Teologi Lingkungan Dalam Pemikiran Sayyed Hossein Nasr

Ilustrasi teologi lingkungan

Teologi lingkungan hadir di dunia modern sebagai jawaban atas persoalan masalah lingkungan yang melanda sejak lama. Kerusakan alam akibat kerakusan manusia menimbulkan bencana untuk manusia sendiri. Lantaran keseimbangan bumi mulai goyah.

Alternatif dalam menyelesaikan problematika lingkungan yakni dengan menyadarkan individu dan cara pandang untuk mengelola alam. Salah satunya agama. Ia dapat berkontribusi mengingatkan ketersalingan makhluk supaya tidak berlebihan apalagi mengeksploitasi lingkungan.

Salah satu intelektual yang memberi gagasan tentang Teologi Lingkungan ialah Seyyed Hossein Nasr. Seorang teolog kelahiran 7 April 1933 di Kota Teheran Iran itu secara umum mengungkapkan krisis lingkungan oleh kesalahan manusia modern dalam memandang dunia.

Manusia modern bersifat rakus dan memandang dunia hanya sebagai objek ilmiah. Perkembangan juga menyebabkan hilangnya dimensi esoteris (rahasia dan terbatas). Sayyed Hossein Nasr kemudian memberikan solusi melalui pemahaman alam sebagai “Teofani”.

Ekoteologi

Ekoteologi bagian dari pemahaman yang mengintergrasikan keilmuan antara ilmu alam dan ilmu ketuhanan melalui nilai-nilai keagamaan yang tertulis dalam kitab dan pendukung lainnya. Seyyed Hossein Nasr menghubungkan aspek-aspek ekologi dan lingkungan dengan pandangan dan nilai-nilai agama, terutama dalam konteks Islam.

Seyyed Hossein Nasr menggagas ekoteologi yang bertonggak pada khalifah sebagai definisi pengganti, pemimpin atau wakil. Dalam hal ini manusia berperan pengganti atau wakil tuhan di muka bumi.

Penguat memaknai khalifah tersurat dalam Surah Al-Baqarah ayat 30

وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ ِانِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةً ۗ قَالُوْٓا اَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُّفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاۤءَۚ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۗ قَالَ اِنِّيْٓ اَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata:”Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”

Ayat tersebut dengan jelas, bahwa Allah SWT telah menggariskan dari awal akan mengutus seorang perwakilan yang akan memimpin bumi. Dalam memimpin tersebut harapan besarnya menjaga dan tidak merusak bumi.

Konsepsi Teologi Lingkungan Nasr

Banyak orang sepakat bahwa nalar antroposentrisme salah satu biang kerok munculnya krisis lingkungan. Bagi penganut pandangan antroposentrisme, nilai tertinggi dan paling menentukan dalam tatanan ekosistem adalah manusia dan kepentingannya.

Seyyed Hossein Nasr mengakui bahwa ada sikap  arogansi manusia terhadap alam. Salah satu bukunya Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (1968), ia mengatakan bahwa saat karyanya itu ditulis krisis ekologi sudah terjadi sebagai akibat dari ketamakan manusia dalam “memperkosa” alam.

Melanggengnya krisis ekologi juga akibat dari gaya hidup saintisme. Artinya, tumbuh kepercayaan bahwa hanya sainslah satu satunya parameter ilmu pengetahuan serta parameter kebenaran atau kepercayaan yang menganggap bahwa hanya sainslah yang bisa serta berhak mengungkapkan semua hal karena metodologinya paling valid.

Seyyed Hossein Nasr memberikan pengetahuan mengenai kepedulian manusia terhadap alam. Secara garis besar pemahaman alam dalam agama yakni perwujudan tuhan, ketika merusak alam sama halnya merusak hubungan manusia dengan Sang Pencipta.

Tuhan sebagai Pusat Kosmos

Pandangan ketuhanan dalam Islam menurut Seyyed Hossein Nasr, realitas tertinggi  hanya pada tuhan yang mempunyai kualitas empat dzat dasar yakni Yang Awal, Yang Akhir, Yang Dzahir dan Yang Batin. Terdapat dalam surah Al-Hadid ayat 3

هُوَ الْاَوَّلُ وَالْاٰخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُۚ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ

 “Dialah yang Awal dan yang Akhir, yang Dzhahir dan yang Batin; dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.”

Atribut tersebut mengandung arti yang berhubungan dengan realitas tertinggi: Yang Batin dan Yang Dzahir, Pusat dan Lingkaran. Manusia religius memandang tuhan sebagai Yang Batin. Sedangkan manusia yang kehilangan dimensi terbatas hanya memandang Dzahir saja.

Mengutip dari artikel Irwandra, bertajuk “Konsepsi Tuhan dalam Kesemestaan Menurut Seyyed Hossein Nasr”, Nasr meyakini bahwa dalam diri-Nya ada sifat Transenden (diluar kesanggupan manusia). Di sisi lain, tuhan mempuyai zat yang munazzah; bersih dari dan tidak dapat diserupakan dengan alam, jauh dari dan tinggi di atas segala sifat dan segala keterbatasan dan keterikatan.

Seyyed Hossein Nasr menjelaskan bahwa Tuhan dipandang sebagai Realitas Imanen (pemikiran) atas setiap ciptaan-ciptaan-Nya. Pada tingkat ekspresi-Nya melalui nama-nama, sifat-sifat dan penampakan diri-Nya dalam bentuk-bentuk alam,

Tuhan adalah musyabbah, serupa dengan makhluk-makhluk-Nya pada tingkat tertentu. Tuhan juga “Yang Menampakkan Diri” (Mutajalli) walaupun dalam kadar yang paling kecil dengan “lokus penampakkan diri” (majla) yaitu alam.

Seyyed Hossein Nasr lalu merinci penjelasan pada pola hubungan Tuhan, manusia dan alam semesta, yang menurutnya sebagai hubungan yang saling meliputi. Hubungan manusia di bumi sebagai kholifah sebagaimana dijelaskan dalam Q.S Al-Baqarah ayat 30.

Alam sebagai Teofani

Teofani secara umum bermakna  peristiwa penampakan sosok ilahi kepada manusia. Istilah ini sebagai penyebutan penampakan dewa-dewi dalam agama-agama Yunani dan Timur pada Abad Kuno. Kemudian Seyyed Hossein Nasr mengkolaborasikan istilah tersebut dengan memberikan pemahaman terkait eksistensi manusia, alam dan Tuhan.

Ketiga elemen tersebut saling berkaitan. Ketika manusia dihadapkan dengan alam, ia tidak memandang sebatas alam secara nyata namun memahami bagaimana alam mempunyai nilai sifat-sifat ilahi. Tuhan adalah Pusat sedangkan alam dan manusia merupakan manifestasi dari sifat-sifat Tuhan. Itulah esensi dari ajaran tauhid di mana alam, manusia dan Tuhan diramu dalam relasi yang holistik (keseluruhan).

Melalui kerangka ini, Nasr sebetulnya hendak mengajak kita untuk merenungkan bahwa hakikat manusia adalah bagian integral (kesatuan) dari alam, sedangkan alam semesta adalah cerminan dari kekuasaan Ilahi. Maka dalam konteks inilah, menempuh langkah untuk berdamai dan hidup harmoni dengan alam adalah jalan yang terbaik.

Sebab bagi Seyyed Hossein Nasr, tak akan ada kedamaian antar manusia kecuali tercipta kedamaian dan harmonisitas dengan alam. Agar semua itu terwujud maka manusia harus berharmoni dengan sumber dan asal-usul makhluk. Siapa pun yang berdamai dengan Tuhan, ia juga akan berdamai dengan ciptaan-Nya; dengan alam dan manusia.

Krisis Lingkungan di Indonesia

Dalam beberapa bulan terakhir, Indonesia khususnya di pulau Jawa mengalami krisis lingkungan, mulai dari penumpukan sampah yang berlebihan, polusi udara hingga iklim yang ekstrem yakni suhu panas yang meningkat.

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan total produksi sampah nasional tersebut, 65.71% (13.9 juta ton) dapat terkelola, sedangkan sisanya 34,29% (7,2 juta ton) belum terkelola dengan baik. Semestinya dengan perubahan yang terjadi di bumi, menjadi refleksi bersama dalam menjaga dan lebih peduli terhadap lingkungan.

Isu krisis lingkungan perlu menjadi perhatian setiap agama sekalipun modernitas memudarkan kepercayaan kita terhadap penanganan krisis lingkungan pada taraf membahagiakan manusia. Akan tetapi dalam banyak kasus, agama memotivasi individu dan kelompok dalam masyarakat untuk berpartisipasi dalam proyek-proyek lingkungan serta mendukung upaya-upaya yang berkelanjutan.

Krisis lingkungan yang terjadi, berkaitan dengan pemikiran dari Seyyed Hossein Nasr, menjadikan refleksi kembali bagi masyarakat secara meluas. Hakikatnya sebagai manusia memiliki tugas dalam menjaga kestabilan alam. Selain itu juga memperhatikan dampak panjang, sehingga tidak menggunakan alam sekitar secara berlebihan.

Menumbuhkan kembali kepedulian terhadap alam, ini menjadi hal yang semestinya dilakukan oleh setiap manusia. Sikap sebagai khalifah, yang disampaikan oleh Seyyed Hossein Nasr ini dengan tegas mestinya kembali ditanamkan. Sehingga mampu mengimplementasikan pemimpin yang bijak, tidak melakukan hal yang berlebihan sehingga dapat menyebabkan kerusakan lingkungan yang lebih parah. 

Referensi:

Irwandra, “Konsepsi Tuhan dalam Kesemestaan Menurut Seyyed Hossein Nasr”, dalam Jurnal Ushuluddin, Vol. XVII No. 1, Januari 2011, 3.

Seyyed Hossein Nasr, Menjelajah Dunia Modern: Bimbingan untuk Kaum Muda Muslim, terj. Hasti Tarekat (Bandung: Mizan, 1994), 37-38.

Seyyed Hossein Nasr, Intelegensi dan Spiritualitas Agama-Agama (Depok: Inisiasi Press, 2004), 201.

Afifudin, Ridho,  Muammal Rully S, Fajar “Sintesis Teologi Lingkungan: Perbandingan Pemikiran Seyyed Hossein Nasr Dan Joseph Sittler”, jurnal agama dan perubahan sosial, (Kediri: IAIN KEDIRI, 2023), hal. 102. 

Anda mungkin juga suka.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *