Terjemahan Kitab “Fash al-Maqal fi Ma Baina al-Hikmah wa as-Syari’ah min al-Ittishal”

santrimillenial.idBab Hari Kebangkitan (Al Ma’ad)

Jika ditanyakan:  Setelah menjadi jelas bahwa syariat mempunyai tiga kelompok makna. Maka di antara ketiganya, kelompok makna manakah yang menurut anda dapat memberi penjelasan tentang sifat dan gambaran Hari Kebangkitan dan situasinya?

Maka kita menjawab: persoalannya jelas, masalah ini termasuk kelompok makna yang diperselisihkan. Sebab, kami mendapati sekelompok orang mengidentifikasikan dirinya sebagai ahli Burhan menyatakan bahwa permasalahan ini harus diartikan sesuai dengan makna lahiriyahnya. Karena pembuktian melalui metode Burhan tidak akan membawa kesimpulan yang memustahilkan pegangan makna secara lahiriyah. Ini adalah pandangan madzhab Asyariyah.

Sementara itu, sekelompok pemikir lainnya yang menekuni metode Burhan melakukan takwil terhadapnya, sekalipun di antara mereka sendiri terjadi variasi pentakwilan. Dalam kelompok ini ada Abu Hamid Al Ghazali dan para penganut sufistif. Namun ada pula yang mencoba mensitesakan kedua interpretasi itu sebagaimana yang dilakukan Abu Hamid Al Ghazali dalam kitabnya.

Jadi, tampaknya seorang ulama yang melakukan kesalahan dalam permasalahan ini dapatlah dimaafkan. Sedangkan yang benar patut disyukuri dan mendapat pahala, selama ia sendiri mengakui hari kebangkitan itu dan melakukan interpretasi berkenan dengan sifat hari kebangkitan itu dan tidak pada eksistensi keberadaannya. Juga selama pentakwilan yang dilakukannya tidak membawa pada penafian akan keberadaan hari kebangkitan itu sendiri.

Sikap mengingkari keberadaan hari kebangkitan adalah suatu kekafiran, karena masalah ini termasuk prinsip-prinsip syariat, yang penerimaan kebenarannya dapat dilakukan melalui ketiga metode pembuktian yang mampu dilakukan setiap orang, baik orang merah dan orang hitam.

Orang yang ahli ilmu harus memahaminya sesuai dengan makna lahiriyah (tekstual), dan untuk dirinya takwil adalah sesuatu kekafiran, karena bisa menjerumuskan. Oleh sebab ituah kami berpendapat, orang yang memang kapasitasnya mengimani lahiriayh, akan menemui kekafiran apabila menemui pentakwilan, karena pentakwilan ini aan menjerumuskan kepada kekafiran yang selanjutnya. Ahli takwil yang membeberkan takwilannya kepada orang lain (yang bukan ahli takwil), berarti telah mendorong kepada kekafiran, sedangkan orang yang mendorong kepada kekafiran itu sendiri berarti ia seorang kafir.

Karena itulah takwil – takwil harus diletakkan dalam kitab kitab Burhan saja, sebab dengan diletakkannya takwil- takwil itu dalam kitab-kitab Burhan, hanya ahli burhanlah yang mampu menjangkaunya. Tetapi bila takwil-takwil itu diletakkan tidak pada kitab-kitab Burhan dan di uraikan dengan mempergunakan metode puitik (syi’riyyah) dan retorik (khatabiyyah) atau dialektik (jadaliyyah), sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Hamid Al-Ghazali, maka hal itu jelas akan menimbulkan ancaman terhadap syariat maupun filsafat, sekalipun semata-mata ia bermaksud baik.

Sebab, sekalipun dengan cara seperti itu ia bertujuan memperbanyak jumlah ahli ilmu yang menjadi bertambah, melainkan orang yang merusaklah yang semakin banyak. Sebagai akibatnya, muncul kelompok-kelompok yang mencela filsafat, mencela syariat, namun adapula kelompok yang mencoba mensitesakan keduanya. Tampaknya, cara yang terakhirlah yang dituju oleh Abu Hamid Al-Ghazali dalam kitab-kitabnya.

Yang menjadi bukti bahwa Al-Ghazali berkepentingan untuk menggugah pemikiran adalah bahwa dalam kitab-kitabnya itu ia tidak pernah mengikat diri dengan suatu madzhab (school of thought) tertentu. Ia akan menjadi penvgikut Asy’ari jika berada dalam madzhab Asy’ari, menjadi sufi bila bersama kaum sufi, menjadi filsuf bila bersama para filsuf. Al-Ghazali ini dapat diumpamakan dalam sebait syair:

Suatu hari aku menjadi orang Yaman

Apabila aku bertemu dengan orang Yaman,

Namun aku akan menjadi orang Adnan

Apabila aku bertemu dengan orang Ma’addi.

Yang harus dilakukan oleh para penguasa kaum muslimin adalah mencegah kitab-kitab Al-Ghazali yang memuat takwil-takwil itu untuk dipelajari kecuali oleh orang-orang yang termasuk ahli ilmu, sebagaimana pula mereka harus melarang kitab-kitab Burhan dipelajari orang-orang yang tidak termasuk ahli Burhan, sekalipum resiko bahaya yang ditimbulkan oleh kitab-kitab Burhan itu relatif lebih ringan. Sebab, orang-orang yang menyempatkan diri untuk mempelajari kitab-kitab Burhan hanyalah mereka yang secara alamiah mempunyai kelebihan, hanya saja mereka ini tidak ditunjang dengan kemampuan intelektual yang cukup, bacaan secara teratur, dan guru pembimbing yang layak. Namun melarang kitab-kitab itu begitu saja, jelas mengahalangi apa yang telah diserukan oleh syariat sendiri, karna pelarangan itu merupakan kezaliman terhadap kelompok utama manusia, dan juga pelarangan terhadap yang paling urama dari segala wujud yang ada.

Bersikap adil terhadap kelompok paling utama dari segala wujud menuntut agar ia benar-benar dipahami secara esensial oleh mereka yang memiliki kesiapan (mental dan intelektual) untuk mendalaminya, dan mereka inilah kelompok manusia yang paling utama. Semakin agung nilai wujud itu, semakin besarlah nilai kezaliman yang dilakukan terhadapnya, berupa ketidakpahaman terhadapnya. Karna itulah Allah SWT berfirman:

Sesungguhnya syirik adalah suatu kezaliman yang maha besar.

Inilah yang dalam pandangan kami harus segera diperjelas dalam proses penalaran semacam ini, yakni dalam pembicaraan mengenai hubungan antara syariat dan filsafat, dan hukum-hukum takwil dalam syariat.

Seandainya bukan karena telah menyebarluasnya persoalan itu di tengah kehidupan orang banyak dan ramainya masalah-masalah yang telah kami uraikan itu dibicarakan orang, tentulah kami tidak akan menyusahkan diri untuk menulis pembahasan mengenai hal itu, atau mengajukan suatu alasan kepada ahli takwil. Sebab, sebenarnya masalah-masalah ini hanya boleh ditulis dalam kitab-kitab Burhan. Dan Allah-lah Maha Pemberi petunjuk dan Pembimbing kepada kebenaran.

Anda mungkin juga suka.