Keberadaan Tuhan menurut Hamzah Al-Fansuri

Hamzah Fansuri termasuk dalam mazhab sufi dan merupakan tokoh terkemuka dalam penafsiran sufi wahdat al-wujūd (pada dasarnya filsafat sufi). Pemikiran beliau dipengaruhi oleh Ibn Arabi. Hamzah Fansuri dipandang sebagai kaum sufi wujudiyah (gagasan panteistik tentang Tuhan) yang berbeda dengan kaum sufi ortodoks dan praktik sufistik kaum muslim umumnya. Gagasan sufistik Hamzah Fansuri lebih menekankan pada sifat imanensi Tuhan dalam makhluk-Nya daripada sifat transendensi-Nya.

Ide-ide monistik Hamzah Fansuri diperluas pada masa pemerintahan Iskandar Muda dan menjadi inti utama ajaran. Hamzah sendiri awalnya adalah anggota Tarekat Qodiriyah Arab, dan kemudian banyak pula ulama Melayu-Indonesia yang bergabung dalam tarekat tersebut. Hamzah al-Fansuri langsung mengaitkan dirinya dengan ajaran sufi Arab dan Persia lainnya, yaitu Abu Yazid Bustami, Mansur al-Hallaj, Fariduddin Attar, Junayd al-Baghdadi, Ahmad al-Ghazali, Jalal al-Din al-Rumi, Al-Maghribi, Mahmud Shabistari, Irak dan Jami. Diantaranya al-Buthami dan al-Hallaj adalah idola Hamzah Fansuri dalam cinta (‘isyq) dan ma’rifat. Ia juga sering mengutip pidato dan puisi Ibnu Arabi dan orang Irak untuk mendukung gagasan Tasaufnya.

Pandangan Hamzah yang paling terkenal adalah Wujudiyah. Wujudiyah merupakan ideologi sufi yang bersumber dari pemahaman wahdah al-wujūd Ibnu Arabi yang meyakini bahwa alam adalah perwujudan (tajalli) Tuhan yang artinya hanya ada satu wujud, yaitu wujud Tuhan, Yang diciptakan Tuhan (termasuk alam dan segala isinya) sebenarnya tidak mempunyai bentuk.

Ajaran wujudiyah Hamzah Fansuri dapat diringkaskan sebagai berikut:

  1. Pada hakekatnya zat dan wujud Tuhan sama dengan zat dan wujud alam
  2. Tajalli alam dari zat dan wujud Tuhan pada tataran awal adalah Nur Muhammad yang pada hakekatnya adalah Nur Tuhan.
  3. Nur Muhammad adalah sumber segala khalq Allah (ciptaan Tuhan), yang pada hakekatnya khalq Allah itu juga zat dan wujud Allah.
  4. Manusia sebagai mikrokosmos harus berusaha mencapai kebersamaan dengan Tuhan dengan jalan tark al-dunya, yaitu menghilangkan keterikatannya dengan dunia dan meningkatkan kerinduan kepada mati.
  5. Usaha manusia tersebut harus dipimpin oleh guru yang berilmu sempurna
  6. Manusia yang berhasil mencapai kebersamaan dengan Tuhan adalah manusia yang telah mencapai ma’rifat yang sebenar-benarnya, yang telah berhasil mencapai taraf ketiadaan diri (fana’ fi Allah).

Gagasan inilah yang membuat para penentang Hamzah al-Fansuri menuduh dia dan para pengikutnya sebagai panteis sehingga menyimpang dan sesat ke dalam Islam yang sejati. Akibatnya, ajaran dan ajaran Hamzah fansuri sering dianggap sebagai ajaran sufi yang sesat atau heterodoks (bid’ah), berbeda dengan ajaran sufi Sunni (ortodoks). Terdapat asumsi bahwa Islam sufistik terutama wujudiyah Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumaterani tidak hanya tersebar di lingkungan istana Aceh, tetapi juga berkembang di berbagai daerah Nusantara.

Hamzah Fansuri memulai ajaran tasawufnya dengan mengatakan bahwa Tuhan adalah Dzat yang Maha Suci dan Maha Tinggi yang menciptakan manusia. Hamzah Fansuri mengatakan:

“Ketahuilah, hai segala kamu anak Adam yang Islam, bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala menjadikan kita, dari pada tiada diadakannya; dan dari pada tiada bernama diberi nama; dan dari pada tiada berupa diberi berupa; lengkap dengan telinga, dengan hati, dengan nyawa, dengan budi. Yogya kita cari Tuhan kita ini supaya kita kenal dengan makrifat kita atau dengan khidmat kita kepada guru yang sempurna mengenal dia supaya jangan taqhsir kita”.      

Dari ungkapan di atas, ada dua pandangan esensial Hamzah Fansuri, yaitu pertama, tentang keberadaan Tuhan dianggap memiliki posisi sangat Tinggi dan Suci di hadapan manusia (maluq). Kedua, seorang salik (pejalan tasawuf) harus melalui seorang guru/Syeikh yang dapat membimbing dan mengantarkan si salik untuk dapat menemukan Tuhannya (ma’rifatullah).

Dalam salah satu syairnya, Hamzah Fansuri mengatakan:

Cahayanya-Nya terlalu nyarak

Dengan rupa kita yang banyak

Ia juga takur dan arak

Jangan kau cari jauh, hai anak.           

Hamzah Fansuri melihat bahwa wujud itu hanya satu walaupun terlihat berbilang (banyak). Dari wujud yang satu ini ada yang merupakan kulit (madzhar, kenyataan lahir) dan ada yang berupa isi (kenyataan batin). Semua benda di dunia ini sebenarnya merupakan pancaran (manifestasi/tajalliyat) dari yang hakiki, yang disebut al-Haqq Ta’ala (Allah Swt. itu sendiri). Ia menggambarkan wujud Tuhan bagaikan lautan dalam yang tak bergerak. Sedangkan alam semesta ini merupakan gelombang lautan wujud Tuhan. Pengaliran dari Dzat yang Mutlak ini diumpamakan gerak ombak yang menimbulkan uap, asap, dan awan, yang kemudian menjadi dunia gejala.

Kemudian segala sesuatu kembali lagi pada Tuhan (taraqqi), yang digambarkan sebagai uap, asap, awan, lalu hujan dan sungai, dan kembali lagi ke lautan. Ajaran Hamzah Fansuri inilah yang kemudian mendapat pertentangan dari para ulama sufi Sunni Nusantara.            

Hamzah Fansuri dikenal dengan pemikiran wujudiyah, yang ia uraikan secara rinci dalam karyanya Zinat al-Wahidin. Ia mencoba memaparkan gagasannya tentang wujud melalui prinsip ontologis wujudiyah, melalui tahapan la ta’ayyun, tajalli dan ta’ayyun.

Pada tahap pertama, lata’ayyun menjelaskan bahwa hakikat ketuhanan itu tidak nyata karena tidak dapat dijangkau melalui pemikiran, pengetahuan, dan pemahaman manusia. Tahapan ini kemudian berlanjut ke tahap tajalli yang artinya Allah telah menganugerahkan ilmu tentang hakikat-Nya dengan menciptakan manusia dan alam semesta agar Dia dapat diketahui. Kemudian tahap Ta’Ayun merupakan tahap akhir untuk benar-benar mencapai hakikat Tuhan, dan manusia dapat mengetahui hakikat Tuhan melalui penciptaan manusia dan alam semesta. Konsep mengakui keberadaan atau keberadaan entitas Allah direduksi terminologinya menjadi analogi dengan ajaran sufinya.

Pemikirannya untuk sampai kepada tahapan ta’ayyun tersebut, Hamzah Fansuri membaginya kepada lima martabat. Selanjutnya inilah yang dikenal dengan ajaran “martabat lima” yang berkenaan dengan konsep tajalli al-Haqq. Hamzah Fansuri memandang bahwa Allah bertajalli dalam lima martabat yang dikenal dengan ajaran martabat lima tersebut yaitu:

  1. Martabat La Ta’ayyun. Tahapan pertama menempatkan akal budi manusia tidak mampu memahami dan mengetahuiNya. Martabat Ta’ayyum Awwal/Ahad/Wahid (Entifikasi Pertama). Tahapan ini memahami bahwa zat Allah berada dalam keesaanNya (ahad), namun jika disertakan sifatNya maka dinamakan wahid. Dalam tahapan ini mencakup aspek ilm, wujud, syuhud dan nur.
  2. Martabat Ta’ayyun Tsani (Entifikasi Kedua). Dalam tahapan martabat ini diketahui bahwa alam mencakup entitas permanen, bentuk-bentuk pengetahuan, hakikat sesuatu, atau ruh yang tertambat
  3. Martabat Ta’ayyun Tsalis (Entifikasi Ketiga) Dalam martabat ini mencakup realitas ruh insan, ruh hewan, dan ruh tumbuhan.
  4. Martabat Ta’ayyun Rabiwa Khamis (Entifikasi Keempat dan Kelima). Pada martabat ini segala sesuatu telah berbentuk fisik atau memiliki wujud, seperti dunia dan segala makhluk serta isinya. Tahap ini merupakan tahap penciptaan yang tiada akhir, sebab bila tidak ada penciptaan maka dipahami bahwa tuhan bukan merupakan pencipta.

Konsep martabat lima ingin menunjukkan bahwa tidak ada wujud kecuali wujud Allah. Eksistensi Allah tidak dapat dikonsepsikan oleh akal manusia, eksistensiNya tidak terikat oleh eksistensi lainnya. Dia dalam dirinya tidak memiliki sifat apapun, tidak kulli maupun juz’i tidak khas maupun am. Sementara itu, eksistensi selainNya terikat dengan eksistensiNya, dari Yang Esa lalu menjadi banyak dan tidak dapat dijelaskan kecuali hanya dengan konsep tajalli Allah.

Anda mungkin juga suka.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *