Tiga Kriteria Utama Pemimpin Yang Baik

Setiap manusia adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya. Pemimpin adalah orang yang berwenang untuk mengatur dan bertanggungjawab dalam wilayah yang dipimpinnya. Menjadi pemimpin tidaklah mudah, ada tanggung jawab yang besar dibalik kepemimpinan seseorang. Semakin besar jangkauan wilayahnya, semakin besar juga tanggung jawab yang diembannya. Kemudian, seorang pemimpin haruslah seorang yang ahli dalam menata regulasi dengan bijak baik dari aspek keamanan, ekonomi, politik, kesehatan, kesejahteraan, dan lain-lain. Terkait kepemimpinan, Islam memiliki kriteria seperti apa pemimpin yang baik. Sepanjang sejarah Islam, hanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pemimpin terbaik. Namun, kita bisa mengukur dan meneladani sifat Nabi seperti siddiq (jujur), amanah (dapat dipercaya) dan fathonnah (cerdas).  

Selama menjadi pemimpin haruslah jujur dalam menjalankan mandate. Kejujuran juga memastikan bahwa pemimpin dapat membuat keputusan yang adil dan objektif yang dapat membantu keberhasilan jangka panjang. Dalam Alquran, keharusan bersikap jujur dalam memimpin, sudah diterangkan dengan sangat jelas dan tegas yang antara lain kejujuran tersebut.  Di beberapa ayat, dihuhungkan dengan pelaksanaan timbangan, sebagaimana Firman Allah swt:  Sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. (QS Al An’aam: 152).

Dengan hanya menyimak ayat tersebut di atas, maka kita sudah dapat mengambil kesimpulan bahwa; sesungguhnya Allah swt telah menganjurkan kepada seluruh umat manusia pada umumnya, dan kepada para pedagang khususnya untuk berlaku jujur dalam menimbang, menakar dan mengukur barang dagangan. Penyimpangan dalam menimbang, menakar dan mengukur yang merupakan wujud kecurangan dalam perdagangan, sekalipun tidak begitu nampak kerugian dan kerusakan yang diakibatkannya pada manusia ketimbang tindak kejahatan yang lebih besar lagi seperti; perampokan, perampasan, pencurian, korupsi, manipulasi, pemalsuan dan yang lainnya, nyatanya tetap diharamkan oleh Allah swt dan Rasul-Nya. Mengapa? Jawabnya adalah; karena kebiasaan melakukan kecurangan menimbang, menakar dan mengukur dalam dunia perdagangan, akan menjadi cikal bakal dari bentuk kejahatan lain yang jauh lebih besar.

Kedua, Amanah (tanggung jawab). Setiap pemimpin harus bertanggung jawab atas usaha dan pekerjaan dan atau jabatan  yang telah dipilihnya tersebut. Tanggung jawab di sini artinya, mau dan mampu menjaga amanah (kepercayaan) masyarakat yang memang secara otomatis terbeban di pundaknya. Dalam pandangan Islam, setiap pekerjaan manusia adalah mulia. Pemimpin merupakan suatu tugas mulia, lantaran tugasnya antara lain memenuhi kebutuhan seluruh anggota masyarakat akan barang dan atau jasa untuk kepentingan hidup dan kehidupannya.

Yang ketiga, seorang pemimpin haruslah orang yang ahli dan cerdas. Keahlian ini meliputi berbagai hal, termasuk menata kewarganegaraan yang akan membawa negara dan rakyat pada kestabilan di berbagai bidang, baik kemananan, ekonomi, politik, pendidikan, kesehatan dan lain-lain.

Memberikan kepercayaan kepada yang bukan ahlinya merupakan suatu tanda kehancuran, sebagaimana Rasulullah SAW pernah bersabda yang artinya: “Apabila sifat Amanah sudah hilang, maka tunggulah terjadinya kiamat”. Orang itu bertanya, “Bagaimana hilangnya amanah itu?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah terjadinya kiamat”. (Hadis riwayat Imam al-Bukhari).

Kemudian peran kita sebagai rakyat adalah mentaati apa yang diperintahkan pemimpin. Ta’at kepada pemimpin adalah suatu kewajiban sebagaimana disebutkan dalam Al-Kitab dan As-Sunnah. Di antaranya Allah SWT berfirman,  “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (Q.S. An-Nisa’ [4]: 59)

Dalam ayat ini Allah menjadikan ketaatan kepada pemimpin pada urutan ketiga setelah ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya. Namun, untuk pemimpin di sini tidaklah datang dengan lafazh ‘ta’atilah’ karena ketaatan kepada pemimpin merupakan ikutan (taabi’) dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, apabila seorang pemimpin memerintahkan untuk berbuat maksiat kepada Allah, maka tidak ada lagi kewajiban dengar dan ta’at.Makna zhohir (tekstual) dari hadits ini adalah kita wajib mendengar dan ta’at kepada pemimpin walaupun mereka bermaksiat kepada Allah dan tidak menyuruh kita untuk berbuat maksiat kepada Allah.

Oleh : Hanifah Indra Suryani (Ponpes Roudlotul Mubtadiin Balekambang)

Anda mungkin juga suka.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *