan ada dan tidaknya harta

العلامة الأولى أن لا يفرح بموجود ولا يحزن على مفقود كما قال تعالى لكيلا تأسوا على ما فاتكم ولا تفرحوا بما آتاكم

Pertama, seseorang tidak merasa bangga atau tidak merasa sedih ketika dirinya kehilangan atau tidak punya harta. Hal ini karena ia percaya dengan Allah. Selain itu juga ada ayat Al-Qur’an dari Surat Al- Hadid ayat 23.

2. Tidak terlena dengan pujian maupun hinaan

العلامة الثانية أن يستوى عنده ذامه ومادحه

Bagi orang yang Zuhud Tidaka terpengaruh dengan hinaan dan pujian karena baginya sama saja.

3. Senang dekat dengan Allah SWT

العلامة الثالثة أن يكون أنسه بالله تعالى والغالب على قلبه حلاوة الطاعة

Seseorang yang Zuhud akan senang dengan Allah SWT karena merasakan akan nikmatnya Ibadah dalam jiwa dan hatinya.

Zuhud Bukan Menanggalkan Harta

Istilah Zuhud mempunyai banyak makna. Tetapi ia berkesimpulan, sikap yang melekat pada seseorang dengan mengutamakan akhirat (kecintaan pada Allah) dengan tidak meninggalkan dunia.

Kecintaan terhadap masa abadi yakni setelah kebangkitkan, bukan berarti menanggalkan harta, mengkosongkan genggaman tangan dari emas, rupiah, tidak bekerja dan sebagainya. Tidak. Itu sebagai pemaknaan yang keliru dan tidak tepat.

Bagaimana kehidupan akan berjalan, jika tidak mempunyai bekal satupun untuk melanjutkan kelangsungan hidup. Itu hanya akan menyengsarakan seseorang. Menurut Wakil Rais Syuriah PCNU Lampung, Gus Mubalighin Adnan, pernah menyampaikan, Zuhud menjadi pondasi dalam membangun akhirat.

Melansir dari Nu Online , tulisan Alhafidz Kurniawan yang berjudul Hakikat Zuhud Menurut Imam Al-Ghazali, masih banyak orang yang tidak tepat memaknai Zuhud. Bahkan, kekeliruan tersebut sudah populer di kalangan masyarakat. Padahal Zuhud bukan meninggalkan kehidupan yang sifatnya duniawi atau mencari harta. Namun, menyingkirkan harta dan tahta, pangkat dalam hati seseorang yang menjadikannya tinggi hati.

Makna Zuhud yang menurut Imam Al-Ghazali memiliki kekeliruan, ketika orang menyana Zuhud sebagai cara seseorang meninggalkan duniawi (harta) itu kurang tepat. Lantaran, berpenampilan jelek dengan menghilangkan benda-benda mewah menjadi hal yang mudah saja bagi seseorang yang berambisi untuk mendapatkan pujian sebagai orang Zahid (orang yang Zuhud disebut Zahid).

Beberapa fenomena, kelompok orang yang mampu makan sedikit setiap hari lalu hidup di rumah yang kecil tanpa pintu, terkadang mengharapkan dirinya dianggap sebagai kelompok Zuhud.

Padahal, mengharapkan labelitas sangat tidak diperbolehkan karena muncul rasa besar hati dalam dirinya. Bahkan sikap tersebut tidak sama sekali mencontohkan kezuhudan. Apalagi menginginkan ketenaran akan pengangkatan jiwa Zuhud oleh orang lain bukan lagi menjadi Zuhud.

Sumber Gambar: Bangkitmedia.com

Ayu Sugiarti

Recent Posts

Supporter Sepak bola : Wujud Nasionalisme Modern

Sepak bola lebih dari sekadar permainan di atas lapangan hijau. Di tribun stadion, supporter menjadi…

23 jam ago

Sakit Itu Mahal, Sehat Lebih Mahal Lagi (2)

Penyakit seperti diabetes, kanker, atau jantung memerlukan perawatan jangka panjang dengan biaya yang bisa mencapai…

2 hari ago

Sakit Itu Mahal, Sehat Lebih Mahal Lagi (1)

Di kehidupan yang sangat praktis ini, banyak makanan cepat saji yang beredar di sekitar kita.…

2 hari ago

Jaga Ucapanmu

Komunikasi adalah bagian penting dalam kehidupan manusia. Melalui ucapan, kita dapat menyuarakan berbagai ide, menyampaikan…

3 hari ago

Mencegah Radikalisme di Kampus: Peran Mahasiswa dalam Membangun Lingkungan Akademik yang Inklusif

Perguruan tinggi sebagai pusat pendidikan dan pengembangan intelektual, seharusnya menjadi benteng melawan paham radikalisme. Namun,…

3 hari ago

Es Teh Setiap Hari: Sehat atau Bahaya?

Minum es teh sudah menjadi kebiasaan bagi banyak orang di Indonesia. Segar, murah, dan mudah…

3 hari ago