santrimillenial.id – Aku memiliki seorang adik kecil yang usianya hampir masuk dua tahun. Waktu kuperhatikan sedikit-sedikit ia sering kali menangis akibat keinginannya yang tidak terpenuhi. Ketika kutelusuri, akibat dari tangisnya pun hanya gara-gara masalah kecil menurutku. Terkadang ia menangis karena ingin makan, buang hajat, ataupun sekedar ingin tidur.
Ketika mulai beranjak sedikit dewasa, rasa inginnya pun semakin bertambah untuk melakukan berbagai hal. Apabila ia suka dengan sesuatu, terkadang selalu saja dilakukan tanpa pernah memikirkan efek sampingnya. Dia tidak mengerti jika yang dilakukan itu akan berdampak buruk padanya. Alhasil, ia pun terluka akibat ulah yang dibuatnya.
Sebagai orang tua harus selalu peduli untuk memperhatikan mana yang baik dan buruk untuk buah hatinya. Karena dari didikan orang tua inilah yang nantinya akan menentukan seperti apa sikap dari anaknya. Waktu kuangan-angan lebih jauh lagi, ternyata di balik tangisan si kecil akibat tidak terpenuhi keinginannya tersebut menyimpan sebuah pelajaran yang sangat berharga.
Hal tersebut menjadi sebuah gambaran dari hawa nafsu yang tumbuh dalam diri setiap manusia. Setiap manusia memiliki peliharaan anak kecil yang masyhur dikenal dengan sebutan hawa nafsu. Hawa nafsu itu seperti anak kecil yang selalu saja ingin dipenuhi segala keinginannya. Jika tidak dikendalikan, akhirnya pun ia yang akan berkuasa mengendalikan diri setiap manusia. Di dalam kitab Qasidah Burdah, Imam al-Bushiri menjelaskan dalam sebuah syi’ir,
وَالنّفْسُ كَالطّفِلِ إِنْ تُهْمِلْهُ شَبَّ عَلَى ۞ حُبِّ الرَّضَاعِ وَإِنْ تَفْطِمْهُ يَنْفَطِمِ
Artinya: “Nafsu ibarat anak kecil yang masih menyusu (minum asi) apabila tidak dilatih (sapih) maka hingga dewasa pun akan tetap seperti anak kecil yang masih menyusu.”
Dalam syi’ir tersebut, Imam al-Bushiri menggambarkan bahwa nafsu itu seperti anak kecil yang masih menyusu. Anak kecil tersebut tidak akan pernah berhenti menyusu jika dari pihak orang tua tidak menghentikannya. Awalnya, ketika anak tersebut dipaksa untuk berhenti menyusu pasti menangis. Ia menangis karena tidak dapat memuaskan keinginannya. Sebagai orang tua harus selalu bijak mengarahkan yang terbaik bagi anaknya. Tidak apa membiarkan anak menangis dengan tujuan untuk kebaikannya. Dari pada membiarkan anak senang tapi akhirnya menderita.
Hawa nafsu pun sama, ketika kita memaksa diri kita untuk tidak menurutinya pasti ia akan menangis seperti anak kecil. Kita harus bisa menjadi seperti orang tua yang bijak dalam mendidik anaknya agar mampu mengendalikan diri jika setiap kali hawa nafsu memerintahkan pada kejahatan. Karena melakukan perbuatan jahat memanglah kerjaan dari hawa nafsu. Hal ini senada dengan firman Allah dalam surah Yusuf ayat 53,
إِنَّ ٱلنَّفْسَ لَأَمَّارَةٌۢ بِٱلسُّوٓء
Artinya: “…Karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan..” (QS. Yusuf 12: Ayat 53)
Kita tidak perlu heran ketika ada seseorang yang melakukan perbuatan jahat. Karena memang semua orang memiliki hawa nafsu yang selalu memerintahkan dalam kejahatan. Saat ini telah banyak sekali kasus pelecehan seksual yang telah menyebar di dunia pesantren. Penyebabnya adalah karena mereka tak mampu untuk mengendalikan hawa nafsunya. Baik seorang santri, bahkan kiai sekalipun dapat kalah ketika telah berhadapan dengan masalah nafsu ini. Sebelum menjadikan pesantren pendidikan tempat yang ramah dengan anak, alangkah baiknya bisa mendidik hawa nafsu yang ada dalam diri dahulu. Karena hawa nafsu merupakan musuh yang selalu ingin menang untuk menguasai diri setiap manusia.
Di dalam kitab Tambihul Ghofilin terdapat sebuah kisah menarik untuk dijadikan pelajaran agar kita bisa mengendalikan hawa nafsu. Terdapat seorang ulama bernama Syekh Barseso. Ia merupakan seorang ahli ibadah yang akhirnya meninggal dalam keadaan su’ul khotimah. Hal ini berawal dari bujukan setan untuk menuruti keinginan hawa nafsunya. Karena kalah dalam mengendalikan hawa nafsu, ia pun melakukan hal-hal keji yang dilarang oleh agama. Setingkat Syekh Barseso seorang ahli ibadah yang telah bertahun-tahun lamanya pun juga dapat kalah untuk menghadapi hawa nafsunya.
Saat ini telah banyak sekali kasus pelecehan seksual dilakukan oleh seorang santri yang telah memasuki usia remaja. Maraknya kasus pelecehan seksual ini berawal dari rasa saling suka antar lawan jenis. Bagi siswa yang jauh dari ajaran agama melakukan hal tersebut mungkin wajar karena ia belum paham kalau itu dilarang. Tapi santri, seseorang yang telah belajar syariat agama setiap hari, tempatnya juga dipisah antara putra dan putri, kenapa juga bisa ikut melakukan padahal sudah tahu kalau itu dilarang? Padahal, jika santri melakukan hal tersebut justru siksaannya akan jauh lebih berat dibandingkan dengan siswa yang kurang paham dalam pembelajaran ilmu agama.
Nabi Muhammad SAW pernah bersabda melalui sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani. Sebagaimana yang disebutkan dalam kitab at-Targhib wa at-Tarhib karya Imam al-Mundziri,
وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اَلزَّبَانِيَةُ أَسْرَعُ اِلَى فَسَقَةِ الْقُرَّاءِ مِنْهُمْ اِلَى عَبَدَ ةِ الْاَوْثَانِ. فَيَقُوْلُوْنَ يُبْدَأُبِنَاقَبْلَ عَبَدَةِ الْاَوْثَانِ؟ فَيُقَالُ لَهُمْ لَيْسَ مَنْ يَعْلَمُ كَمَنْ لَا يَعْلَمُ
Artinya: “Nabi Muhammad ﷺ bersabda, “Para malaikat zabaniyah lebih mempercepat menyiksa para ulama yang fasik dari pada menyiksa orang-orang musyrik penyembah berhala. Maka bertanya para ulama yang fasik itu: “Mengapa kami yang didahulukan sebelum orang-orang penyembah berhala? Lalu dijawab pada ulama fasik itu; tidaklah orang-orang yang tahu itu seperti orang-orang yang tidak tahu.”
Lalu apa yang bisa menjamin seseorang mampu melawan hawa nafsu jika mereka yang berkecimpung dalam dunia agama juga dapat terjerumus di dalamnya? Hanya ilmu, seseorang dapat selalu istiqomah melakukan kebaikan jika memang sebuah ilmu agama telah tertanam dengan erat pada dirinya. Jika sebuah ilmu telah tertancap dalam diri, maka ketika ingin melakukan perbuatan buruk pasti ia akan selalu takut.
Dalam kitab Lujain ad-Dani, sebuah kitab tipis karangan Syaikh Husein bin Abdul Karim bin Muhammad yang menceritakan tentang kisah Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani. Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa suatu ketika Syekh Abdul Qadir Al-Jilani pernah dikagetkan dengan datangnya cahaya yang memenuhi langit secara tiba-tiba. Setelah itu muncul sebuah suara tanpa ada wujud yang mengaku Tuhan. Suara tersebut menjelaskan bahwa Syekh Abdul Qadir Al-Jilani itu telah dihalalkan melakukan semua hal-hal yang awalnya diharamkan padanya.
Lalu, setelah itu Syekh Abdul Qadir Al-Jilani memohon perlindungan pada Allah dari godaan setan yang terkutuk dan berucap “Hancurlah engkau wahai yang dilaknati!”. Setelah itu langit pun kembali gelap dan dipenuhi dengan asap. Dari langit tersebut pun kembali muncul suara yang menjelaskan bahwa Syekh Abdul Qadir Al-Jilani telah selamat dari godaan setan akibat ilmu agama yang telah tertanam pada dirinya. Karena Syekh Abdul Qadir Al-Jilani paham bahwa Allah tidak pernah memerintahkan hamba-Nya untuk melakukan hal-hal yang diharamkan.
Sering kali seseorang melakukan perbuatan buruk secara diam-diam tanpa diketahui siapapun. Ia santai-santai saja karena merasa tidak ada yang melihatnya. Padahal, Allah selalu mengetahui segala hal yang dilakukan oleh hamba-Nya meskipun dalam keadaan gelap sekalipun. Hal tersebut tidak akan pernah terjadi pada orang yang dirinya telah dipenuhi ilmu agama. Ia pasti akan merasa malu pada Allah SWT ketika melakukan hal-hal yang dilarang meskipun di tempat sepi tidak ada yang melihatnya.
Dalam urusan hawa nafsu, hanya ilmu agama yang mampu mengendalikannya. Tanpa adanya ilmu, semua orang pasti akan selalu melakukan segala hal sesuai dengan keinginan hawa nafsunya. Maka dari itu, kita harus selalu belajar menjadi seperti orang tua yang bijak dalam mendidik anak agar bisa mendidik hawa nafsu dalam diri kita. Ketika anak sudah besar dan sukses, orang tua pasti akan ikut menikmati hasilnya. Begitu pun dengan hawa nafsu, kita akan menjadi sangat mulia apabila mampu selalu istiqomah mendidiknya. Karena dengan hawa nafsu yang terdidik dapat menjadi sebuah kunci agar kita bisa menjadi orang yang sukses, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Oleh: Muhammad Sholihul Huda, PP Mansajul Ulum, Pati.
Sepak bola lebih dari sekadar permainan di atas lapangan hijau. Di tribun stadion, supporter menjadi…
Penyakit seperti diabetes, kanker, atau jantung memerlukan perawatan jangka panjang dengan biaya yang bisa mencapai…
Di kehidupan yang sangat praktis ini, banyak makanan cepat saji yang beredar di sekitar kita.…
Komunikasi adalah bagian penting dalam kehidupan manusia. Melalui ucapan, kita dapat menyuarakan berbagai ide, menyampaikan…
Perguruan tinggi sebagai pusat pendidikan dan pengembangan intelektual, seharusnya menjadi benteng melawan paham radikalisme. Namun,…
Minum es teh sudah menjadi kebiasaan bagi banyak orang di Indonesia. Segar, murah, dan mudah…