Sejarah Munculnya Peringatan Orang yang Meninggal

santrimillenial.id – Seringkali kita melihat tradisi pemeluk Islam-Jawa setelah meninggalnya seseorang mengadakan peringatan kematian. Hal ini dilakukan menjelang 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1 tahun, 2 tahun, 1000 hari, dan haul untuk setiap tahunnya. Tujuan dari peringatan tersebut dikarenakan pada waktu itu keadaan si mayat mengalami perubahan baik secara fisik biologis maupun rohani.

Berdasarkan Keputusan Muktamar NU ke-1 (21 Oktober 1926), pada permasalahan yang ke-18. Dalam kitab Ahkam al-Fuqoha’, dijelaskan bahwa hari-hari tersebut tidak bisa dijadikan patokan untuk menentukan waktu dari peringatan orang yang meninggal. Dalam keputusan tersebut dinyatakan bahwa jika penyediaan makanan dikaitkan dengan hari-hari tertentu secara khusus, maka hukumnya makruh, meskipun hal tersebut tidak sedikit pun membuat pahalanya berkurang.

Sejarah Kemunculan

Melangsir dari buku Dunia Mistik Orang Jawa, bahwa sejarah mulanya peringatan di hari-hari tersebut berawal dari kepercayaan orang asli Jawi (Tiang Pasek). Hal ini dilakukan untuk memuja dan memuliakan para roh. Dan seiring Islam masuk ke Jawa, ritual tersebut tidak dihilangkan, hanya saja dalam tradisi tersebut akhirnya diberi corak Islami.

Dalam riwayat lain juga diceritakan bahwa peringatan kematian tersebut berasal dari tradisi sosial religi bangsa Campa Muslim (Mendiami kawasan Vietnam Selatan sampai mengalami pengusiran sekitar tahun 1446 dan 1471 M). Salah satu tokoh yang menyebarkan tradisi muslim Campa tersebut adalah Sunan Ampel. Lalu diteruskan oleh murid-muridnya, seperti Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Gunung Jati dan sebagainya.

Tradisi muslim Campa ini sebenarnya diwarisi dari kultur kaum Muslim kawasan Turkistan, Persia, Bukhara dan Samarkand. Dari wilayah tersebut lah awal mula Islam berkembang di Indo-Cina, termasuk Campa yang sejak abad ke-10 M.

Tradisi yang tersimpan dalam Islam Campa ini sangat beragam, di antaranya adalah tradisi haul, perayaan hari Asyura, maulid nabi, nisfu sya’ban, rebo wekasan, larangan hajat di bulan Muharram dan lain sebagainya.

Bagi masyarakat Jawa asli yang menganut ajaran Hindu Budha, tradisi peringatan setelah kematian sebenarnya hampir tidak ada. Jika kita lihat di negara India yang sebagai negara terbesar pemeluk agama Hindu di dunia, atau negara China yang sekarang menduduki jumlah pemeluk agama Buddha terbanyak di dunia. Kita tidak akan menemukan tradisi serupa seperti yang dilakukan oleh orang Islam-Jawa.

Tradisi di Jawa

Dalam tradisi Jawa, upacara peringatan terhadap orang meninggal disebut sraddha, yaitu upacara peringatan terhadap orang meninggal yang dilakukan pada tahun Jawa ke-12 (sekitar 11,5 tahun Masehi) dari kematian. Tetapi dalam naskah-naskah Jawa, upacara tersebut hanya disebutkan dilakukan oleh Prabu Hayam Wuruk (Nagarakretagama pupuh 2/1, dan pupuh 63-67). Upacara ini dilaksanakan pada bulan Badra (bulan purnama) tahun Jawa 1284 atau 1362 M.

Sebelum datangnya Islam ke Indonesia sebenarnya masyarakat Jawa tidak mengenal peringatan kematian yang lain, sampai akhirnya datanglah tradisi Islam dari Campa yang dipengaruhi oleh tradisi Persia dan Samarkand.

Dalam kitab-kitab salaf sebenarnya juga sudah dijelaskan mengenai peringatan setelah kematian ini. Imam Suyuti dalam kitab al-Hawi li al-Fatawi menjelaskan
“Orang yang meninggal dunia diuji selama 7 hari di dalam kubur mereka. Maka kemudian kalangan salaf mensunnahkan bersedekah makanan untuk orang yang meninggal dunia selama 7 hari itu.” (al-Hawi li al Fatawi Juz 2, hal 178 dan 183)

Dari sini dapat disimpulkan bahwa kebiasaan masyarakat tentang peringatan setelah kematian di hari tersebut dapat dibenarkan. Asalkan hal ini tidak dengan niat memperingati hari tersebut, tetapi dengan tujuan untuk berkirim doa dan pahala terhadap orang yang meninggal.

Oleh: Muhammad Sholihul Huda, Santri PP Mansajul Ulum, Pati.

Anda mungkin juga suka.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *