Puluhan tahun lalu, Indonesia beruntun mengalami kasus radikalisme bermotif pengeboman atas nama agama untuk kepentingan kelompok di berbagai wilayah. Namun, pemerintah mengambil tindakan untuk mencegah tragedi yang hampir selalu melayangkan nyawa orang tak bersalah.
Menurut Presiden keempat Indonesia, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, menyampaikan, fenomena tersebut muncul dari gerakan yang mempunyai keperluan golongannya sendiri. Beliau memberikan karakter yang dapat membaca gestur kelompok radikalisme dalam menggambarkan perspektif keislaman mereka dari keumuman muslim lainnya.
Bagaimana kaum pemikiran radikal terhadap Islam juga dapat diprediksi dengan bagaimana cara mereka menghadapi sekaligus menyelesaikan permasalahan zaman. Gus Dur pernah menyampaikan pada “Islamic Fundamentalis, A Shouteast Asean Perspective” tentang faktor yang menciptakan radikalisme Islam.
Diantaranya, bagaimana seorang muslim yang tidak mampu mengintegrasikan sistem pendidikan, usaha ekonomi, struktur keluarga hingga pengaplikasian sistem politik dan aspirasi Islam dalam kehidupan bernegara secara modern. Atas ketidakmampuan itu, akan memunculkan ketidakpuasan dan ketidaksetujuan seseorang untuk menempatkan dirinya pada posisi “kalah”.
Kebanyakan mereka memahami sebagai bentuk kehilangan ruang spiritual dalam hidup. Lalu sikap radikalisme menjadi alasan untuk mengambil jalan pintas dalam pelarian. Harapannya, mendapatkan kembali kemenangan atas bayang-bayang “kekalahan” pada benak pikirannya.
Implementasi sikap tersebut membawa pada penolakan sistem bernegara modern yang mengacu pada ideologi bangsa. Misalnya, Pancasila. Penerjemahan Islam secara tekstual memandang sesuatu yang keluar dari nilai-nilai Islam merupakan “kekufuran”. Selain itu juga, sebagai jawaban ketidakmampuan mereka menyatukan ajaran, nilai dan konsep Islam pada tatanan masyarakat dari berbagai ranah.
Kondisi ini, menurut Gus Dur, membentuk cara pandang mereka dalam memposisikan dirinya sebagai orang yang kalah. Lalu menganggap, kondisi itu membawa Islam dalam ancaman. Sehingga, ingin menegakkan idealisme Islam dengan menolak sistem bernegara dan sosial yang modern.
Namun, upaya mereka dalam menegakkan nilai-nilai Islam begitu dalam. Hingga mengharuskan berbagai sistem negara di Indonesia harus sesuai Islami yang pernah mengalami kejayaan seperti membangun khilafah bukan demokrasi.
Menukil dari buku Syaiful Arif dengan judul “Islam, Pancasila dan Deradikalisasi Meneguhkan Nilai Keindonesiaan”, terdapat tiga ciri-ciri yang membedakan pola pikir orang yang radikal dan moderat terhadap implementasi nilai keislaman secara nasional.
Perbedaan yang berkaitan dengan unsur negara yang menyinggung nilai keislaman. Pertama, radikalisme Islam berpemikiran idealistik sedangkan moderatisme berpemikiran realistik.
Kedua, pemikir radikal berprinsip melalui pendekatan integralistik dengan dalih “Bersama Islam untuk Islam”. Adapun bagi pemikir moderat melalui pendekatan yang prinsipil yakni “Dari Islam untuk Bangsa”.
Terakhir, radikalisme Islam mempunyai hipotesis-operatif yang menjadikan Islam sebagai aspirasi. Sedangkan moderatisme menggunakan sumber-inspiratif yang mengangkat Islam sebagai Inspirasi bukan aspirasi.
Kasus radikalisme yang familiar, bagaimana terjadi kasus pengeboman dan bom bunuh diri. Meskipun per 2018 hingga 2023 aksi peneroran sudah mengalami penurunan. Sebagaimana Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Republik Indonesia (BNPT) Republik Indonesia menyampaikan presentasi turunnya mencapai 89%.
Namun harus tetap meningkatkan penjagaannya. Terus meningkatkan kewaspadaan. Keberhasilan jangan menjadi celah bagi pemikir radikal karena kelalaian. Penyusupan radikal sangat sensitif dan akan sulit terdeteksi apabila berjalan dengan menyalurkan ideologi secara sembunyi-sembunyi.
Sumber Gambar: lpma’arifnujateng.or.id
Sepak bola lebih dari sekadar permainan di atas lapangan hijau. Di tribun stadion, supporter menjadi…
Penyakit seperti diabetes, kanker, atau jantung memerlukan perawatan jangka panjang dengan biaya yang bisa mencapai…
Di kehidupan yang sangat praktis ini, banyak makanan cepat saji yang beredar di sekitar kita.…
Komunikasi adalah bagian penting dalam kehidupan manusia. Melalui ucapan, kita dapat menyuarakan berbagai ide, menyampaikan…
Perguruan tinggi sebagai pusat pendidikan dan pengembangan intelektual, seharusnya menjadi benteng melawan paham radikalisme. Namun,…
Minum es teh sudah menjadi kebiasaan bagi banyak orang di Indonesia. Segar, murah, dan mudah…