santrimillenial.id – Dalam era digital yang berkembang pesat, media sosial telah menjadi bagian integral dari kehidupan kita. Platform seperti Instagram, Facebook, dan TikTok memungkinkan kita untuk berbagi momen hidup dan terhubung dengan orang lain di seluruh dunia. Namun, di balik kemudahan ini, terdapat tantangan yang seringkali tidak disadari, yaitu tekanan untuk hidup sesuai dengan standar yang ditampilkan di media sosial.
Salah satu aspek yang paling mencolok adalah penciptaan citra diri yang ideal. Banyak orang merasa perlu untuk menunjukkan sisi terbaik dari diri mereka, baik dalam hal penampilan fisik, gaya hidup, maupun pencapaian. Hal ini sering kali mendorong pengguna untuk mengedit foto, memilih sudut terbaik, atau bahkan menampilkan gaya hidup yang sebenarnya tidak mampu mereka jangkau. Standar kecantikan yang tinggi dan kehidupan mewah yang ditampilkan di media sosial dapat menciptakan perasaan tidak puas dengan diri sendiri, yang dikenal sebagai “media social-induced inadequacy“.
Fenomena ini tidak hanya berdampak pada orang dewasa, tetapi juga pada remaja dan anak-anak. Generasi muda yang tumbuh di era digital sering kali lebih rentan terhadap dampak negatif media sosial. Mereka cenderung membandingkan diri mereka dengan influencer atau teman sebaya yang tampak sempurna. Ini bisa mengarah pada rendahnya harga diri, kecemasan, dan bahkan depresi. Ketidakmampuan untuk memenuhi standar yang ditampilkan di media sosial dapat membuat mereka merasa terisolasi dan tidak berharga.
Selain itu, tekanan untuk selalu hadir di media sosial dan menampilkan kehidupan yang menarik dapat menguras energi dan waktu. Banyak orang merasa harus terus-menerus memperbarui profil mereka, memposting konten baru, dan berinteraksi dengan pengikut mereka. Aktivitas ini bisa mengganggu kehidupan sehari-hari dan mengurangi waktu yang seharusnya digunakan untuk kegiatan produktif atau berinteraksi secara langsung dengan orang lain.
Di sisi lain, penting untuk diingat bahwa apa yang ditampilkan di media sosial sering kali hanyalah sebagian kecil dari kehidupan seseorang, seringkali dipoles untuk terlihat lebih menarik atau lebih sempurna daripada kenyataannya. Setiap orang memiliki tantangan dan kesulitan yang tidak selalu terlihat di layar. Oleh karena itu, penting untuk mengembangkan sikap kritis terhadap konten media sosial dan memahami bahwa standar yang ditampilkan bukanlah representasi yang akurat dari kehidupan nyata.
Untuk mengurangi tekanan ini, penting untuk menetapkan batasan dalam penggunaan media sosial dan mencari aktivitas yang membangun rasa percaya diri di luar dunia digital. Menghargai dan menerima diri sendiri apa adanya, serta fokus pada hubungan nyata, adalah langkah penting dalam mengatasi tekanan untuk hidup sesuai dengan standar media sosial. Dengan demikian, kita dapat menjalani hidup yang lebih autentik dan memuaskan, bebas dari pengaruh negatif media sosial.
Oleh: Badrut Tamam (PP. Assholihiyyah Genuk Semarang)