Narasi

Arah Poligami Nabi Menurut Syekh Ali ash-Shabuni

Nabi Muhammad Saw semasa hidupnya sudah memperistri hingga berjumlah sekitar 11 orang. Beliau berpoligami tidak bertujuan untuk menikmati nafsunya, namun mempunyai tujuan-tujuan tertentu salah satunya untuk menyebarkan agama Islam.


Namun, jejak poligami yang Nabi Muhammad lakukan menjadi salah satu celah para orientalis maupun orang-orang yang ingin menghancurkan Islam, dengan menghina. Mereka mengambil alasan, poligami Nabi menggambarkan manusia biasa yang mempunyai nafsu birahi yang tinggi. Sehingga tidak cukup hanya dengan satu wanita.


Gagasan tersebut bisa dibantah, ketika Nabi memperistri Khodijah, beliau setia, tiidak menikah dengan siapapun. Salah satu mufassir modern asal Syuriah, Muhammad Ali Ash-Shabuni juga memberikan beberapa pandangan terhadap poligami Nabi Muhammad.


Dalam kitab tafsirnya, Mukhtasar Tafsir Ayatil Ahkam, Muhammad Ali Ash-Shabuni menuliskan, Nabi Muhammad mempraktikkan poligami ketika sudah berusia 50 tahun. Kemudian, apabila Nabi Muhammad hanya ingin memenuhi nafsu birahinya, bagaimana mungkin menikahi para janda kecuali Sayyidah Aisyah r.a.


Mengapa beliau tidak memilih para perawan yang bisa Rasullullah nikahi atas kemauan dirinya. Dengan bekal label Rasullullah, para sahabat tentu tidak boleh menentangnya. Namun berbeda dengan sikap bijaksananya. Sehingga anggapan tersebut sulit diterima oleh akal sehat.

Pandangan Syekh Ali Ash-Shabuni pada Poligami Nabi


Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni, dalam tafsir karangannya, Tafsir Ayatil Ahkam, menjabarkan berbagai hikmah terhadap praktik poligami Nabi Muhammad Saw. Diantaranya hikmah dari segi tasyri, sosial, pelajaran dan politik.


Pertama, dari segi pembelajaran. Nabi Muhammad Saw menikahi beberapa wanita untuk mencetak perempuan konsultan hukum syariat khususnya tentang keperempuanan. Hal itu juga menghindari rasa malu ketika wanita ingin bertanya secara langsung.


Andai kata persoalan antar wanita dibahas sesama jenis, akan lebih mudah memahamkan dan jelas terhadap tata cara yang ingin lebih diperjelas. Misalnya, problematik haid, nifas, kekeluargaan, jinabah dan sebagainya.

Segi Sosial


Kedua, aspek sosial. Ketika Nabi Muhammad Saw menikahi wanita, beliau mampu menghubungkan kerekatan kekeluargaan terhadap para sahabat. Contoh ketika Rasulullah menikahi anak Abu Bakar, Aisyah binti Abu Bakar dan putri Umar bin Khattab, Hafshah binti Umar bin Khattab.


Keduanya, merupakan sahabat terdekat beliau, orang-orang terdepan yang siap membela Nabi. Selain itu juga Abu Bakar dan Umar merupakan sosok yanag berpengaruh dalam lingkungan Makkah. Mereka yang awalnya sahabat menjadi keluarga menjadi lebih dekat dan kuat dalam menyiarkan Islam.

Poligami dari Aspek Tasyri’


Ketiga, aspek tasyri’. Poligami yang Nabi Muhammad Saw lakukan mempunyai tujuan krusial. Salah satunya terhadap nilai tasyri’. Hukum yang berkaitan dengan perintah Allah melalui ayat Al Qur’an maupun Sunnah Nabi.


Misalnya, pembatalan tradisi orang jahiliah yang mengakui dan memperlakukan segala hal (waris, pernikahan, talak) kepada anak adopsi sebagaimana anak kandung. Namun hal tersebut mendapat lurusan dari Allah SWT dengan Kisah nabi yang mengadopsi Zaid bin Haritsah sebagai anak angkat.


Ketika Nabi menjodohkan Zaid dengan Zainab binti Jahsyi, mereka tidak lama bersama. Mereka bercerai, kemudian Allah memerintahkan Rasulullah untuk menikahi Zainab. Hal tersebut mengingatkan kebiasaan yang kurang tepat dalam memperlakukan hukum terhadap tradisi yang sama antara anak kandung dengan anak angkat.


Tradisi Arab waktu itu, Nabi tidak boleh menikahi istri dari anak adopsi karena menganggap sebagai anak kandung. Namun, Allah menegur mereka dengan kisah Nabi melalui firman-nya pada Q.S Al Ahzab ayat 38.

Arah Politik


Terakhir dari segi politik. Proses poligami Nabi menjadi cara untuk memperbanyak keluarga di berbagai suku. Menjalin kekeluargaan dengan menikah akan lebih kuat, apalagi untuk memperjuangkan agama Islam pada waktu itu. Sehingga mampu berdakwah lebih leluasa tanpa sekat.


Perempuan yang Nabi nikahi misalnya, dengan Ummu Habibah binti Abu Sufyan. Sebelumnya, Abu Sufyan sangat membenci Nabi Muhammad Saw. Tetapi Ummu Habibah telah masuk Islam terlebih dahulu. Bahkan, ia mengikuti hijrah ke Habasyah bersama suaminya, Ubaidillah bin Jahsy dan para sahabat.


Namun ketika kembali ke Makkah, sang suami meninggal dunia, lalu Nabi menikahinya. Abu Sufyan kala itu merestui dan kemudian masuk Islam. Abu Sufyan juga mempunyai peran kuat untuk mengajak orang lain masuk Islam.


Gambar: bengkulutoday.com

Ayu Sugiarti

Recent Posts

Supporter Sepak bola : Wujud Nasionalisme Modern

Sepak bola lebih dari sekadar permainan di atas lapangan hijau. Di tribun stadion, supporter menjadi…

22 jam ago

Sakit Itu Mahal, Sehat Lebih Mahal Lagi (2)

Penyakit seperti diabetes, kanker, atau jantung memerlukan perawatan jangka panjang dengan biaya yang bisa mencapai…

2 hari ago

Sakit Itu Mahal, Sehat Lebih Mahal Lagi (1)

Di kehidupan yang sangat praktis ini, banyak makanan cepat saji yang beredar di sekitar kita.…

2 hari ago

Jaga Ucapanmu

Komunikasi adalah bagian penting dalam kehidupan manusia. Melalui ucapan, kita dapat menyuarakan berbagai ide, menyampaikan…

3 hari ago

Mencegah Radikalisme di Kampus: Peran Mahasiswa dalam Membangun Lingkungan Akademik yang Inklusif

Perguruan tinggi sebagai pusat pendidikan dan pengembangan intelektual, seharusnya menjadi benteng melawan paham radikalisme. Namun,…

3 hari ago

Es Teh Setiap Hari: Sehat atau Bahaya?

Minum es teh sudah menjadi kebiasaan bagi banyak orang di Indonesia. Segar, murah, dan mudah…

3 hari ago