Kasus bom bunuh diri di Indonesia
Beberapa kasus bom bunuh diri di Indonesia yang tercatat di antaranya adalah:
1. Bom Bali I (2002): Terjadi di Legian, Kuta, Bali. Ledakan bom di dua lokasi klub malam mengakibatkan sekitar 202 orang tewas, kebanyakan adalah turis asing.
2. Bom Bali II (2005): Terjadi lagi di Bali, di beberapa kafe di Jimbaran dan Kuta Square. Serangan ini mengakibatkan 23 orang tewas, termasuk para pelaku bom bunuh diri.
3. Bom Kedutaan Besar Australia (2004): Ledakan terjadi di depan Kedutaan Besar Australia di Jakarta, sehingga mengakibatkan 9 orang tewas dan lebih dari 180 orang terluka.
4. Bom JW Marriott dan Ritz-Carlton (2009): Bom bunuh diri terjadi di dua hotel mewah di kawasan Mega Kuningan, Jakarta. Sehingga mengakibatkan 9 orang tewas, termasuk para pelaku.
5. Bom Kampung Melayu (2017): Bom bunuh diri terjadi di terminal bus Kampung Melayu, Jakarta Timur. Sehingga mengakibatkan 5 orang tewas (3 polisi dan 2 pelaku) serta belasan orang terluka.
6. Bom Surabaya (2018): Serangan bom bunuh diri yang dilakukan oleh satu keluarga di tiga gereja di Surabaya. Sehingga erangan ini mengakibatkan 13 korban jiwa dan puluhan orang luka-luka.
7. Bom Polrestabes Medan (2019): Ledakan bom bunuh diri terjadi di Markas Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) Medan, Sumatera Utara. Sehingga mengakibatkan pelaku tewas dan beberapa orang terluka.
8. Bom Makassar (2021): Bom bunuh diri terjadi di Gereja Katedral Makassar. Kedua pelaku tewas, dan 20 orang lainnya mengalami luka-luka.
Kasus-kasus ini menggambarkan bagaimana serangan bom bunuh diri telah menjadi isu serius di Indonesia, dengan banyaknya keterlibatan jaringan teroris yang tersebar di wilayah Asia Tenggara.
Pandangan syariat terhadap pelaku bom bunuh diri
Pelaku begitu nekat melakukan aksi bom bunuh diri demi menyandang status “mati syahid”.
Dalam Islam, tindakan bunuh diri seorang teroris merupakan tindakan yang tidak bisa dibenarkan. Sebagaimana dalam hadis yang dikutip Imam Ibnu HajarAl-Haitami:
مَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَيْءٍ عَذَّبَهُ اللَّهُ بِمَا قَتَلَ بِهِ نَفْسَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Barang siapa yang bunuh diri dengan sesuatu maka Allah akan menyiksanya dengan sesuatuitu kelak di hari kiamat.” (Az-Zawajir An IqtirafAl-Kabair, II/156)
Dalam referensi lain disebutkan:
الانْتِحَارُ حَرَامٌ بالاتَّفَاقِ وَيُعْتَبَرُ مِنْ أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ بَعْدَ الشِّرْكِ بِاللهِ
“Bunuh diri adalah haram sesuai kesepakatan ulama dan termasuk sebagai dosa paling besar setelah syirik kepada Allah.” (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah, VI/283)
Oleh sebab itu, terkait dengan klasifikasi mati syahid, tidak ada ruang sedikit pun bagi pelaku tindak pidana terorisme untuk masuk di dalamnya. (Mughni Al-Muhtaj, II/35)
Sebab aturan perang yang syariat kan pun tidak bisa diberlakukan dalam konteks negara damai seperti di Indonesia. Terlebih jika tindakan terorisme jelas-jelas menentang hukum dan ancaman bagi negara. Sebagaimana keterangan Syekh Khatib Asy-Syirbini:
إِذَا كَانَ الْمَقْتُولُ مِنْ أَهْلِ الْبَغْيِ فَلَيْسَ بِشَهِيدٍ جَزْمًا
“Jika orang yang mati termasuk dari golongan pembangkang, maka matinya bukan mati syahid.” (Mughni Al-Muhtaj, II/35)
Imam al-Munawi pun menegaskan:
وَعَصَى إِمَامَهُ) … وَإِمَّا بِنَحْو بَغي أَو حَرَابَةٍ أَو صِيَال … (وَمَاتَ عَاصِيًا) فَمِيْتَتُهُ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Dan orang yang melawan pemerintah… adakalanya dengan aksi membangkang, memerangi, atau menyerang… kemudian ia mati, maka matinya dalam keadaan jahiliah.” (Faidh al-Qadir, III/324)
Dengan demikian, orang yang melakukan aksi bom bunuh diri bukanlah orang yang mati syahid. Bahkan termasuk orang yang menentang syariat Alloh SWT.
Oleh: Al Ma’ruf PP Salaf APIK Kaliwungu