Narasi

Nietzsche; Tuhan Telah Mati? (Bagian 2)

Kematian Tuhan, Kebebasan Manusia?

Perlunya kebebasan dari segala nilai dan nuansa yang akomodatif bagi setiap individu. Karna sejak saat itu, Tuhan tidak akomodatif dan aspiratif bahkan dianggap menakutkan karna selalu mengawasi setiap kegiatan manusia, sehingga kebebasan ekspresif manusia terbelenggu.

Nietzsche sadar bahwa tiap individu harus bebas dari belenggu intervensi ilahi dan nilai-nilai menuju kehidupan tanpa nilai, karena kehidupan tanpa nilai itulah yang menjadi syarat tetap untuk mewujudkan hidup penuh makna.

Pemikiran Nietzsche acapkali dihubungkan dengan Nihilisme. Pemahaman yang menjelaskan tentang bagaimana individu berupaya melepaskan kecanduannya pada siapapun atau pada apapun kecuali pada diri sendiri.

Berbeda dengan pola pikir masyarakat modernis saat mendengar ungkapan tersebut, mereka hanya bisa tertawa dan mengejek. Karna kematian Tuhan adalah hal yang sepele dan bukan peristiwa yang perlu dikhawatirkan. Kaum modernis menertawakan iman kaum religius dan membuktikan bahwa sains yang lebih hebat dan membebaskan dari kebodohan zaman

Nietzsche percaya bahwa Tuhan di Alkitab tidak memiliki benteng dalam masyarakat kontemporer. Manusia menjadi terlalu “pintar” dan “tahu” untuk kebaikannya sendiri dan hal ini menyebabkan kemerosotan moral dan kreativitas.

Ungkapan Nietzsche tentang “Tuhan sudah mati” akan menyebabkan kurangnya rasa hormat terhadap figur otoritas. Orang-orang juga tidak akan merasa percaya diri atau merasa aman dalam mengandalkan orang lain untuk memimpin mereka, hal tersebut juga mengakibatkan banyaknya kekerasan dan kekacauan dalam masyarakat.

Di era yang serba digital ini, konsep tentang “Tuhan sudah mati” akan digantikan oleh Ateisme, Seni ataupun Humanisme. Gerakan-gerakan seperti itu berusaha menggabungkan elemen akal, seni dan spiritualisme menjadi satu kekuatan daripada mengandalkan kekuatan atau sosok pencipta.

Kritiknya terhadap agama mungkin relevan saat ini, dimana masih banyak agama yang menjanjikan kebahagiaan. kekayaan dll. Seakan umat hanya diperbudak dengan kenyamanan dan membuang segala akal sehat yang diberikan Tuhan untuk kita. Kita selalu buta dalam beragama, menjatuhkan segala perbincangan teologis dan apologetika. Agama seakan hanya sebuah formalitas dan tiket untuk masuk “Surga”, juga sebagai mesin yang otomatis membuat kita bahagia di dunia.

Diperlukannya nalar kritis dalam semua hal, tak terkecuali agama. Sekarang ini banyak bermunculan teori-teori yang tidak masuk akal dari para pemuka agama. Alih-alih membahas tentang sistem ketuhanan dan filsafat agama, suguhan yang diberikan malah hal yang masih perlu dipertanyakan.

Lalu, apakah kita hanya selalu duduk dan tunduk pada doktrin-doktrin seperti ini?

Hava Haniva Ariantara

Recent Posts

Supporter Sepak bola : Wujud Nasionalisme Modern

Sepak bola lebih dari sekadar permainan di atas lapangan hijau. Di tribun stadion, supporter menjadi…

20 jam ago

Sakit Itu Mahal, Sehat Lebih Mahal Lagi (2)

Penyakit seperti diabetes, kanker, atau jantung memerlukan perawatan jangka panjang dengan biaya yang bisa mencapai…

2 hari ago

Sakit Itu Mahal, Sehat Lebih Mahal Lagi (1)

Di kehidupan yang sangat praktis ini, banyak makanan cepat saji yang beredar di sekitar kita.…

2 hari ago

Jaga Ucapanmu

Komunikasi adalah bagian penting dalam kehidupan manusia. Melalui ucapan, kita dapat menyuarakan berbagai ide, menyampaikan…

3 hari ago

Mencegah Radikalisme di Kampus: Peran Mahasiswa dalam Membangun Lingkungan Akademik yang Inklusif

Perguruan tinggi sebagai pusat pendidikan dan pengembangan intelektual, seharusnya menjadi benteng melawan paham radikalisme. Namun,…

3 hari ago

Es Teh Setiap Hari: Sehat atau Bahaya?

Minum es teh sudah menjadi kebiasaan bagi banyak orang di Indonesia. Segar, murah, dan mudah…

3 hari ago