Narasi

Pentingnya Memiliki Sifat Ikhlas

santrimillenial.id – Keikhlasan merupakan salah satu pokok di antara pokok-pokok agama ini, bahkan ia merupakan poros dan sendi agama ini. Karena agama ini ada atas dasar realisasi ibadah yang merupakan tujuan penciptaan manusia, sementara hakikat ibadah itu sendiri tidak akan ada kecuali besertaan dengan ikhlas. Keikhlasan dalam ibadah itu, ibarat ruh dalam jasad. Jasad tanpa ruh menjadi bangkai yang tidak bernilai.

Amalan tanpa keikhlasan tiada artinya


Demikian pula amalan, jika seseorang melakukan tanpa keikhlasan maka tidak ada nilainya, bahkan suatu amalan tidak termasuk amal shalih tanpa keikhlasan. Banyak dalil, baik dari al-Qur’ân maupun sunnah yang mengajak untuk selalu ikhlas. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah kepada Allâh dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus [al-Bayyinah/98:5]
Dan firman Allâh Azza wa Jalla :

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Katakanlah, “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku, “Bahwa sesungguhnya Rabb kamu itu adalah Rabb Yang Esa”. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Rabbnya.” [al-Kahfi/18:110]
Pada ayat pertama di atas, Allâh Azza wa Jalla menjelaskan bahwa Dia k tidak memerintah hamba-Nya kecuali untuk mengikhlaskan ketaatan. Ini mencakup ikhlas dalam seluruh cabang keimanan yang Allâh Azza wa Jalla syariatkan seperti dalam i’tiqâd (keyakinan), perkataan, dan perbuatan. Sedangkan pada ayat kedua Allâh Azza wa Jalla melarang perbuatan syirik yang merupakan lawan dari ikhlas. Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga menjelaskan bahwa pahala Allâh bagi mereka yang bertemu Allâh Azza wa Jalla pada hari kiamat dalam keadaan mengikhlaskan amalan mereka, bersih dari noda-noda syirik, serta mengikuti sunnah Nabi-Nya dalam amalan tersebut.

Amal tanpa niat tidak sah



Penetapan tentang ikhlas juga ada dalam dalam sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dalam hadits yang terkenal dari Umar bin Khathab Radhiyallahu anhu yang merupakan riwayat Imam Bukhâri dan Muslim, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ, وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى, فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيْبُهَا, أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا, فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Sesungguhnya sahnya setiap amalan harus beserta niat. Dan sesungguhnya setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Barangsiapa hijrahnya untuk mendapatkan dunia atau untuk wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang ia berhijrah kepadanya.
Jadi, hadits ini menjelaskan tentang hukum syar’i yaitu baik buruknya suatu amalan terganutung baik dan buruknya niat.”

Oleh karena itulah, para Ulama salaf mengagungkan kedudukan hadits ini dan menyadari keagungan kandungannya. Ada sebuah kisah, suatu ketika Yazîd bin Hârun menyebutkan hadits ini di hadapan Imam Ahmad rahimahullah, maka imam Ahmad berkata kepadanya, “Wahai Abu Khâlid leher ini (menjadi taruhannya). Ibnu ‘Abdil Bar berkata, “Ini memberikan konsekuensi bahwa setiap amalan tanpa adanya niat berarti tidak sah.”

Perhatian ulama’ salaf terhadap keikhlasan



Karena keikhlasan mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dalam agama, maka keikhlasan juga merupakan karakteristik manhaj salaf yang paling nampak. Di mana, keikhlasan merupakan fokus perhatian mereka, bahkan mewujudkan keikhlasan merupakan maksud dan tujuan tertinggi mereka.

Oleh karena itu, sangat banyak perkataan dan ungkapan mereka yang menjelaskan tentang keikhlasan itu, baik yang berkait dengan hakikatnya, anjuran agar ikhlas, atau berupa peringatan dari lawan keikhlasan yaitu syirik dan riya’. Termasuk juga nukilan dari kisah mereka yang menakjubkan dalam merealisasikan keikhlasan.

Di antara perkataan mereka tentang hakikat keikhlasan adalah sebagai berikut :

• Abu Idris rahimahullah berkata, “Seseorang tidak akan bisa mencapai hakikat ikhlas sampai ia tidak suka pujian dari seorang pun atas amalan yang ia kerjakan untuk Allâh Azza wa Jalla ”

• Al-Fudhail rahimahullah berkata, “Meninggalkan amalan karena manusia adalah riya’, dan mengerjakan suatu amalan karena manusia adalalah syirik. Ikhlas adalah jika Allâh Azza wa Jalla menyelamatkanmu dari keduanya.”

• Imam as-Syâfi’i rahimahullah berkata, “Seandainya engkau mengerahkan seluruh kemampuanmu untuk menjadikan semua manusia ridha maka tidak ada jalan untuk mewujudkannya. Jika demikian, maka ikhlaskanlah amalan dan niatmu hanya untuk Allâh Azza wa Jalla semata.”.

Dorongan berbuat ikhlas dan besar pahalanya di sisi Allah



Di antara hal yang memotivasi untuk merealisasikan keikhlasan adalah balasan yang Allâh Azza wa Jalla sediakan berupa pahala yang besar pada hari kiamat nanti. Allâh Azza wa Jalla berfirman.

وَمَا تُجْزَوْنَ إِلَّا مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ ﴿٣٩﴾ إِلَّا عِبَادَ اللَّهِ الْمُخْلَصِينَ ﴿٤٠﴾ أُولَٰئِكَ لَهُمْ رِزْقٌ مَعْلُومٌ ﴿٤١﴾ فَوَاكِهُ ۖ وَهُمْ مُكْرَمُونَ ﴿٤٢﴾ فِي جَنَّاتِ النَّعِيمِ ﴿٤٣﴾ عَلَىٰ سُرُرٍ مُتَقَابِلِينَ ﴿٤٤﴾ يُطَافُ عَلَيْهِمْ بِكَأْسٍ مِنْ مَعِينٍ
“Dan kamu tidak diberi pembalasan melainkan terhadap kejahatan yang telah kamu kerjakan. Tetapi hamba-hamba Allâh Azza wa Jalla yang dibersihkan (dari dosa), mereka itu memperoleh rezki yang tertentu, yaitu buah buahan. Dan mereka adalah orang-orang yang mulia. Di dalam surga-surga yang penuh ni’mat. Di atas tahta-tahta kebesaran berhadap-hadapan. Diedarkan kepada mereka gelas yang berisi khamar dari sungai yang mengalir.” [ash-Shaffât/37:39-45]
Itulah pahala bagi orang yang berbuat ikhlas, yaitu orang-orang yang memurnikan amal-amal mereka hanya untuk Allâh Azza wa Jalla . Makna ini berdasarkan qirâ’ah (bacaan) yang mengkasrah huruf laam pada kata al-mukhlishin. Dan ini adalah qirâ’ah yang mutawatir. Beberapa para Ulama yang membaca dengan cara ini adalah Imam Ibnu Katsîr, Abu ‘Umar, Ibnu ‘Amir dan Ya’qûb.

Buah keikhlasan



Termasuk buah keikhlasan dan keberkahannya adalah kesungguh-sungguhan pelakunya dalam melakukan ketaatan akan mendapatkan pahala, meskipun amalnya kurang atau tidak mampu beramal. Oleh karena itulah Yahya bin Katsîr berkata, “Pelajarilah niat, karena sesungguhnya ia lebih mendasar daripada amalan itu sendiri.”

Sementara kehilangan keikhlasan akan menyebabkan pelakunya tetap berdosa, meskipun ia mengerjakan amalan yang paling utama. Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla telah memberikan ancaman bagi orang-orang yang berbuat riya’ dalam shalatnya, dengan firman-Nya :

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (5) الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ (6) وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. (Yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya. Orang-orang yang berbuat riya’. Dan enggan (menolong dengan) barang berguna.” [al-Mâ’ûn/107: 4-7]
Renungkanlah ! Bagaimana Allâh Azza wa Jalla mengancam orang-orang yang riya’ dalam shalatnya, padahal shalat itu amalan yang sangat utama, dan mempunyaai kedudukan yang agung dalam agama.

Buah keikhlasan di dunia



Salah satu buah keikhlasan di dunia adalah Allâh Azza wa Jalla akan menjaga pelakunya dari perkara-perkara keji dan maksiat. Sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla tentang kisah Nabi Yûsuf.

كَذَٰلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ ۚ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ
“Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih”. [Yûsuf/12:24].
Ini menurut qirâ’ah Ibnu Katsîr, Abu ‘Umar, Ibnu ‘Âmir, dan Ya’qûb, di mana mereka membaca dengan mengkasrah huruf lâm. Berdasarkan qira’ah ini, penjagaan Allâh Azza wa Jalla kepada Nabi-Nya Yûsuf dari kekejian karena sebab keikhlasan amalannya kepada Allâh SWT.

Pencegah perbuatan riya’



Perkara yang menjadi pencegah terkuat dari perbuatan riya’ adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih. Yang merupakan riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ، رَجُلٌ اسْتَشْهَدَ فَأُتِيَ بِهِ، فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا؟ قَالَ: قَاتَلْتُ فِيْكَ حَتَى اسْتَشْهَدْتُ، قَالَ: كَذَبْتَ، لَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لِأَنْ يُقَالَ: جَرِيْءٌ، فَقَدْ قِيْلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ. وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ، وَقَرَأَ الْقُرْآنَ، فَأُتِيَ بِهِ، فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا فَعَلْتَ فِيْهَا؟ قَالَ: تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيْكَ الْقُرْآنَ، قَالَ: كَذَبْتَ، لَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ: عَالِمٌ وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ: هُوَ قَارِئٌ، فَقَدْ قِيْلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ. وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ، فَأُتِيَ بِهِ، فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا؟ قَالَ: مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيْلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيْهَا إِلاَّ أَنْفَقْتُ فِيْهَا لَكَ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ: هُوَ جَوَّادٌ، فَقَدْ قِيْلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ.

Yang pertamakali dihisab


Sesungguhnya manusia pertama yang akan mendapat hisab pada hari kiamat adalah seorang lelaki yang mati syahid. Dia datang (ke hadapan Allâh Azza wa Jalla ), lalu Allâh Azza wa Jalla mengingatkan nikmat-nikmat-Nya, maka diapun mengakuinya. Allâh Azza wa Jalla berfirman, “Lalu apa yang kamu perbuat dengan nikmat-nikmat tersebut?” dia menjawab, “Aku berperang di jalan-Mu sampai aku mati syahid.” Allâh Azza wa Jalla berfirman, “Kamu bohong, akan tetapi kamu berperang agar kamu dikatakan pemberani, dan kamu telah dikatakan seperti itu (di dunia).” Kemudian diperintahkan agar dia diseret di atas wajahnya sampai dia dilemparkan masuk ke neraka.

Orang kedua


Dan (orang kedua adalah) seseorang yang mempelajari ilmu (agama), mengajarkannya, dan dia membaca (menghafal) al-Qur`ân. Dia datang lalu Allâh Azza wa Jalla mengingatkan nikmat-nikmat-Nya maka diapun mengakuinya. Allâh Azza wa Jalla berfirman, “Lalu apa yang kamu perbuat padanya?”. Dia menjawab, “Aku mempelajari ilmu (agama), mengajarkannya, dan aku membaca al-Qur`ân karena-Mu.” Allâh Azza wa Jalla berfirman, “Kamu bohong, akan tetapi kamu menuntut ilmu agar kamu dikatakan seorang alim dan kamu membaca al-Qur`ân agar orang menyebut qâri` dan kamu telah seperti itu (di dunia).” Kemudian diperintahkan agar dia diseret di atas wajahnya sampai dia dilemparkan ke neraka.

Orang ketiga


Dan (yang ketiga adalah) seseorang yang ber keluasan (harta) oleh Allâh Azza wa Jalla. Dan Dia memberikan kepadanya semua jenis harta. Dia datang lalu Allâh Azza wa Jalla mengingatkan nikmat-nikmatNya maka dia mengakuinya. Allâh Azza wa Jalla berfirman, “Lalu apa yang kamu perbuat padanya?”. Dia menjawab, “Aku tidak menyisakan satu jalanpun yang Engkau senang kalau ada yang berinfak di situ kecuali aku berinfak karena-Mu.” Allâh Azza wa Jalla berfirman. “Kamu bohong, akan tetapi kamu melakukan itu agar terlihat dermawan, dan kamu telah seperti itu (di dunia).” Kemudian Allah SWT memerintahkan agar dia diseret di atas wajahnya sampai dia dilemparkan ke neraka.”

Hendaklah orang yang berakal memperhatikan dan merenungkan. Bagaimana orang-orang yang memiliki amalan-amalan yang besar itu, justru yang paling awal masuk ke neraka ? Karena mereka tidak ikhlas dalam amalan mereka dan ingin mendapat pujian manusia.

Hal yang perlu menjadi bahan renungan adalah apa yang tersebut dalam hadits itu. Bahwa ketiga orang tersebut telah mendapatkan pujian manusia yang mereka inginkan. Kita perlu memperhatikan agar tidak tertipu dengan pujian manusia. Sesungguhnya yang menjadi tolak ukur adalah niat dalam hati.

Oleh:Al ma’ruf PP Salaf APIK Kaliwungu

Al Maruf

Recent Posts

Teknologi Digital: Penyelamat atau Penjerat?

Teknologi digital sudah merambah pada setiap aspek kehidupan kita. Mulai dari cara kita berkomunikasi, bekerja,…

8 jam ago

Generasi Toleran: Revolusi Hati untuk masa depan yang Damai

Toleransi, sebuah kata yang sering kita dengar namun tak selalu kita pahami sepenuhnya. Di era…

2 hari ago

Menjaga Kecantikan dari Dalam: Akhlak sebagai Kunci Utama

Kecantikan sering kali diasosiasikan dengan penampilan fisik, seperti kulit bersih, tubuh ideal, atau wajah menarik.…

2 hari ago

Filosofi dan Singkatan Dari Huruf Santri

Menjelang Hari Santri Nasional (HSN) tahun 2024 ini, kontribusi santri sudah merebak di berbagai hal.…

2 hari ago

Mahasiswa KKN 78 Iain Kudus Berpartisipasi dalam Kegiatan Peringatan Maulid Nabi di Masjid/Mushola Desa Wandankemiri pada saat Bulan Mulud

Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW menjadi momen yang penuh berkah dan semangat kebersamaan di tengah…

3 hari ago

Mahasiswa KKN-MB 078 IAIN Kudus Gelar Kegiatan Jumat Berkah (Berbagi di Hari Jumat)

Mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) dari program KKN-Moderasi Beragama (KKN-MB) 078 IAIN Kudus yang bertempat…

3 hari ago