Santrimilenial.id_Fenomena ramainya jamaah menghadiri majlis sholawat di Indonesia mencerminkan tren peningkatan spiritualitas masyarakat. Majelis sholawat dan dzikir populer seperti Az-Zikra, Syubbanul Muslimin, dan Nurul Musthofa mampu menarik ribuan jamaah. Tidak hanya dalam acara langsung tetapi juga melalui platform online seperti YouTube dan Instagram. Majelis-majelis ini menghadirkan suasana kebersamaan dan menguatkan kecintaan terhadap tradisi sholawat. Terutama di kalangan generasi muda yang sering mengidolakan para munsyid (penyanyi sholawat) majelis tersebut.
Majelis besar seperti Az-Zikra, yang awalnya di dirikan oleh Ustaz Arifin Ilham. Lalu berkembang menjadi pusat aktivitas spiritual yang melibatkan ribuan jamaah dalam berbagai kota. Majelis seperti Syubbanul Muslimin di Jawa Timur juga menarik ribuan orang melalui pendekatan sholawat modern yang relevan bagi generasi muda. Dan masih banyak lagi beberapa majlis solawat yang ada di Indonesia, seperti halnya Az zahir, Ahbabul Mustofa, Gandrung Nabi, Sekar langit, Babul musthofa, Badur Bopas, dan lain sebagainya.
Majelis-majelis ini berperan besar dalam memperkuat identitas Islam yang ramah dan moderat di Indonesia. Dan membantu menjaga moralitas serta menciptakan ruang bagi penghayatan religius yang lebih dalam.
Hukum berdiri saat mahallul qiyaam
Hal yang lumrah di masyarakat, saat pembacaan maulid Nabi, semisal ad-Diba’i, al-Barzanji, Simtud Duror dan semacamnya, pada keadaan tertentu di lakukan dengan berdiri, tepatnya pada bacaan Mahallul Qiyam.
Mengenai hukum berdiri pada waktu tersebut, Sayyid Abi Bakar Syato ad-Dimyati menjelaskan:
جَرَتِ الْعَادَةُ أَنَّ النَّاسَ إِذَا سَمِعُوا ذِكْرَ وَضْعِهِ يَقُومُونَ تَعْظِيمًا لَهُ وَهَذَا الْقِيَامُ مُسْتَحْسَنُ لِمَا فِيهِ مِنْ تَعْظِيمِ النَّبِي
“Telah menjadi kebiasaan ketika orang-orang mendengar disebutkannya kelahiran Nabi Muhammad maka mereka berdiri sebagai penghormatan kepada beliau. Berdiri semacam ini dianggap baik karena di dalamnya mengandung pengagungan terhadap Nabi.” (l’anah at-Thalibin, III/363)
Untuk itu, berdiri pada saat tertentu dalam rangkaian bacaan Maulid bukan suatu kewajiban, tetapi sebagai bentuk tata krama. Abuya Sayyid Muhammad al-Maliki juga menegaskan:
فَاعْلَمْ أَنَّ الْقِيَامَ فِي الْمَوْلِدِ النَّبَوِي لَيْسَ هُوَ بِوَاجِبِ وَلَا سُنَّةٍ وَلَا يَصِحُ اعْتِقَادُ ذَلِكَ أَبَدًا. وَإِنَّمَا هُوَ حَرَكَةً يُعَبِّرُ بِهَا النَّاسُ عَنْ فَرَحِهِمْ وَسُرُورِهِمْ فَإِذَا ذُكِرَ أَنَّهُ صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وُلِدَ وَخَرَجَ إِلَى الدُّنْيَا يَتَصَوَّرُ السَّامِعُ فِي تِلْكَ اللَّحْظَةِ أَنَّ الْكَوْنَ كُلَّهُ تَهْتَزُّ فَرْحًا وَسُرُورًا بِهَذِهِ النَّعْمَةِ فَيَقُومُ مُظْهِرًا لِذَلِكَ الْفَرْحِ وَالسَّرُورِ مُعَبَّرًا عَنْهُ فَهِيَ مَسْأَلَةً عَادِيَةٌ مَحْضَةً لَا دِيْنِيَّةٌ أَنَّهَا لَيْسَتْ عِبَادَةً وَلَا شَرِيعَةً وَلَا سُنَةً وَمَا هِيَ إِلَّا أَنْ جَرَتْ عَادَةُ النَّاسِ بِهَا
“Ketahuilah, sesungguhnya berdiri saat maulid Nabi bukan hal wajib, bukan pula hal sunah. Dan keyakinan akan hukum itu tidak benar namun merupakan ungkapan kebahagian umat. Ketika di sebut Rasulullah SAW lahir ke dunia, para pendengarnya menggambarkan bahwa seluruh dunia kala itu bergetar bahagia dengan nikmat tersebut sehingga ia mengungkapkannya dengan berdiri. Persoalan ini murni sebuah kebiasaan dan tidak masuk dalam ranah agama. Berdiri itu bukan termasuk ibadah, bukan syariat, dan bukan sunah tetapi hanya sebuah kebiasaan yang mengakar kuat di tengah masyarakat.” (Al-I’lam, hal. 25-26)
Oleh : Al Ma’ruf PP Salaf APIK Kaliwungu